Negara Berpemerintahan

Oleh: Eko Prasojo

Berbagai kritik terhadap pemerintah terus saja mengalir. Setelah tokoh lintas agama menyatakan berbagai kebohongan pemerintah, saat ini sedang digalang Dewan Penyelamat Negara (DPN) yang prihatin terhadap kondisi negara yang makin tak menentu.

Bahkan, kekhawatiran sejumlah deklarator DPN tersebut sudah sampai pada kondisi negara gagal. Permasalahan yang diutarakan mulai dari lemahnya kepemimpinan nasional, korupsi yang merajalela di semua lapisan lembaga negara dan pemerintah, pertumbuhan ekonomi yang tidak merata, hingga gagalnya perwujudan tujuan-tujuan bernegara. Deklarasi ini sangat patut diperhatikan karena digagas oleh sejumlah tokoh nasional.

Fragmentasi Pemerintahan

Transisi dari negara otoritarian menjadi negara demokratis dan transisi dari negara sentralistik menjadi negara desentralistik telah menyebabkan situasi anomali dalam pemerintahan. Hal ini ditandai dengan munculnya fragmentasi yang berlebihan dalam sistem politik dan berimbas dalam sistem pemerintahan.

Ada dua fragmentasi yang terjadi selama 13 tahun masa transisi demokrasi. Pertama, fragmentasi secara horizontal dalam pemerintahan nasional. Sistem presidensial, sebagaimana diamanatkan UUD 1945 hasil amandemen, ternyata tidak bisa berjalan efektif karena pos-pos kementerian diisi dengan basis multipartai. Maka, keputusan yang dihasilkan dalam sidang kabinet sering kali tidak dapat dieksekusi dengan baik. Soliditas pemerintahan tampaknya sulit diwujudkan karena bervariasinya kepentingan di kabinet.

Di sisi lain, hasil pemantauan dan evaluasi oleh Unit Kerja Presiden untuk Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) belum bisa diterapkan secara optimal karena berbagai pertimbangan politik koalisi. Kondisi ini sebenarnya disebabkan oleh menjamurnya jumlah partai politik sebagai akibat proses demokratisasi yang terjadi sejak 1998. Tentu saja faktor kepemimpinan nasional juga berpengaruh atas fragmentasi ini. Pilihan multipartai dalam pemerintahan menyebabkan sulitnya pencapaian tujuan-tujuan bernegara.

Kedua, fragmentasi vertikal antara pemerintah pusat dan daerah. Proses demokratisasi telah melahirkan pemerintahan yang sangat desentralistik. Pemberian wewenang yang sangat besar disertai dengan penghapusan instansi vertikal di kabupaten/kota telah menyebabkan sulitnya koordinasi pemerintahan antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Jika terjadi kegagalan program pemerintah secara nasional, hal ini bukanlah semata-mata kegagalan pemerintah pusat, melainkan juga kegagalan sistem pemerintahan secara nasional.

Desain pemerintahan yang terlalu desentralistik telah menyebabkan hilangnya kendali pemerintah pusat atas penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Hal ini diperkuat dengan sistem pemilihan langsung kepala daerah yang didukung oleh variasi koalisi partai politik yang sangat beragam dari Sabang sampai Merauke.

Beragamnya koalisi di tingkat pemerintahan daerah ini menyulitkan kesatuan komando pemerintahan karena para gubernur dan bupati/wali kota tentu saja lebih loyal pada keputusan dewan pimpinan pusat (DPP) partai daripada presiden. Sekali lagi, dalam hal ini presiden tersandera oleh bervariasinya kepentingan politik dalam pemerintahan secara vertikal. Sebagai kepala pemerintahan, Presiden kesulitan untuk menyinkronisasikan rencana strategis pemerintahan dari pusat hingga ke kabupaten/kota. Tentu saja faktor kepemimpinan nasional tetap berperan penting dalam harmonisasi dan sinergi pemerintahan karena menjalankan pemerintahan merupakan seni, selain sistem dan pengetahuan.

Kendala Efektivitas

Kedua fragmentasi tersebut memang menjadi kendala utama dalam perwujudan efektivitas pemerintahan. Transisi demokrasi sepertinya akan mengalami stagnasi karena para politisi di Senayan lebih banyak berkutat pada kepentingan parsial dalam pembahasan Undang-Undang Partai Politik dan Undang-Undang Pemilu. Selama Undang-Undang Partai Politik dan Pemilu masih memungkinkan insentif bagi tumbuhnya jumlah partai politik, selama itu pula pemerintahan sulit menegakkan efektivitas.

