Oleh: Zainal Arifin Mochta
Genderang perang terhadap para koruptor sudah lama ditabuh. Tapi selama ini, harus diakui, jarang ditabuh oleh pasukan Istana. Karena itu, gebrakan memperketat pemberian remisi dan pembebasan bersyarat bagi tahanan koruptor, paling tidak, telah memberi sedikit harapan akan adanya efek gema tabuhan perang tersebut. Meski terkesan lamat-lamat, tapi nyata sudah ada.
Sejujurnya ini ide yang sudah cukup uzur. Berbagai fasilitas remisi dan pembebasan bersyarat yang diberikan kepada banyak koruptor, bahkan sering kali dengan melanggar aturan, sudah memberi perlakuan menyenangkan bagi para koruptor. Berbagai usulan sudah dibicarakan dan diberikan mengiringi. Kini ia menemukan jalan birokratif dalam bentuk kebijakan pemerintah melalui tangan pemegang tampuk pemimpin Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang baru.
Logika kebijakannya “kurang-lebih terbaca” begini. Pertama, remisi dan pembebasan bersyarat tidak dihentikan, melainkan lebih diketatkan syaratnya. Kedua, pengetatan syarat itu dilakukan dengan menambahkan penafsiran terhadap ketentuan di Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006, khususnya perihal remisi di Pasal 34 ayat 3 yang menyebutkan adanya syarat “berkelakuan baik”. Sebagai syarat mendapatkan remisi, maka “berkelakuan baik” diterjemahkan sebagai syarat yang, antara lain, mau menjadi justice collaborator. Sedangkan untuk pembebasan bersyarat, maka ditambahkan interpretasi baru atas klausul di pasal 43 ayat 5 tentang syarat mendapatkannya, yakni “wajib memperhatikan kepentingan keamanan, ketertiban umum, dan rasa keadilan masyarakat”. Ketiga, kebijakan ini akan berlaku prospektif, berlaku ke depan, sehingga di kemudian hari siapa pun harus tunduk kepada ketentuan baru tersebut.
Beberapa Catatan
Kenapa kebijakan ini masih harus diberi tanda “kurang-lebih terbaca”, karena memang tidak ada satu pun dokumen, apalagi produk hukum, yang dipakai untuk menjelaskan bingkai besar kebijakan ini. Dengan demikian, siapa pun terpaksa memang harus “meraba” mengenai syarat-syarat baru yang merupakan pengetatan untuk menjerakan para koruptor.
Ada beberapa hal besar yang mudah menjadi sorotan. Pertama, mengapa hanya membicarakan remisi dan pembebasan bersyarat? Bagaimana dengan program asimilasi ataupun cuti? Hal yang bisa menegaskan, jangan-jangan Kementerian Hukum memang mempunyai ide bernas ini tapi masih dalam tahapan kajian. Sejujurnya koruptor tak hanya mendapatkan hal istimewa dari remisi dan pembebasan bersyarat, tapi juga kemungkinan mendapatkan anugerah yang sama dari asimilasi. Kalau memang akan diketatkan, semuanya harus diperhatikan.
Kedua, memberi interpretasi baru tanpa menguatkannya secara produk hukum yang bisa terbaca dan menjadi alat ukur yang jelas bagi siapa saja yang akan mengaksesnya. Yang namanya kebijakan tentu harus punya standar yang baku. Misalnya siapa saja yang boleh dan tidak boleh diberi remisi serta pembebasan bersyarat. Kalau yang mencuat baru sebatas sebagai justice collaborator, bagaimana dengan ide yang lainnya? Bagaimana dengan para terpidana koruptor yang telah membayar denda dan uang pengganti sebagai bagian dari cita-cita negara untuk melakukan asset recovery? Bisakah diperinci apa saja syarat baru pengetatan itu?
