Oleh Moh Mahfud Md.
Adalah mengejutkan ketika awal pekan ini tibatiba Kejaksaan Agung dan kepolisian mengonfirmasi bahwa mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari telah ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan kasus korupsi di Kementerian Kesehatan yang pernah dipimpinnya.
Mengejutkan, karena selama memimpin kementerian itu, Siti Fadilah dikenal sebagai menteri yang vokal,blak-blakan,dan berani. Orang yang berani dan vokal itu biasanya relatif bersih karena kalau tidak bersih sulit untuk berani.Tetapi bukan berarti orang yang pendiam itu tidak bersih. Dalam kenyataannya banyak juga orang pendiam yang bersih, tapi mereka tidak suka ngomong atau tampil secara meledak-ledak.
Namun, keberanian dan sikap Siti Fadilah saat menjadi menteri biasanya dimiliki oleh orangorang yang bersih dari korupsi dan kolusi.Apa yang sebenarnya terjadi dengan Siti Fadilah hingga dia jadi tersangka? Kita tentu tak bisa tahu persis apa yang sebenarnya menimpa Siti Fadilah sebab kejaksaan maupun kepolisian belum mengungkap keterlibatannya secara detail.Namun,secara samar- samar kita mendengar dari mediamassa, kesalahan yang disangkakan kepada Siti Fadilah adalah keterlibatannya dalam penunjukan langsung sebuah proyek di kementeriannya.
Diberitakan,ada proyek belasan miliar rupiah yang pengadaannya dilakukan melalui penunjukan langsung oleh Kementerian Kesehatan dengan akibat negara dirugikan sampai miliaran rupiah pula.Pejabat pembuat komitmen di Kementerian Kesehatan yang kini sudah menjadi pesakitan dalam proses hukum pidana, konon, memberi pengakuan bahwa penunjukan langsung itu dilakukan atas perintah Siti Fadilah.
Samar-samar kita mendengar, Siti Fadilah meminta sang pembuat komitmen di kementeriannya untuk membantu seseorang atau suatu perusahaan agar bisa menangani proyek tanpa tender.Benarkah? Dalam banyak kasus seringkali terungkap,pejabat eselon I atau yang menjadi pembuat komitmen proyek di kementerian seringkali terjerat melakukan korupsi dan kolusi dengan dalih diperintah oleh menteri sebagai atasannya.
Mantan Mendagri Hari Sabarno, misalnya, harus meringkuk di penjara karena dinyatakan memerintahkan Dirjen Otda Oentarto untuk memberikan proyek pengadaan mobil pemadan kebakaran di beberapa daerah kepada seseorang secara melanggar hukum. Begitu juga mantan Menteri Sosial Bachtiar Chamsah terpaksa menerima nasib buruk masuk penjara karena dinyatakan membiarkan atau lalai dalam memimpin sehingga terjadi korupsi yang dilakukan oleh pejabat pembuat komitmen di kementeriannya.
Meskipun berdasarkan fakta hukum Bachtiar dinyatakan tak menerima sepeser pun uang korupsi itu, dia dinyatakan harus bertanggung jawab karena melalaikan kewajiban hukum sehingga terjadi korupsi di kementeriannya. Di Kementerian Kesehatan keterlibatan menteri dalam kemelut korupsi dan kolusi pelaksanaan proyek bukanlah kali yang pertama.Menteri kesehatan sebelum Siti Fadilah, Achmad Sujudi, juga dinyatakan bersalah dan dipenjarakan di Cipinang karena kelalaiannya menimbulkan korupsi,padahal secara materiil dia merasa tak mengambil apa pun yang merugikan keuangan negara.
Boleh jadi memang ada beberapa menteri yang mungkin memberi referensi atau memo kepada pejabat pembuat komitmen di kementeriannya untuk membantu memberikan proyek kepada seseorang. Ini bisa terjadi baik karena titipan politik maupun karena pertemanan atau, bahkan, karena memang sang menteri berkolusi dan menerima suap. Sangat mungkin pula memang ada pejabat pembuat komitmen yang melakukan korupsi karena keserakahannya sendiri, tetapi sengaja membawa- bawa nama menteri yang sebenarnya tidak tahu menahu.
Dalam hal-hal seperti itulah kerapkali seorang menteri menjadi terjebak dalam korupsi dan kolusi. Seorang menteri kerapkali sulit menolak permintaan dari tokoh politik atau orang berpengaruh lainnya untuk memberikan proyek kepada seseorang sehingga sang menteri dihadapkan pada situasi dilematis. Ada kalanya seorang menteri didatangi oleh seseorang yang meminta agar memerintahkan dirjennya memberikan proyek kepada pihak tertentu.
Saat menjadi menteri pertahanan saya punya banyak pengalaman, banyak orang datang meminta agar saya memerintahkan sekjen atau dirjen untuk memberikan proyek kepada seseorang.Pada umumnya saya jawab dengan tegas bahwa semua proyek harus dilakukan melalui tender atau prosedur tertentu. Tetapi, kadangkala ada juga yang membawa saya ke sudut yang sulit untuk menghindar dari memberikan memo, misalnya, karena orang itu tak mau mengerti juga sehingga tak pergi-pergi dari depan saya.
Dalam keadaan demikian biasanya saya membuat memo kepada sekjen atau dirjen dengan bunyi, ”Harap pembawa memo ini dibantu untuk menangani proyek X sesuai dengan peraturan.”Namun sebelum pembawa memo itu sempat menemui sekjen atau dirjen, saya pun menelepon sekjen atau dirjen lebih dulu.“Kalau nanti ada si Anu membawa memo dari saya,tolak saja.Bilang, Anda tak menerima memo siapa pun untuk proyek,” kata saya pada sekjen dan dirjen.
Pernah terjadi,seorang yang pernah membawa memo dari saya datang melapor. “Anda dilecehkan oleh dirjen Anda. Dia bilang, tak peduli dengan memo Anda. Katanya, memo menteri tak berlaku dalam penentuan proyek,”kata orang itu. Saya pura-pura kaget sambil tertawa dalam hati. Dia tak tahu, sayalah yang menyuruh dirjen agar menjawab seperti itu. Dia mengira dirjen melecehkan saya, padahal dia melaksanakan perintah saya.
Sumber: http://www.seputar-indonesia.com
Moh Mahfud Md, Guru Besar Hukum Konstitusi