Memotong Pembiayaan Korup Parpol

Oleh: Hifdzil Alim

Dua partai politik, Partai Demokrat dan Partai Kebangkitan Bangsa, tengah berada di jurang degradasi. Para kadernya yang menduduki posisi menteri di Kementerian Pemuda dan Olahraga serta Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi disebut-sebut mengetahui aliran dana suap terkait dengan proyek pemerintah di kementerian masing-masing.

Dalam kasus korupsi suap pembangunan wisma atlet SEA Games ke-XXVI, Muhammad Nazaruddin bicara banyak hal. Sebelum dia ditangkap polisi khusus Kolombia di Cartagena, Kolombia (7 Agustus), mantan Bendahara Partai Demokrat itu mengatakan bahwa Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum dituding sebagai pihak yang sebenarnya menikmati aliran dana dari beberapa proyek yang dibiayai APBN, termasuk pembangunan wisma atlet.

Nazaruddin menyebut dirinya hanyalah “operator”, bukan aktor intelektual. Dia bawahan Anas di PT Anugerah Nusantara, juga anak buahnya di Partai Demokrat. Seorang kacung cuma menjalankan perintah majikannya. Nazaruddin mengatakan, Anas memenangi kongres pemilihan kursi Ketua Umum Partai Demokrat dengan duit APBN. Ada Rp 50 miliar duit dari proyek Ambalang, yang berasal dari APBN, mengalir ke kantong Anas.

Dalam kasus suap Rp 1,5 miliar untuk memuluskan pembangunan infrastruktur 19 daerah bernilai Rp 500 miliar di Kemenakertrans, uang suap juga diduga akan dialirkan ke Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar, yang sekaligus adalah Ketua Umum PKB. Pimpinan KPK mengakui uang akan dialirkan ke Muhaimin, meski belum sampai ke yang bersangkutan (Tempointeraktif, 3 September). Duit suap ditengarai akan dialirkan ke partai politik sebagai bagian dari pembiayaan partai politik. Mencermati para politikus yang terlibat dalam proyek pemerintah maupun dugaan korupsi di tender pemerintah tidak bisa dilepaskan dari bagaimana pembiayaan partai politik dikelola.

Independensi Partai

Partai politik bukanlah organ pemerintah, melainkan entitas yang diciptakan dan lahir dari masyarakat, yang menjaga independensinya dari negara (I Torres, 2000: 199). Partai politik yang independen tidak akan menadahkan tangannya ke negara. Partai politik yang lahir dari masyarakat akan memaksimalkan para kadernya dalam membuat sumur keuangan. Para kader inilah yang nantinya memberi asupan dana agar partai dapat bergerak. Layaknya semua organisasi masyarakat, kebutuhan pendanaan bagi partai politik adalah masalah krusial. Jika dana tak mengalir, program partai tak berjalan maksimal.

Sebenarnya mencari dana untuk partai politik adalah hal yang lumrah. Tetapi mengumpulkan duit itu jadi tak wajar jika dihubungkan dengan konglomerasi busuk dan jaringan bisnis hitam. Dari sudut pandang ekonomi, aktivitas politik memiliki ciri khusus. Pada prinsipnya aktivitas politik adalah aktivitas sukarela yang harus didanai oleh siapa saja yang masuk dalam partai politik, baik anggota maupun simpatisannya (Antonio Argondana, 2002: 5).

Kesukarelaan anggota atau simpatisan mendanai partai tidak boleh diambilkan dari keuntungan ekonomi dan bisnis yang melanggar hukum, dan tidak boleh dipetik dari proyek pemerintah. Sebab, sejatinya partai politik adalah organ yang dikreasikan oleh masyarakat dan independen dari negara. Prinsip Independensi ini dimaksudkan agar partai politik tidak ragu dalam mengawasi negara. Bagaimana mungkin partai mau mengawasi negara kalau anggotanya menggerogoti duit negara?

Informasi dugaan aliran duit ke Partai Demokrat ataupun PKB adalah bukti bahwa sebagian politikus dan partai politik tertentu melanggar prinsip independensi partai. Politikus tingkat nasional mengatur proyek pemerintah, merampok sebagian dana APBN, untuk kepentingannya. Misalnya, duit hasil menggarong itu dipakai untuk biaya maju ke kursi panas pimpinan partai. Para anggota partai mengkorupsi independensi partai.

Setali tiga uang, di tingkat lokal, tidak sedikit politikus yang menggadaikan prinsip independensi partai. Model ijon politik yang dilakukan politikus dengan konglomerasi busuk, misalnya, untuk berlaga di pentas pilkada, akan membocorkan dana APBD melalui proyek pembangunan infrastruktur daerah. Jika nantinya menang pilkada, tender proyek sudah siap dibagikan ke konglomerasi busuk penunjang dana sang politikus.

Potong Rantai

Dalil-dalil yang mengatakan bahwa ada duit dari proyek pemerintah yang mengalir ke partai politik untuk membiayai gerak partai boleh jadi benar, boleh jadi keliru. Tetapi setidaknya itu menjadi gambaran bagaimana politikus menggadaikan independensi partai dan menggunakan konglomerasi dalam mengkorupsi duit negara.

Laku kotor politikus itu semakin menggila ketika penegak hukumnya juga masuk ke lingkaran sang politikus. Contohnya, penegak hukum ternyata memendam kepentingan tersendiri untuk tetap eksis dalam jabatannya. Apalagi, politikus itu mempunyai suara untuk menentukan lolos-tidaknya si penegak hukum duduk lagi sebagai pemimpin lembaga penegakan hukum.

Kalau demikian, tidak bukan dan tidak lain, pembiayaan partai politik dengan cara korup harus dipotong. Karena itu, mau tak mau, tanggung jawab ada di benak pimpinan Partai. Partai Demokrat dan PKB harus memotong rantai korupsi yang menggerogoti partainya. Nama kader partai yang disebut dalam kasus korupsi seharusnya dinonaktifkan atau diberhentikan sementara. Hal ini penting untuk menjamin bahwa partai masih berfokus dalam mendukung pemberantasan korupsi, sekaligus untuk memudahkan pemeriksaan.

Tentunya bukan hanya Partai Demokrat dan PKB yang harus turut serta melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi. Partai politik lainnya juga tidak boleh membiarkan kadernya mencari duit untuk partai dengan cara tidak halal. Jika memang serius ingin membersihkan partai politik dari korupsi, sekaligus menjaga independensi partai dalam mengawasi negara, maka hukumlah para anggota, kader, dan simpatisan partai yang coba-coba apalagi melakukan korupsi. Hifdzil Alim, Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum UGM

Sumber: korantempo, Kamis, 15 September 2011
-

Arsip Blog

Recent Posts