Pada tahun 1977, Budiaji, mantan Kepala Dolog Kaltim, dihukum seumur hidup. Majelis hakim yang diketuai Sof Larosa pun menyatakan, “Budiaji melakukan subversi! Ia korupsi uang Rp 7,607 miliar!”
Meski dihukum berat, Budiaji tidak mengajukan banding. Di dalam pembelaannya yang dibacakan tersendat-sendat sambil menangis, Budiaji meminta maaf kepada Presiden Soeharto dan Kepala Bulog karena merasa telah menyalahgunakan kepercayaan atasannya. Pembelanya, Soenarto Soerodibroto, mengakui kliennya korupsi, tetapi mereka memohon agar kliennya dibebaskan dari tuduhan subversi.
Bandingkan dengan perilaku koruptor yang diseret ke pengadilan 40 tahun kemudian. Sulit menemukan koruptor mengaku bersalah telah mengorup uang negara miliaran rupiah, bahkan triliunan rupiah. Bahkan, beberapa koruptor yang ditangkap justru bergaya bak selebriti ketika juru kamera maupun fotografer mengambil gambar dirinya. Tak jarang, beberapa pelaku korupsi yang diseret ke pengadilan mengerahkan massa untuk mendukungnya. Jumlahnya tak tanggung-tanggung dan massanya pun beragam.
Di tingkat legislasi, utak-atik perundang-undangan korupsi mulai muncul. Meski Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 tanggal 13 November 1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari KKN belum dicabut, fakta di lapangan mulai menunjukkan pergeseran paradigma soal korupsi. Itu tampak dengan dihentikannya penyidikan kasus mantan Presiden Soeharto.
Lainnya, Undang-Undang Pemberantasan Korupsi mulai diutak-atik. Semangat korupsi sebagai sebuah kejahatan yang luar biasa, seperti yang tercantum dalam konsideran UU Nomor 31 Tahun 1999 dan UU Nomor 20 Tahun 2001, ternyata mulai coba digeser menjadi kejahatan yang biasa saja.
Sebuah pertanyaan besar timbul, mengapa sikap-sikap seperti ini yang muncul meski Presiden Susilo Bambang Yudhoyono-Jusuf Kalla mengaku gencar memberantas korupsi? Bahkan, dalam pidatonya, 17 Januari 2006, Presiden Yudhoyono menyebutkan ada tiga prioritas dan sasaran utama dalam pemberantasan korupsi: pencegahan korupsi, menindak tegas kegiatan korupsi yang masih saja terjadi, dan mencari koruptor yang oleh pengadilan telah dinyatakan bersalah karena melakukan korupsi.
Adalah sebuah kenyataan, korupsi telah memelaratkan rakyat. Coba kita berhitung kasar angka kerugian negara, mengacu pada data Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2006. Menurut BPK, uang pengganti kerugian negara Rp 7,194 triliun. Uang pengganti yang belum bisa ditagihkan Rp 3,548 triliun.
Angka kerugian negara secara riil tentu masih lebih besar dari ini. Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Paskah Suzetta mengatakan, proses pengadaan barang atau jasa pemerintah melalui media elektronik bisa membantu menghemat belanja. Untuk anggaran tahun 2007, penghematan bisa mencapai Rp 45 triliun-Rp 90 triliun. Atau jika logika dibalik, selama ini proses pengadaan barang atau jasa pemerintah justru merugikan negara Rp 45 triliun-Rp 90 triliun. Belum ditambah uang komisi yang masuk ke kantong pejabat.
Atau kalau mau melihat fakta riil di mana korupsi berkorelasi dengan kemiskinan masyarakat, yaitu kasus dugaan korupsi di tubuh Bulog. Impor beras tahun 2002-2005 yang telah memelaratkan petani justru diduga membawa keuntungan bagi pejabat Bulog. Berdasarkan laporan masyarakat yang diterima Kejaksaan Agung, pada tahun 2004 telah mengalir bayaran 1,5 juta dollar AS atau Rp 13,5 miliar dari Vietnam Southern Food Corporation ke Widjanarko Puspoyo. Sepanjang 2002-2005 lebih besar lagi, yakni mencapai Rp 1,5 triliun.
Bayangkan kalau uang itu digunakan untuk meningkatkan anggaran pendidikan atau kesehatan masyarakat! Anggaran pendidikan pada tahun 2006 baru mencapai Rp 36,8 triliun atau 9,1 persen dari total APBN yang besarnya Rp 427 triliun. Meskipun putusan MK mewajibkan negara menganggarkan 20 persen, DPR ternyata hanya menganggarkan 11,8 persen pada tahun 2007, yaitu anggaran pendidikan hanya Rp 90,1 triliun.
