Reformasi 1998 dengan salah satu riaknya yang meminta TNI untuk kembali profesional sejak 1999 kian keras terdengar. Sejumlah hal sudah dilakukan, seperti memangkas hak politik militer di parlemen yang sudah dilakukan pada Pemilu 2004. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI mengamanatkan perlu dibenahinya bisnis-bisnis TNI. Setelah dibentuk Tim Pendataan yang dilakukan Sekretaris Menteri BUMN Said Didu, verifikasi dilakukan oleh Tim Nasional Pengalihan Bisnis TNI yang dipimpin Erry Riyana Hardjapamekas.
Walhasil, bekas Wakil Ketua KPK ini turun ke lapangan ditemani 150 anggota tim untuk mengecek gurita bisnis yang dimiliki TNI. “Awalnya muncul keberatan, kenapa cuma TNI yang diambil alih (bisnisnya)?” ujarnya. Dia tak gentar. Erry yakin ini merupakan momentum bagus demi kebaikan TNI. Mengapa? “Kompetensi TNI bukan urusan dagang,” ujar mantan Direktur Utama PT Timah ini.
Rekomendasi hasil pendataan dan analisis lapangan sudah dilakukan, namun Erry tak punya banyak waktu karena pada 16 Oktober ini wewenang tim usai. Di sela-sela kesibukannya Erry menerima Yophiandi, Titis Setyaningtyas, Abdul Manan, dan fotografer Toni Hartawan dari Tempo untuk dua seri wawancara yang dilakukan pada Kamis (18 September) di kantornya dan Jumat (25 september) di rumahnya yang terletak di bilangan Utan Kayu, Jakarta Timur.
Apa temuan tim terhadap bisnis TNI ini?
Yayasan, menurut undang-undang, harus mengandung tiga misi: kemanusiaan, sosial, agama. Yayasan TNI di bidang sosial karena untuk kesejahteraan prajurit. Yayasan TNI boleh memiliki saham maksimal 25 persen karena untuk sumber pemasukan (misi) sosialnya. Sumber dananya bisa dari deposito, saham, dan donasi. Yang penting bukan penghasilan utama yayasan. Kedua, koperasi memiliki saham di perusahaan yang tidak sepenuhnya cocok dengan tujuan. Tujuan koperasi itu untuk kesejahteraan prajurit, kebutuhan sehari-hari kan simpan-pinjam. Ketika koperasi melebar dan memiliki saham di berbagai perusahaan yang bidangnya beragam, tentu harus dipertanyakan. Ini bisnis koperasi untuk anggotanya atau yang lain? Ketiga, yayasan atau koperasi yang digunakan sebagai tameng, untuk bisnis yang sebetulnya bukan bidang koperasi, misalnya Gajah Oling (Puskopad Surabaya). Keempat, adanya inkop (induk koperasi) dan puskop (pusat koperasi). Yang menyentuh prajurit langsung sebetulnya primer koperasi (primkop). Puskop dimaksudkan untuk mengkoordinir beberapa jenis koperasi yang sama. Kenyataannya, puskop lebih dari sekadar mengkoordinir, melainkan juga punya usaha. Puskop memiliki primkop, di atasnya ada inkop. Akhirnya, tugas koordinasi menjadi kalah.
Problem lain, koperasi-koperasi ini melibatkan komando. Ada TNI aktif yang terlibat menjadi pengurus, misalnya kepala inkop itu bintang satu, puskop dipimpin kolonel. Di sini terjadi kerancuan antara gerakan koperasi sekelompok orang untuk kesejahteraan bersama dengan (kesejahteraan) institusi. Kalau mau murni untuk anggota, ya harus lepas dari komando. Tapi ada yang beralasan, bagaimana kalau mereka berkelahi? Kehadiran komando ini untuk menengahi ketika ada pertengkaran.
Problem selanjutnya adalah usaha yang “abu-abu”, misalnya yayasan pendidikan seperti Universitas Jenderal Ahmad Yani di Bandung. Komplikasinya adalah karena pada awal dan perkembangannya mereka menggunakan aset negara. Pertanyaannya adalah apakah mereka bayar sewa, pinjam pakai, atau bayar PBB? Kalau rumah sakit intinya memang buat tentara, tapi karena memiliki kelebihan kapasitas, lalu dijual kepada pasien yang bukan tentara. Bayar PNBP (penghasilan negara bukan pajak) saja, tak masalah. Nanti dikasih ke Menteri Keuangan, nanti Menteri Keuangan yang akan menyalurkan lagi ke rumah sakit itu, ini untuk tertib administrasi. Itu beberapa temuan kami.
Apakah sudah ada rekomendasi yang dibuat dari temuan itu?
