Aparat penegak hukum saat ini resah dengan terhalangnya upaya pemberantasan korupsi yang dlakukan. Salah satu penghalang yakni adanya indikasi perlawanan balik yang dilakukan pelaku korupsi (corruption fight back). Indikasi itu terlihat dari perlawanan yang dilakukan terhadap aturan perundangan terkait pemberantasan korupsi. Melalui pengajuan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi (MK), dinilai sebagai langkah menghambat pemberantasan korupsi. Bagaimana cara menghadapi perlawanan balik koruptor itu, berikut wawancara dengan Direktur Masyarakat Transparency Indonesia (MTI) Agung Hendarto.
Apakah Anda melihat pengajuan uji materiil terhadap aturan perundangan tentang korupsi yang semakin marak bisa dikatakan sebagai perlawanan balik koruptor?
Memang bisa dikatakan begitu. Tapi saya melihat apa yang dilakukan, misalnya Mulyana W. Kusumah (terpidana kasus suap KPU dan terdakwa pengadaan kotak suara) adalah semata-mata keinginan mereka sendiri untuk bebas dari jeratan hukum. Tapi kita juga harus waspada UU KPK banyak yang di uji materiilkan. Aparat penegak hukum pemberantasan korupsi juga jangan lengah.
Lalu apa yang harus dilakukan aparat penegak hukum?
UU KPK dilahirkan dari DPR. Karenanya, DPR dalam membuat RUU jangan banyak membuat celah. Harus diteliti lagi dalam proses pembuatannya. Agar nanti dalam pelaksanaan tidak merepotkan lembaga yang menjalankannya. Masyarakat banyak berharap pada KPK untuk memberantas korupsi, karena itu KPK harus juga meningkatkan kinerjanya.
Apakah bisa diartikan babwa kinerja KPK memang rendah?
Saat ini, saya belum melihat kinerja KPK yang semakin membaik. Kinerjanya masih perlu ditingkatkan lagi. Misalnya KPK sudah jarang menangkap big fish. Karenanya, KPK harus terus disemangati untuk tetap kerja keras dalam melakukan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Apakah bisa dikatakan MK mendukung per lawanan batik koruptor karena menghasilkan putusan yang bertolak belakang dengan kepentingan penegakan hukum?
Itu memang kesalahan MK jika mengeluarkan putusan di luar yang dimohonkan pemohon. Saya harap MK tidak mengabulkan permohonan yang tidak diajukan. Saya tidak setuju jika para pemohon menyatakan keberadaan KPK adalah ekstra konstitusional dan mengacaukan sistem ketatanegaraan. Upaya para koruptor yang dengan berbagai cara seperti mengajukan uji materiil UU KPK hanya ingin terbebas dari jeratan hukum. Putusan-putusan MK memang sebelumnya tidak pro pemberantasan korupsi. Setidaknya MK telah dua kali menjatuhkan putusan kontroversial. Pertama, adalah ketika MK dalam putusan atas permohonan uji materiil yang diajukan Bram Manoppo, menyatakan UU 30/002 hanya berlaku untuk korupsi yang terjadi setelah diberlakukannya UU tersebut. Lalu, kedua adalah ketika MK dalam putusan No. 03/PUU-IV/2006 menyatakan, demi asas kepastian hukum maka hanya sifat perbuatan melawan hukum dalam artian formil yang berlaku. Karena itu, MK memang harus lebih berhati-hati dalam memutus perkara. Eksistensi MK juga diperlihatkan bagaimana MK membuat keputusan.
Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 19 Nopember 2006