Berbagai tuduhan tentang kegagalan pemerintahan sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari buruknya kualitas birokrasi Indonesia. Penulis sendiri sebenarnya sudah sejak lama mengusulkan agar pemerintah bersungguh-sungguh mereformasi birokrasi karena birokrasi adalah mesin dan instrumen utama untuk mewujudkan semua cita-cita bernegara dan berpemerintahan.

Reformasi birokrasi yang sudah dijalankan di sejumlah lembaga negara, kementerian, dan lembaga pemerintah nonkementerian (LPNK) belum dapat dikatakan berhasil karena berbagai kecenderungan penyalahgunaan kewenangan tetap saja terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan.

Rakyat belum merasakan adanya perbaikan kualitas pelayanan oleh birokrasi. Bahkan, sejumlah program quick win yang dicanangkan oleh kementerian dan lembaga tampak gagal. Demikian pula dengan apa yang sudah dicapai oleh Kementerian Keuangan perlu dikaji ulang keberlanjutannya sekarang.

Keseriusan melakukan reformasi birokrasi mensyaratkan dukungan dan kemauan politik yang tidak main-main. Apabila diperlukan, presiden harus memimpin dan menetapkan target pencapaian dan evaluasi atas hasil yang dicapai dalam reformasi birokrasi secara berkala. Reformasi birokrasi juga harus menjadi darah daging bagi para menteri dengan dua alasan, yaitu menjaga agar semua target program setiap kementerian dapat dicapai dan melindungi para menteri itu sendiri dari tabiat birokrasi yang menyalahgunakan wewenang. Hal ini penting disadari oleh para pembantu presiden sebab jika terjadi kegagalan mewujudkan program dalam kontrak kinerja dengan Presiden, salah satu faktornya adalah buruknya kualitas birokrasi.

Dalam praktik selama 13 tahun masa transisi demokrasi, birokrasi telah mengalami pendalaman luka. Sistem merit dalam birokrasi hampir tidak mungkin diterapkan karena buruknya sistem perekrutan dan promosi jabatan. Intervensi politik yang sangat tinggi telah menyebabkan mesin birokrasi tumpul. Orang-orang berkualitas dalam birokrasi justru terpental keluar dari sistem sehingga akhirnya birokrasi digerakkan oleh birokrat dengan ciri-ciri tidak kompeten dan memiliki kebiasaan mal-administrasi. Ada sejumlah birokrat yang baik dan kompeten, tetapi sistem tidak dapat menerima mereka. Penulis sendiri berkeyakinan, siapa pun yang akan memimpin negara dan bangsa Indonesia dengan kualitas birokrasi yang ada saat ini akan kesulitan mewujudkan tujuan-tujuan bernegara.

Tidak Tegaknya Hukum

Hukum adalah fondasi utama sebuah negara. Jika hukum dapat ditegakkan, negara akan tetap kokoh meski terjadi berbagai kerusakan subsistem. Saat ini penegakan hukum mengalami distorsi luar biasa saat hukum hanya berlaku bagi masyarakat kecil dan mereka yang tidak memiliki akses pada kekuasaan.

Tidak tegaknya hukum ini disebabkan oleh berbagai alasan; kebiasaan-kebiasaan menyalahgunakan wewenang yang masih melekat dalam proses penegakan hukum, transaksi ekonomi politik yang berbasis pertukaran kewenangan, serta penyanderaan hukum untuk dan atas nama kepentingan kekuasaan. Sulitnya penegakan hukum ini menjalar ke berbagai sel sistem negara, baik dalam politik, ekonomi, maupun birokrasi yang selalu berujung pada terjadinya korupsi.

Jika mengharapkan reformasi birokrasi berdampak sistemis dan berganda, reformasi kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman harus menjadi prioritas utama presiden. Korupsi dalam ranah pada penegakan hukum hanya akan menimbulkan efek domino terjadinya korupsi di politik dan birokrasi. Pemerintah harus memfokuskan reformasi birokrasi di tiga lokus subsistem pemerintahan tersebut.

Akhirnya, penulis berpandangan bahwa salah satu hal yang juga menjadi penyebab tidak berfungsinya pemerintahan secara efektif adalah mandulnya gagasan-gagasan orisinal dari perguruan tinggi untuk memberikan masukan dalam sistem dan desain pemerintahan. Sering kali aktivitas-aktivitas intelektual para ilmuwan hanya berujung pada laporan penelitian.

Perguruan tinggi dan lembaga penelitian telah kembali menjadi menara gading. Dominasi kepentingan politik dalam derajat tertentu juga telah mematikan bangunan kapasitas dan roh intelektual dalam pemerintahan.

Eko Prasojo, Guru Besar Administrasi Negara dan Ketua Program Pascasarjana Ilmu Administrasi FISIP UI

Sumber: kompas, Senin, 11 April 2011
-

Arsip Blog

Recent Posts