Bukan Negeri Korupsi?

Oleh : M Abdullah Badri

Ada hikmah menarik dalam sejarah politik yang dipraktekkan oleh Nabi Muhammad ketika hijrah dari Makkah ke Madinah. Kala itu, yang dibangun pertama kali untuk membangun kota (Madinah) yang berperadaban (munawwarah), bukanlah masjid.

Pasar jadi pilihan utama pembangunan untuk mencapai cita-cita profetik Nabi di kota yang dulu bernama Yatsrib itu. Ekonomi jadi tumpuan utama untuk mewujudkan habitat kehidupan kota yang menjamin kesejahteraan setiap warganya.

Di negara manapun, ekonomi jadi garapan utama. Meski menolak madzhab ekonomi tertentu, semisal ekonomi sosialis atau kapitalis, namun yang pasti tidak ada negara yang bisa menolak bangunan ekonomi yang menunjang kebutuhan pokok warganya. Pangan jadi hal utama dalam garapan sistem ekonomi setiap negara, sesuai madzhab ekonomi yang dianut. Tanpa jaminan kesejahteraan, negara tak punya peran sebagai pengayom kehidupan warganya.

Indonesia sebagai negara yang menganut sistem ekonomi Pancasila, dimana pemerataan dan pengelolaan berbasis keluarga seperti didengungkan oleh Bapak Koperasi Indonesia, Bung Hatta, jadi misi pembangunan ekonomi ternyata masih menyimpan ironi. Di negara yang katanya pernah mencapai swasembada pangan Era Orde Baru dulu, ternyata banyak warganya yang hanya untuk beli beras saja harus berhutang sana-sini. Yang lebih dramatis, di Kecamatan Mayong Jepara, beberapa waktu lalu ada enam orang anak yang tewas setelah keracunan mengonsumsi nasi tiwul akibat orang tuanya tak mampu membeli beras.

Ekonomi yang tak menjamin kebutuhan dasar masih jadi tanda yang menyiratkan kebangkrutan kepemimpinan bangsa mengurus kebutuhan warganya. Wajar saja para pemimpin agama beberapa waktu memasukkan kebijakan pangan yang belum memenuhi kebutuhan standar masyarakat kecil dalam kategori kebohongan publik dari 18 kebohongan lain yang diungkap.

Bicara kemiskinan, pemerintah hanya berhenti pada angka-angka statistik yang masih memerlukan uji kebenaran di lapangan. Seturut data pemerintah, warga miskin di negeri ini berjumlah 31,02 juta jiwa. Padahal, jumlah penerima beras miskin (lebih tepat menggunakan istilah beras sejahtera) ada 70 juta jiwa. Sementara yang berhak menerima Jamkesmas sebanyak 76,4 juta jiwa. Angka yang berbeda dalam kategori yang sama tersebut tentu menimbulkan polemik kebijakan pengentasan kemiskinan yang dijamin jauh dari cita-cita kesejahteraan yang substansial. Padahal, pangan adalah hal pokok menuju stabilitas ekonomi setiap warga.

Sulit Bertahan

Di negeri yang katanya subur tanahnya ini tak menjamin mereka yang mengolah sawah untuk ditanami padi sejahtera. Para petani yang mereka tiada lain adalah sumber kebutuhan pokok dicipta untuk banyak orang, ternyata banyak dari mereka yang kekurangan. Tragedi banyak terjadi di kalangan pentani; mereka menanam padi berkualitas untuk ditukar dengan yang lebih murah dibeli. Di Bali, saya miris mendengar beberapa petani tidak pernah menanak padi hasil tanaman mereka sendiri karena harganya yang mahal. Lebih baik dijual untuk kemudian uangnya dibelikan padi yang berkualitas rendah karena tak mampu membeli harga padi yang ditanam sendiri itu.

Penderitaan para petani semakin kompleks dengan kian tak terjangkaunya harga pupuk, meninggi terus dalam episode kelangkaannya. Subsidi pupuk yang diberikan pemerintah kepada petani tak begitu membantu urusan tanam padi. Kebutuhan pupuk, bagi petani, sama mahalnya dengan memenuhi kebutuhan hidup. Harga jual padi, bila dikalkulasi dengan kebutuhan pupuk, hampir tak bisa sebanding.

Petani di negeri agraris ini tak pernah menikmati berkah profesinya. Menjadi petani di negeri lumbung padi ini, yang dalam hadits Nabi dikatakan sebagai profesi paling mulia setelah pedagang dan pengrajin karena tawakkalnya yang tinggi terhadap rezeki Tuhan seturut pergantian keberuntungan musim, identik dengan kemiskinan. Kesuburan yang dianugerahkan Tuhan kepada Indonesia, yang dalam puisi Emha Ainun Nadjib, disebut sebagai surga dunia, senyatanya belum selaras dengan peningkatan kesejahteraan warganya.

Selain petani, di negeri zamrud khatulistiwa yang subur namun minus kesejahteraan ini, para pedagang kecil juga nampaknya masih kesulitan menghela nafas dengan lega akibat marak-berdirinya pasar modern tanpa kontrol di setiap sudut kota. Bentuk pasar penyedia segala kebutuhan pokok yang dikuasai oleh segelintir konglomerat kelas internasional itu telah melibas sedikit demi sedikit sumber rezeki para pedagang di pasar tradisional, yang dalam sejarah telah terbukti mampu menjadi penopang sektor ekonomi riil selama puluhan tahun.

Sabda Nabi tentang profesi pedagang yang diapresiasi sebagai profesi mulia dengan syarat kejujuran (al-shaduq) ternyata tak begitu menarik minat orang-orang yang tak punya modal besar. Sama sulitnya menekuni profesi pengrajin. Jepara jadi contoh betapa produk kerajinan tangan kreatif membutuhkan biaya sosial dan material untuk tetap bertahan akibat pencurian hak intelektual pihak asing dan permainan para pemodal yang tak kenal nurani. Di kota ukir tersebut, kini gampang ditemui mantan pengusaha meubel dan ukiran yang hanya untuk makan saja ngutang ke warung terdekat.

Si miskin, dalam kebijakan pemerintah selama ini hanya diberikan ikan kebutuhan, bukan kail kreatifnya. Orang kemudian banyak yang memimpikan jadi koruptor laiknya Gayus. Karena dengan begitu, dia tidak perlu berkeringat banyak untuk mendapatkan uang miliaran rupiah, dan bisa melancong kemana suka, asal dapat izin. Meski menjalani masa tahanan. Apakah negeri ini hanya untuk koruptor? Ah.

M Abdullah Badri, adalah peneliti di Idea Studies Fakultas Ushuluddin IAIN Walisongo Semarang

Sumber: analisadaily, Sabtu, 2 April 2011
-

Arsip Blog

Recent Posts