Kamis (31/8) dini hari, Direktur Utama PT PLN Eddie Widiono lepas demi hukum dari tahanan Polri karena masa penahanan habis. Lepasnya Eddie dari tahanan ini menyusul penangguhan penahanan terhadap dua tersangka korupsi PT PLN lainnya.
Dua tersangka yang lebih dahulu ditangguhkan penahanannya adalah Direktur Pembangkitan Energi Primer PT PLN Ali Herman Ibrahim dan Direktur Utama PT Guna Cipta Mandiri Johannes Kennedy Aritonang, yang masing-masing memberikan uang jaminan Rp 500 juta.
Fenomena penangguhan penahanan ataupun lepas demi hukum dari tahanan menambah deretan panjang penangguhan penahanan tersangka yang dilakukan kejaksaan dan kepolisian.
Sungguh kontras dibandingkan dengan suasana semangat pemberantasan korupsi tahun 2005. Pada tahun 2005, dunia hukum Indonesia dimeriahkan dengan gegap gempita dan garangnya pemberantasan korupsi.
Mulai dari tertangkapnya anggota KPU Mulyana Wira Kusumah yang menyuap auditor BPK Khairiansyah Salman. Dilanjutkan dengan tertangkapnya pengacara Abdullah Puteh, Teuku Syaifuddin Popon, dan dua panitera PT DKI Jakarta. Juga tertangkapnya pengacara Probosutedjo, Harini Wijoso, dan lima pegawai MA dalam aksi pemberian-penerimaan uang untuk urusan perkara.
Kejaksaan dan kepolisian tak kalah gegap gempitanya, di antaranya penangkapan mantan Menteri Agama Said Husein Al Munawar dan mantan Direktur Jenderal Departemen Agama Taufik Kamil. Pada awal tahun 2006, kejaksaan dan kepolisian menangkap hakim kasus Jamsostek Herman Allositandi dan panitera PN Jakarta Selatan Jemmy Lumanauw.
Bahkan, untuk mempertegas aksi pemberantasan korupsi, Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menerbitkan Surat Edaran Jaksa Agung Nomor 001/A/JA/02/2006 yang isinya melarang jajarannya mengalihkan jenis penahanan dan menangguhkan penahanan.
Namun, tidak sampai satu tahun, dalam hitungan bulan, sejumlah tersangka sudah ditangguhkan penahanannya, dengan argumen yang bervariasi.
Misalnya, Mantan Kepala BPPN Syafruddin Arsyad Temenggung, Komisaris Pabrik Gula Rajawali III Njono Soetjipto, dua tersangka yang diduga terlibat dalam pemberian uang Rp 2,25 miliar dari BNI kepada pejabat Mabes Polri, dan tiga tersangka kasus dugaan korupsi PT PLN.
Ada apa di balik aksi penangguhan penahanan tersangka ini? Benarkah penyidik kurang memiliki kemampuan membuktikan tuduhannya atas praktik korupsi yang diduga dilakukan tersangka ini? Benarkah penahanan pejabat hanya untuk mendongkrak popularitas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ataukah ada muatan pemerasan dan permainan perkara?
Seharusnya, baik Kepala Polri Jenderal (Pol) Sutanto dan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh membuka kepada publik mengapa musim penangguhan penahanan para tersangka ini mulai kembali marak terjadi.
Koordinator Indonesia Corruption Watch Teten Masduki menganalisis, di tahun kedua pemerintahan Yudhoyono, elan pemberantasan korupsi mulai hilang. Komitmen mempercepat pemberantasan korupsi kini mulai dilupakan.
Meredupnya elan pemberantasan korupsi ini karena aksi pemberantasan korupsi justru terbentur dengan tidak adanya perubahan institusional dalam diri lembaga penegak hukum, birokrasi, maupun lembaga yudikatif seperti Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
“Komitmen yang tadinya bersifat harapan kini menghadapi realita fundamental yang sulit untuk mewujudkan harapan itu. Betapa tidak, Yudhoyono yang ingin mendorong upaya pemberantasan korupsi, tetapi ternyata ia masih menggunakan kendaraan lama yang masih bobrok, tidak diservis. Itulah fakta yang tidak bisa dimungkiri. Kejaksaan dan kepolisian belum berubah,” ujar Teten.
Problem signifikan berada dalam diri lembaga tersebut, baik kejaksaan maupun kepolisian. Di dalam pengungkapan kasus korupsi, masih marak terjadi benturan kepentingan berkaitan dengan relasi politik dan relasi bisnis serta adanya problem integritas dari aparat penegak hukum.
“Kalau kita lihat dari segi kasus, kasus korupsi yang diungkap masih tergolong mudah. Akan tetapi, itu pun masih banyak yang luput. Mayoritas kasus korupsi pengadaan barang dan jasa, dan untuk melacak ke mana larinya kekayaan hasil korupsi masih mudah. Belum ada kasus korupsi dengan modus kejahatan perbankan yang canggih yang telah berhasil diungkap penyidik,” kata Teten.
Ia juga menyoroti ketidakmampuan aparat penegak hukum untuk menyentuh pejabat yang masih berkuasa. “Sekarang yang banyak ditangkap adalah mantan pejabat yang sudah tidak memiliki proteksi. Untuk menangkap mereka mudah karena sudah tidak ada hambatan dalam penegakan hukum. Namun, kita melihat sendiri betapa sulitnya jika hendak menangkap seorang pejabat yang saat ini masih berkuasa,” ujar Teten.