Rekomendasi masih didiskusikan bersama tim pengarah (Menteri Pertahanan, Menteri Keuangan, Panglima TNI). Pada dasarnya, kami menganggap (Pasal 76) Undang-undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI itu mengandung pesan yang cukup jelas bahwa TNI harus mengalihkan bisnisnya secara langsung dan tidak langsung (kepada pemerintah).
Bukankah sekarang sudah mepet waktunya? Kalau rekomendasi tim tidak diterima, bagaimana?
Nggak jadi masalah. Rekomendasi boleh diterima, boleh tidak.
Apakah ada indikasi keberatan atau protes dari TNI?
Aspek nonteknis, iya. Artinya ekspresi, seperti mengapa tentara saja yang diambil alih (bisnisnya)? Padahal undang-undang yang menghendaki. Karena itu, kalau tidak sependapat dengan kewajiban mengalihkan bisnis TNI, ya tinggal diamendemen saja undang-undangnya.
Apa alternatif solusi buat yayasan?
Pertama, membubarkan diri. Kedua, dimurnikan, artinya yayasan tetap bersifat sosial, tapi saham-saham perusahaan dijual pemerintah, atau dikelola yayasan sendiri sampai habis. Ketiga, sama sekali dihilangkan. Negara mengganti manfaatnya sekurang-kurangnya seperti yang selama ini mereka nikmati. Kalau di sini, tak terlalu kentara struktur komandonya, karena kan juga sudah sesuai dengan undang-undang yayasan.
Bisnis TNI diambil alih pemerintah, tetapi apakah pemerintah sudah bisa memberikan pemenuhan anggaran buat TNI?
Kalau kita selalu mempertimbangkan cukup tidak cukup, mampu tidak mampu, kita tidak pernah mulai. Jadi harus dimulai, kalau tidak kita begini terus. Inilah cut off nya. Kalau ada alasan tentara bekerja untuk keamanan negara, memangnya tentara saja? Kan ada pengamat gunung api, penjaga mercu suar, yang juga berjuang demi kepentingan negara.
Kalau di bawah, bagaimana kehidupan prajurit sebenarnya?
UU sudah mengatur kesejahteraan prajurit harus dijamin negara. Saya pikir, kalau tentara dicukupi kesejahteraannya, banyak hal negatif bisa dihindari. Sebab begitu mereka terjun di bidang ekonomi, baik institusional dan individu, yang terjadi adalah benturan kepentingan. Tentara itu warga negara istimewa yang diperkenankan menggunakan kekerasan, menggunakan senjata untuk mengamankan kedaulatan negara. Tak ada kelompok masyarakat yang memiliki license to kill seperti tentara. Ketika dia bekerja, nyambi, muncul benturan kepentingan. Lalu akan terjadi distorsi ekonomi karena mereka adalah kelompok yang memiliki privilese. Orang-orang menganggap mereka itu diistimewakan sehingga suasana persaingan terganggu. Ketiga, kompetensi TNI bukan urusan dagang. Akhirnya mereka mengajak pihak ketiga. Kalau (pihak ketiga itu) akuntabel, tak jadi masalah, kalau tidak akan muncul masalah akuntabilitas.
Bukankah bisnis TNI sudah tak semenggurita dulu?
Bisnis TNI sekarang ini memang lebih kecil dibandingkan 10-15 tahun lalu. Itu zaman emas mereka. Tapi saya yakin masyarakat tetap akan senang dengan upaya ini. Siapa sih yang tak suka TNI dimuliakan, dimartabatkan? Itu berarti negara bertanggung jawab terhadap tentaranya. Dan masyarakat membantu dengan support. Di mana-mana, bahkan di Cina yang begitu raksasa, bisnis militer dipangkas habis. Begitu juga di negara-negara Asia, kecuali Thailand, karena konstitusinya memungkinkan tentara berbisnis.
Aset bisnis TNI selama ini dibayangkan orang sangat besar, triliunan rupiah. Ternyata tak sebesar itu. Bagaimana penjelasannya?
Saya sudah memperkirakan apa yang dibayangkan masyarakat itu tidak tepat. Defisit anggaran (pertahanan) Rp 70 triliun ditutup dari bisnis itu nggak masuk akal. Bahkan ditambah dengan yang ilegal pun, saya tidak percaya nilainya sampai segitu. Gabungkan saja, bisnis apa misalnya, timah, atau apa pun itu, kan omzetnya mesti Rp 700 triliun? Karena itu, biasanya, fee 10 persen. Pertamina? Rp 30 triliun. Astra? Freeport? Tapi bahwa (bisnis) ini banyak dan (polanya) kompleks, iya, seperti berapa model kerja sama dengan pihak lain.