Sebuah kebijakan harus diperinci secara detail tentang apa saja yang akan dijadikan sandaran untuk pemberian atau penolakan remisi dan pembebasan bersyarat. Mustahil membiarkan hal itu menjadi ranah penafsiran oleh direktur jenderal yang memberi pertimbangan kepada menteri semata. Sebab, jika penafsiran itu hanya diberikan kepada menteri untuk digunakan tanpa adanya standar baku, bisa terjebak ke ketidaksamaan perlakuan. Sebab, penafsiran dirjen dalam memberi pertimbangan kepada menteri bisa berubah-ubah seiring dengan cognitive talent-nya. Standar yang berubah-ubah tentu saja akan menjadi pertanyaan besar dalam term negara hukum. Jika tidak ingin berubah-ubah, segera perinci apa saja yang akan menjadi syarat baru yang ketat untuk mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat tersebut.
Pilihan yang Mungkin
Karena itu, tak dapat dimungkiri bahwa ide luar biasa inilah yang harus diselamatkan sekarang. Diselamatkan dari kemungkinan dipermasalahkan dan dirusak oleh orang yang berpikir hukum tanpa mengimbuhinya dengan pemihakan kepada agenda besar pemberantasan korupsi.
Caranya tentu saja sederhana. Kementerian Hukum dan HAM bisa memilih satu di antara tiga pilihan yang mungkin untuk menguatkan ide besar buat memberi efek jera bagi para koruptor. Pertama, dan ini langkah paling ideal, adalah dengan merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006. Paling tidak, menambahkan syarat pengetatan yang diinginkan sebagai bagian untuk memerinci penafsiran atas klausul “berkelakuan baik” dan “memperhatikan rasa keadilan masyarakat”. Jangan lupa, PP Nomor 28 Tahun 2006 sudah merupakan bagian dari “pengetatan” terhadap para koruptor. Maka, kalau idenya adalah pengetatan yang sama, paling ideal adalah dengan menuangkannya ke dalam revisi atas peraturan pemerintah.
Atau bisa memilih pilihan kedua, yakni dengan mengeluarkan peraturan presiden sebagai bagian dari penjelasan yang terperinci terhadap aturan mengenai syarat mendapatkan remisi dan pembebasan bersyarat. Pasal 35 PP Nomor 28 Tahun 2006 sudah menegaskan soal pendelegasian peraturan lebih lanjut soal remisi di peraturan presiden. Sedangkan untuk pembebasan bersyarat dapat diperinci lebih jelas di keputusan menteri, sebagaimana yang diperintahkan di Pasal 47 ayat 3 PP Nomor 32 Tahun 1999 yang tidak diganti melalui PP Nomor 28 Tahun 2006.
Atau sekurang-kurangnya memilih jalan yang ketiga, yakni menjelaskan secara detail tafsiran baru yang menjadi pilihan baru Kementerian Hukum melalui surat edaran bagi para kepala lembaga pemasyarakatan dalam mengusulkan pemberian remisi patokan buat dirjen dalam memberi pertimbangan kepada menteri. Paling tidak, bisa menjadi patokan yang berarti ketika akan memutuskan pemberian remisi dan pembebasan bersyarat.
Intinya, ide besar untuk memperlakukan narapidana korupsi dengan lebih pas yang kemudian sudah berubah menjadi kebijakan luar biasa ini harus diselamatkan. Inilah bagian dari upaya luar biasa melawan kejahatan yang luar biasa yang sudah lama kita impikan. Dan inilah pembuktian untuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono: apakah ia mau dan mampu menguatkan pemberantasan korupsi dengan mendorong hal ini dengan kuat, termasuk menguatkan aturan hukum yang dibutuhkan? Sebab, memang hal ini sungguh sebuah kebijakan yang patut diselamatkan. Zainal Arifin Mochtar, Pengajar ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Direktur PuKAT Korupsi FH UGM Yogyakarta
Sumber: korantempo, Senin, 7 November 2011