Direktur Eksekutif Masyarakat Transparansi Indonesia Agung Hendarto menyoroti mengendurnya aksi pemberantasan korupsi di tahun 2006. Bahkan, bisa disebut, justru di tahun ini kekuatan korupsi mulai bangkit.
Ini terlihat dari munculnya beking di belakang para koruptor, mulai digugatnya kewenangan aparat penegak hukum melalui berbagai jalur. Bahkan, yang serangan signifikan melalui jalur uji materi di Mahkamah Konstitusi karena penggugat berkeyakinan aksi pemberantasan korupsi telah melanggar hak konstitusional mereka. Padahal, para koruptor telah melanggar hak asasi rakyat. Hak rakyat memperoleh hidup yang baik, kesehatan yang baik, dan pendidikan yang baik.
Agung menyoroti modus penetapan tersangka, baik yang dilakukan KPK dan Tim Tastipikor yang merupakan gabungan kejaksaan dan kepolisian. Modus penetapan tersangka yang dilakukan aparat kejaksaan dan kepolisian, termasuk Tim Tastipikor, bisa disebut sebagai suatu bentuk eforia.
“Saya mau mencontohkan, saat penetapan tersangka Syafruddin Temenggung, apakah betul telah ada cukup kuat bukti Syafruddin benar-benar menjual dengan modus mark down ataukah pada saat itu Syafruddin menjual karena dikejar untuk mengisi APBN? Begitu pula penetapan tersangka Khairiansyah, ini merupakan antitesis dari pertemuan dan komunikasi antara pejabat Kejaksaan Agung dan pejabat BPK lalu ditetapkanlah Khairiansyah sebagai tersangka. Modus penetapan tersangka yang dilakukan kepolisian dan kejaksaan lebih karena adanya eforia,” kata Agung.
Akibatnya, kata Agung, ketika proses penyidikan dilanjutkan, kerap kali Tim Tastipikor menghadapi kendala kurangnya bukti. Banyak kasus besar yang ditangani Tim Tastipikor mentah di tengah jalan, bahkan tidak jarang kandas di pengadilan.
Agung melanjutkan, berbeda dengan modus penetapan tersangka yang dilakukan KPK. Penetapan tersangka yang dilakukan KPK baru dilakukan setelah ditemukan bukti kuat akan keterlibatan tersangka itu. Bahkan, bisa disebut, penetapan tersangka yang dilakukan KPK cenderung hati-hati. Selain itu, KPK menggunakan metode baru, di antaranya menggunakan whistleblower (peniup peluit) untuk bisa mengungkap kasus korupsi seperti suap.
Peran KPK
Khusus terhadap peran KPK dalam pemberantasan korupsi, Agung menyoroti aksi yang dilakukan KPK tahun 2006 ini tidak segarang aksi tahun 2005. “Kalau KPK, kendala teknis hampir dikatakan tidak ada. Sumber daya KPK hampir bisa dikatakan bekerja lebih total karena didukung dengan anggaran yang cukup, begitu pula persoalan teknis,” kata Agung.
Problem signifikan yang dialami KPK terletak justru pada jajaran pimpinan KPK, di mana pimpinan KPK tidak mampu menaruh prioritas yang jelas, sektor mana yang akan dibersihkan. “Pimpinan KPK harus fokus. Kami masih mengingat, dulu prioritas yang dicanangkan adalah reformasi peradilan, akan tetapi sampai saat ini tidak ada realisasi nyata dari rencana pembersihan dan perbaikan peradilan itu,” gugat Agung.
Agung juga mempersoalkan, tahun 2006 ini KPK cenderung melakukan penyidikan yang bersifat reguler, artinya kasus korupsi yang masuk ke KPK. Metode baru, misalnya, penggunaan whistleblower untuk mengungkap kasus yang sulit diungkap seperti suap mulai tidak terlihat lagi.
Sependapat dengan Agung, Teten menilai pimpinan KPK tidak bisa membuat prioritas kasus ataupun sektor yang ingin dibersihkan. Pemilihan kasus yang ditangani pun terkesan acak, tanpa prioritas.
“Padahal, prioritas kasus atau sektor itu yang bisa menimbulkan efek jera. ICAC Hongkong dalam tahun pertama pemberantasan korupsi menaruh prioritas pada penegakan hukum dan pemulihan ekonomi. Dengan adanya prioritas itu, ICAC memfokuskan pada sektor aparat penegak hukum,” kata Teten.
Pakar antikorupsi Robert Klitgaard menyebutkan beberapa prinsip kunci dalam pemberantasan korupsi adalah menindak tegas tanpa pilih kasih, partisipasi menyeluruh, koordinasi yang baik, dan mengubah sistem pemerintahan. Juga yang tidak kalah pentingnya adalah membuat strategi pemberantasan korupsi.
Selain problem pada diri aparat penegak hukum, praktik pemberantasan korupsi masih terbentur pada dinding yang sama, yaitu integritas dan komitmen birokrasi, baik birokrasi penegak hukum, birokrasi eksekutif, legislatif, maupun yudikatif yang masih rendah.
Akibatnya, justru nada sumbang berasal dari lembaga negara. Bangsa ini memang belum beramai-ramai menertawakan korupsi. Jangan heran jika korupsi masih tetap akan menjadi bagian dari sejarah Indonesia masa depan.
Sumber: Kompas, Jumat, 08 September 2006