Sudah habis berapa dana yang dipakai?
Sekitar Rp 2,1 miliar. Untuk menyewa komputer, merekrut tenaga pendata lapangan. Mudah-mudahan maksimal cuma habis Rp 2,5 miliar. Menteri Keuangan menjanjikan Rp 3,5 miliar. Ini sudah jauh turun dari tadinya diwajibkan Rp 26 miliar, lalu Rp 15 miliar. Tadinya kami berpikir perlu diaudit semua (bisnis TNI) supaya free and clear. Akhirnya dalam perjalanan, kami pikir, audit nggak usahlah. Kami rekrut saja anak-anak STAN (Sekolah Tinggi Akuntansi Negara), ada 70 anak. Murah meriah, kompetensi tinggi lagi. Kemudian 70 orang lagi dari Departemen Pertahanan, BPK, Mabes. Kami juga tidak membeli komputer, cuma sewa. Tapi server tetap milik sendiri, untuk penyimpanan data. Sejelek-jeleknya tim ini, punya data usaha dan barang di lingkungan TNI. Irit, karena biasanya orang kepepet dipaksa jadi cerdas, hahaha.
Ada perbedaan metode kerja di tim ini dengan saat Anda di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)?
Ya, jelas berbeda. Di KPK kami memulai dari nol. Tantangannya jauh lebih rumit, perang perasaan juga lebih dahsyat. Ekspektasi publik luar biasa. Kalau (bisnis TNI) ini, sudah tak seperti dulu lagi perhatian masyarakat. Pertengkaran batinnya juga tak seberat di KPK seperti waktu (kasus) Mulyana W. Kusuma. Hubungan Mulyana dan saya itu kan antara kemenakan dan paman.
Anda pernah membayangkan akan menjadi hidup dengan berkiprah sebagai investigator seperti sekarang?
(Tertawa) latar belakang saya ada karena dari bagian audit. Pernah jadi kepala audit internal, kepala akuntansi, dan sebagainya. Yang mengubah drastis hidup saya adalah ketika kami mendirikan Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), ketika kami merasa perlu meniru pemberantasan korupsi negara lain dengan memanfaatkan momentum reformasi 1998. MTI waktu itu memprakarsai adanya BIAK (Badan Independen Anti-Korupsi). Akhirnya saya tak bisa menghindar dari pembentukan tim pembentuk Komisi Pemberantasan Korupsi yang dipimpin Pak Romli (Atmasasmita). Waktu pemilihan, teman-teman mendorong saya, tanggung sudah terlibat, biarlah jadi wakil swasta, LSM. Nggak terbayangkan sebelumnya menjadi penyidik sekaligus penuntut umum.
Jangan-jangan pernah terlintas di kepala waktu kecil?
Nggak ada. Memang dulu bacaan kami anak-anak lelaki di rumah itu komik Rip Kirby (detektif swasta mantan marinir yang diciptakan komikus Alex Raymond). Yang menghayati betul kakak saya paling gede, dia sekarang jadi polisi beneran. Kalau saya cuma suka (cerita detektif) saja, hahaha.
Berdasarkan pengalaman investigasi Anda, apakah pola penyelewengan di swasta dan pemerintah itu sama?
Kalau di pemerintah umumnya kolusi. Bentuknya persekongkolan pengadaan, pemberian izin, pengadaan lain-lain di luar rencana, misalnya transaksi komoditas minyak. Swasta pada dasarnya sama, tapi lebih canggih, umpamanya dengan praktek transfer pricing, menggunakan anak perusahaan, atau perusahaan lain sebagai kedok.
Masih sempat memantau topik-topik lain di media massa?
Sekarang ini sejak tidak di KPK, saya mengurangi nonton televisi dan membaca koran.
Lho, kenapa?
Pusing. Beneran, ini dilatih sama saya sejak di KPK. Sejak setahun di KPK, sudah mulai saya kurangi. You bayangkan, dulu di antara lima orang di KPK, saya dianggap paling kenal dengan media. Saya ditugaskan sebagai juru bicara, dengan salah-salahnya. Tahun pertama saya ngomong dengan media, tapi setelah tahun kedua, ketiga, empat orang lainnya juga suka ngomong ke media kan setelah tahu manfaatnya ngomong ke media. Tapi perjalanan dan pengalaman setahun itu selalu ada yang kurang. Kami ngomong begini kurang, begitu kurang. Ya sudahlah, lama-lama pusing juga. Daripada pusing-pusing mending kurangi baca koran saja, hahaha.
Sumber: Koran Tempo, Minggu, 05 Oktober 2008