Kaburnya Tokoh Kunci Korupsi

Oleh: Augustinus Simanjuntak

Kepergian Bendahara Umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin ke Singapura untuk berobat semakin membuat publik bertanya, benarkah dia sakit? Jika memang sakit, mengapa tidak berobat dulu di rumah sakit terbaik di Jakarta? Sebegitu rendahkah kualitas pelayanan rumah sakit kita sehingga banyak pejabat sakit (terutama yang diduga terlibat kasus korupsi) yang langsung berobat ke Singapura?

Lebih aneh lagi, pernyataan Sutan Bhatoegana, anggota tim yang diutus Demokrat ke Singapura untuk menemui Nazaruddin, bahwa bobot Nazaruddin telah berkurang 18 kilogram. Publik tentu heran, sungguh tidak masuk akal kurang dua pekan seseorang yang sakit jantung bisa turun berat badan sebanyak itu. Lagi pula, sebagai anggota DPR, publik tentu berhak tahu di rumah sakit mana dia dirawat. Yang jelas, kepergian Nazaruddin bakal menutup pintu pengusutan kasus-kasus korupsi yang melilitnya, termasuk kasus suap pembangunan wisma atlet SEA Games XXVI.

Misteri yang sama terjadi atas kepergian Nunun Nurbaeti ke luar negeri pasca ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus suap pemilihan deputi gubernur senior (DGS) BI (2004). Nunun diduga mengetahui pihak utama yang membagi-bagikan 480 lembar travel cheque senilai Rp 34 miliar kepada anggota Komisi XI DPR yang akhirnya memenangkan Miranda S. Goeltom sebagai DGS. Itu berarti bahwa kepergian Nunun ke luar negeri juga bakal memutus mata rantai pengusutan kasus suap pemilihan DGS.

Dugaan kasus korupsi berskala besar memang sering diwarnai dengan upaya penghilangan alat bukti maupun pembiaran tokoh kunci pergi ke luar negeri. Dulu, Kejaksaan Agung notabene kesulitan mencari sejumlah alat bukti penting terkait kasus penyalahgunaan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pascakrisis ekonomi 1997. Krisis waktu itu telah memicu rush yang berdampak pada likuiditas perbankan hingga memaksa BI menyuntikkan dana BLBI secara besar-besaran tanpa jaminan pengembalian yang jelas.

Selain pengusutannya yang berliku-liku, kasus BLBI semakin tidak jelas karena beberapa tokoh kunci masih misterius di luar negeri. Misalnya, Djoko S. Tjandra, Samadikun Hartono, Sjamsul Nursalim, Bambang Sutrisno, dan Andrian Kiki Iriawan. Selain itu, alat-alat bukti berupa dokumen diduga terbakar saat terjadi kebakaran di gedung BI (1997), entah disengaja atau tidak.

Kasus serupa terjadi dalam proses bailout Bank Century (BC). Panitia khusus (pansus) DPR mengungkap beberapa kejanggalan dalam proses bailout tersebut. Misalnya, temuan rekening fiktif di berbagai daerah, pemecahan rekening ke dalam bentuk deposito bernominal Rp 2 miliar supaya bisa dijamin Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), pembayaran dana pihak ketiga selama bank masih dalam special surveillance unit (SSU) senilai Rp 938,65 miliar (melanggar PBI No 7/38/PBI/2005), dan dugaan penggelapan dana kas valas USD 18 juta.

Sayang, kasus BC begitu sulit dipahami oleh publik karena penanganannya terkesan mengambang. Mabes Polri memang telah menetapkan dua pemegang saham pengendali BC (Hesham Al-Waraq, warga Arab Saudi, dan Ravat Ali Rijvi, warga keturunan Pakistan) sebagai tersangka dengan tuduhan penggelapan. Tetapi ironis, dua tersangka itu lenyap bak ditelan bumi karena notabene sudah melarikan diri ke luar negeri. Proses hukum BC pun seolah terputus di titik pelarian Hesham dan Ravat.

Pejabat jaksa agung waktu itu, Hendarman Supandji, seolah meyakinkan publik dengan membuat pernyataan luar biasa bahwa intelijen kejaksaan mengetahui dana Hesham dan Ravat di luar negeri Rp 11,9 triliun yang keluar dari Indonesia. Persoalannya, bagaimana cara kejaksaan mengetahui adanya dana itu? Hal ini pun masih misterius.

Anehnya, ketika Hesham dan Ravat dinyatakan kabur ke luar negeri, Robert Tantular (pemegang saham BC) justru dituntut dengan pasal 50A UU No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan karena dinilai telah menyuruh direksi atau pegawai bank untuk melakukan tindakan yang mengakibatkan bank tidak taat aturan. Aneh pula, Robert dituduh menggelapkan uang nasabah, bukan uang BC sebagai korporasi. Di sini tampak adanya upaya untuk menggiring kasus dugaan korupsi bailout BC dan raibnya dana nasabahnya ke arah personal liability. Dengan begitu, BC dan LPS bisa melepaskan diri dari tanggung jawab.

Seiring dengan upaya pengungkapan kasus BC oleh KPK, Mabes Polri sempat mengkriminalisasi dua pimpinan KPK (Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah). Keduanya dituduh telah menerima suap. Namun, tokoh pembawa uang suap (Anto Yulianto) ternyata masih misterius sampai sekarang. Anto Yulianto notabene menerima uang dari Ary Muladi untuk disampaikan kepada Bibit dan Chandra. Misteri Anto Yulianto akhirnya memperkuat dugaan bahwa kriminalisasi pimpinan KPK merupakan sebuah rekayasa.

Di Jawa Timur (Jatim), dr Bagus Sutjipto Soelyoadikoesoemo, seorang PNS Pemprov Jatim, juga menjadi tokoh kunci yang sampai sekarang masih menghilang. Sejak ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi dana program penanganan sosial ekonomi masyarakat (P2SEM), Bagus Sutjipto memang memilih untuk bersembunyi. Publik tentu bertanya, apakah Bagus Sutjipto memang menghilang atau sengaja disembunyikan pihak-pihak tertentu di atasnya untuk memotong mata rantai pengusutan kasus korupsi P2SEM?

Akankah muncul tokoh-tokoh misteri baru dalam setiap pengusutan dugaan korupsi berskala besar? Yang jelas, meski Nazaruddin, Nunun, dan para pengemplang dana BLBI, atau Anto Yulianto, atau Hesham dan Ravat akhirnya (misalnya) diadili secara in absensia dan divonis tujuh tahun penjara, seperti vonis Bagus Sutjipto di PN Sidoarjo, penyembunyian mereka di luar negeri merupakan sebuah tragedi dalam pemberantasan korupsi di negeri ini.

Augustinus Simanjuntak, Dosen Hukum Bisnis Fakultas Ekonomi UK Petra Surabaya

Sumber: radarjogja, Jumat, 17 Juni 2011
-

Arsip Blog

Recent Posts