Direktur Eksekutif Masyarakat Transparansi Indonesia Agung Hendarto mengatakan, fakta ini menunjukkan pemberantasan korupsi yang telah dilakukan gagal memberi efek jera. Mengapa?
Penyebabnya, pemberantasan korupsi hingga hari ini masih belum memiliki peta dan arah yang jelas, serta adanya sikap dan tindakan Presiden dan Wakil Presiden yang justru terlihat gamang dalam pemberantasan korupsi. “Kita masih belum lihat ada anggota DPR ditangkap karena menerima uang untuk membuat undang-undang. Padahal, beberapa persidangan terungkap soal uang untuk membuat undang-undang,” kata Agung.
Problem pemberantasan korupsi ini semakin diperkeruh dengan sikap dan tindakan Presiden Yudhoyono dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang justru bisa memperlemah pemberantasan korupsi. Agung mencontohkan beberapa pernyataan Presiden dan Wakil Presiden yang kontra dengan komitmen pemberantasan korupsi.
“Pemberantasan korupsi terhambat dengan investasi politik. Kasus Yusril dan Hamid memperlihatkan itu. Kenapa pemerintah tidak tegas? Saya melihat masing-masing elite politik itu memiliki kartu truf satu sama lain sehingga tidak berani tegas,” kata Agung.
Agung menyoroti belum juga tersusunnya Rancangan Aksi Nasional (RAN) Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, tidak kunjung disusunnya RUU Pengadilan Tipikor yang diamanatkan Mahkamah Konstitusi, dan dimulainya proses pemilihan seleksi pimpinan KPK. “Ini ada apa, kok lamban sekali. Bahkan, penyusunan RAN Pemberantasan Korupsi yang hadir bukan menteri atau dirjen, tetapi kepala biro hukum. Bagaimana bisa segera terealisasi?” kata Agung.
Pengajar hukum pidana Universitas Gadjah Mada, Eddy OS Hiariej, menilai, tidak sulit melihat ketidakseriusan Yudhoyono-Kalla dalam memberantas korupsi. Eddy melihat, secara kasatmata telah terjadi tebang pilih dalam pemberantasan korupsi. Kasus yang paling kasatmata, kata Eddy, sikap yang ditunjukkan pemerintah saat menanggapi keterlibatan Yusril dan Hamid dalam pencairan uang Tommy. Presiden maupun Wapres tidak memerintahkan aparat penegak hukumnya untuk memeriksa Yusril dan Hamid. Keduanya belum tentu bersalah. Tapi, seharusnya, ada langkah memperjelas persoalan secara yuridis.
Koordinator Badan Pekerja ICW Teten Masduki mengatakan, kampanye pemberantasan korupsi yang selama ini didengungkan Presiden semata-mata berpijak pada urusan citra atau memainkan opini publik. Pijakan fundamental seperti mereformasi birokrasi tak diwujudkan. Akibatnya, langkah pemberantasan korupsi bukan sesuatu yang ditakuti.
Meski begitu, Agung mengatakan, di lapangan tercatat keberhasilan, yaitu kerja sama antara Kejaksaan Agung dan KPK dalam mengungkap kasus korupsi Bulog yang melibatkan Widjanarko Puspoyo. Menurut Agung, kerja sama antar-aparat penegak hukum harus ditingkatkan, terutama untuk mengungkap korupsi yang memakan uang negara dan kecanggihan praktik korupsi.
“Ini keberhasilan besar, terlebih di mana penyidik mampu mengungkap temuan uang ke keluarga Widjanarko. Para penegak hukum memang harus bersinergi karena sekarang soliditas koruptor sudah semakin kuat," kata Agung. Namun, menurut ahli hukum pidana Indriyanto Seno Adji, di masa mendatang pemerintah perlu memikirkan sentralisasi dalam pemberantasan korupsi. “Sekarang dengan berbagai lembaga malah sering bias,” ujarnya.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin mengatakan, arah pemberantasan korupsi sudah ada, lembaga pemberantasan sudah dibuat, aturan sudah ada meski masih perlu disempurnakan, tinggal komitmen tegas untuk menerapkan aturan. Ia menyayangkan gerakan moral untuk pemberantasan korupsi yang dilakukan Muhammadiyah bersama Nahdlatul Ulama juga belum memperlihatkan hasil yang menggembirakan.
Pemberantasan korupsi membutuhkan sebuah keberanian. Sof Larosa dan para hakim yang menyidangkan Budiaji sudah memberikan bukti. Tak perlu eufimisme kata-kata untuk koruptor. Mereka dengan tegas justru memberi label “subversi untuk pelaku korupsi”. Sekarang, malah mereduksi kejahatan luar biasa, menjadi kejahatan biasa-biasa saja! (mam) Vincentia Hanni dan Dewi Indriastuti
Sumber: Kompas, Rabu, 18 April 2007