Korupsi, Kini Giliran Kami Makan

Oleh: Djoko Susilo

Bangsa ini mungkin gampang lupa. Hanya satu dasawarsa yang lalu, ketika terjadi gerakan nasional menumbangkan rezim Orde Baru yang dituding sangat represif dan korup, di mana-mana diteriakkan slogan: reformasi dan berantas KKN (korupsi, kolusi, dan nepotisme). Rezim dan pemerintahan berganti, tapi reformasi jalan di tempat dan KKN bukannya berkurang, malah menggurita. Apa yang salah dari semua ini?

Tidak kurang dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam berbagai kesempatan mencanangkan perang melawan korupsi. Tapi, dalam tataran pelaksanaan, imbauan dan perintah pemberantasan korupsi itu seperti dianggap angin lalu. Dengan kata lain, jajaran pemerintahan, baik di tingkat nasional, provinsi, maupun daerah, menganggap sepi ajakan Presiden memerangi korupsi. Korupsi malah dilakukan berjemaah, baik di bidang legislatif, eksekutif, maupun yudikatif; oleh kalangan partai politik, akademik, swasta, maupun profesional lainnya. Kalau demikian, sesungguhnya ketika menentang rezim Orde Baru dengan slogan pemberantasan KKN dulu, kita hanya menunggu “giliran untuk makan (harta negara)”.

Kalau kita perhatikan dengan saksama, para tokoh yang menduduki jabatan strategis di pemerintahan dulu banyak dikenal sebagai aktivis mahasiswa yang melawan kebobrokan penguasa. Tidak sedikit yang menghabiskan waktu di balik penjara karena “perjuangan”-nya tersebut. Tapi kini, ketika dalam posisi untuk menjalankan amanah, sangat sedikit yang mampu bertahan dengan idealismenya. Banyak yang lupa akan nasihat negarawan kita H Agus Salim, yang sangat terkenal dengan ungkapannya, “memimpin adalah menderita” (leiden is ujden).

Tapi kini banyak orang berlomba-lomba menjadi “pemimpin”. Banyak orang malah harus mengeluarkan uang miliaran rupiah untuk menjadi “pemimpin”. Politik uang pun marak. Sungguh mengherankan. Mungkin kalau KH Agus Salim masih hidup sekarang, terpaksa harus mengoreksi nasihatnya tersebut. Ternyata sekarang makin banyak orang yang ingin menjadi “pemimpin”. Sebab, sosok pemimpin seperti yang dicontohkan H Agus Salim dan rekan seperjuangannya zaman penjajahan dulu, kini hanya dalam impian dan angan-angan.

Menjadi pemimpin kenegaraan dalam masa sekarang sangat jauh dari kesengsaraan. Bukan saja mereka mendapat fasilitas negara yang lebih dari cukup, tapi tidak sedikit yang tanpa malu-malu bersikap berlebihan. Keserakahan seorang pemimpin jauh lebih berbahaya dibanding keserakahan rakyat biasa. Mengapa menjadi serakah? Sebab, pada dasarnya, ketika belum menjadi pemimpin atau pejabat, mereka iri terhadap penguasa. Mereka ingin menjadi penguasa karena ingin menikmati semua fasilitas yang ada, bahkan melebihinya jika memungkinkan.

Michela Wrong, seorang wartawati koran Financial Times, menulis dalam bukunya, It's Our Turn to Eat, bagaimana gerakan antikorupsi di sebuah negara Afrika mati suri. Pada mulanya para aktivis itu berjanji akan memberantas korupsi ketika mereka masih dalam posisi sebagai oposisi dan belum punya jabatan. Namun, segera setelah menjabat dan berkuasa, semua janji dan idealisme itu mudah terlupakan. Salah satu penyebabnya adalah semuanya hanya berniat berbagi kue kekuasaan dan jabatan ketika berkuasa. Jadi, penguasa boleh berganti, korupsi akan jalan terus. Siklus ini akan terus berjalan, tidak akan berhenti jika virusnya sejak awal tidak dihentikan dengan cepat.

Menurut Wrong, kesalahan utama para reformer dan aktivis antikorupsi tulen, mereka tidak cepat-cepat menumpas penyakit korupsi begitu kesempatan terbuka. Akibatnya, birokrasi korup, yang tadinya sudah takut akan gelombang antikorupsi, secara perlahan pasti mampu menyesuaikan diri dengan keadaan baru, dan malah mampu menjinakkan para penguasa baru tersebut. Masalahnya, para “pemimpin” yang menjadi penguasa baru itu selama ini hanya iri tidak mendapat giliran berkuasa, sehingga dengan cepat dia akan terperangkap dalam sistem korup yang sudah ada sebelumnya.

Sistem yang korup itu makin subur ketika sistem politik yang ada berdiri tanpa ideologi yang jelas. Pragmatisme politik ikut menyuburkan korupsi. Partai politik tanpa ideologi mirip bus metro mini yang siap mengangkut siapa saja calon penumpang yang bersedia membayar tiketnya. Penumpang dalam metro mini ini hanya punya kesamaan dalam membayar tiket bus. Setelah memberikan uangnya, urusan selesai. Demikianlah kondisi partai politik tanpa ideologi, yang sesungguhnya sangat buruk akibatnya bagi masyarakat luas. Jika ini terus berlangsung, pembusukan bangsa akan makin gawat.

Pragmatisme partai tanpa ideologi ini, parahnya, sudah menular ke kalangan generasi muda. Saat ini, bukan rahasia lagi, menjadi tokoh mahasiswa, baik sebagai pemimpin organisasi ekstra, Badan Eksekutif Mahasiswa, maupun organisasi kemasyarakatan pemuda lainnya, merupakan “tiket” untuk mobilitas sosial dalam strata politik di negeri ini. Dalam proses ini, sudah ada “pelatihan” untuk mendapatkan kue kekuasaan. Sudah biasa bahwa cara gampang bagi para “pemimpin generasi muda” dalam mengumpulkan dana ialah dengan mengajukan proposal kepada para pejabat. Tidak pernah ada inovasi dari mereka. Jika sudah mendapat dana dari seorang pejabat, mereka masih meminta kepada pejabat yang lainnya. Pendek kata, berkembang pola hubungan patron-client antara pejabat dan “tokoh pemuda” tersebut. Inilah cikal-bakal pola hubungan yang melanggengkan korupsi di Tanah Air.

Karena itu, semakin banyak client pejabat, semakin besar tekanan kepadanya untuk mencari anggaran ekstra. Dalam posisi demikian, tidak terhindarkan lagi bahwa sumber-sumber keuangan negara akhirnya menjadi “ladang garapan” yang paling menjanjikan. Kementerian serta lembaga negara akan terus menjadi sapi perah dengan konsekuensi kepentingan bangsa dan negara yang dikorbankan. Tentu kondisi akan berbeda jikalau menjadi pemimpin adalah bersedia berkorban, menderita, serta menjadi teladan bagi kebaikan berbangsa dan bernegara.

Kalau menjadi pemimpin itu menderita, sebagaimana diungkapkan H Agus Salim, kira-kira apa masih banyak yang antre untuk menjadi menteri dan berbagai jabatan publik lainnya?

Pragmatisme politik ikut menyuburkan korupsi. Partai politik tanpa ideologi mirip bus metro mini yang siap mengangkut siapa saja calon penumpang yang bersedia membayar tiketnya. Djoko Susilo, Mantan anggota DPR Fraksi Partai Amanat Nasional 1999-2009

Sumber: korantempo, Jumat, 7 Oktober 2011
-

Arsip Blog

Recent Posts