Tokoh kita pekan ini baru saja menyelesaikan tugasnya sebagai Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2003-2007, tepatnya tanggal 18 Desember 2007. Secara kebetulan, pada tanggal yang sama empat tahun lalu, dalam wawancara di rubrik ini (Pikiran Rakyat, 18 Januari 2003) ketika belum lama terpilih sebagai anggota KPK, suami dari Yannie Netty Budiarty ini mengatakan, “Pengangkatannya sebagai anggota KPK bukan hanya membutuhkan kerelaan karena harus melepas lima posisi komisaris di sejumlah perusahaan besar. Tetapi juga berarti, pertaruhan nama dan keluarga,” katanya.
Ya, duduk di sebuah komisi yang berwenang mengurusi pemberantasan korupsi di negeri ini adalah sebuah pertaruhan yang tidak ringan. Yang dihadapi bukan hanya koruptor, tetapi juga sinisme dan pesimisme. Belum lagi berbagai tekanan psikologis, baik yang dialamatkan pada lembaga maupun yang ditujukan secara pribadi. Tak hanya godaan suap, tetapi juga mungkin fitnah. Di sinilah konteks pernyataan pertaruhan nama dan keluarganya sebagai anggota KPK itu bisa dipahami.
Selama empat tahun bekerja di komisi yang diamanatkan UU No. 20 Tahun 2002 ini, tentu saja banyak ihwal kasus dan permasalahan korupsi yang dihadapinya. Bersama para anggota KPK lainnya, yang diurusi Erry bukan melulu tahap demi tahap prosedur penyelidikan atas ada tidaknya dugaan korupsi. Melainkan, berbagai soal lainnya yang berkorelasi dengan kepentingan di luar kepentingan pemberantasan korupsi itu sendiri.
Berikut petikan wawancara bersama Erry Riyana Hardjapamekas seputar KPK dan berbagai kasus korupsi yang ditanganinya selama empat tahun.
Secara hitung-hitungan, berapa kasus korupsi yang telah ditangani KPK selama empat tahun ini?
Penanganan kasus terdiri dari empat tahap, dimulai dengan tahap penelaahan laporan masyarakat dan/atau laporan intelijen, tahap penyelidikan, tahap penyidikan, dan diakhiri dengan tahap penuntutan. Selama empat tahun, masing-masing tahapan berjumlah 22.000 lebih dalam tahap penelaahan, 158 tahap penyelidikan, 72 tahap penyidikan, dan 60 dalam tahap penuntutan. Persentase penuntutan yang akhirnya dijatuhi vonis di pengadilan adalah 100%. Artinya, 60 perkara yang dilimpahkan tuntutannya ke pengadilan, semuanya dijatuhi vonis.
Tentu masih banyak kasus yang belum selesai. Khusus dalam tahap penyidikan, yang telah siap serta berlanjut antara lain kasus penggelembungan harga dalam pengadaan mobil pemadam kebakaran yang melibatkan beberapa kepala daerah, kasus pungutan liar dalam pembuatan dokumen keimigrasian di beberapa perwakilan RI di luar negeri, kasus pembukaan rekening pemerintah di Dephukham untuk menampung transfer dana dari Bank BNP Paribas, serta kasus yang terjadi di Departemen Sosial.
Empat tahun lalu, Anda mengatakan posisi KPK terjepit di antara mereka yang optimis dan mereka yang sinis serta pesimis. Nah, menurut Anda sampai sejauh mana KPK telah menjawab sinisme dan pesimisme itu?
Hehehe. Memang hal serupa berulang. Ketika kami terpilih empat tahun lalu, suara miring muncul dari berbagai pihak. Serupa dengan suara-suara miring yang dikemukakan berbagai pihak terhadap pimpinan terpilih 2007-2011 sekarang. Kami pikir itu adalah gambaran pesimisme yang wajar, karena ragam sebab, antara lain kegeraman, kesebalan, kekecewaan masyarakat, dan keinginan untuk menempuh jalan pintas karena keinginan kuat agar soal ini segera selesai. Namun, menyimak pelajaran dari pengalaman di tempat lain, misalnya Hongkong, Singapura, Malaysia, menunjukkan bahwa pemberantasan korupsi harus ditempuh dengan kesabaran. Mengutip istilah Eep Saefulloh Fatah, perlu kesabaran revolusioner, ketimbang menempuh jalan yang revolusioner, walau cara-cara yang luar biasa dalam pengertian proaktif, agresif, atau progresif berdasarkan inovasi dan atau keberanian, memang suatu keniscayaan. Jawaban konkret terhadap pesimisme itu adalah mari kita tekuni proses pemberantasan korupsi ini dengan tekun, konsisten, dan berkelanjutan. Kita tempuh jalur represif dan preventif secara simultan serta saling mengisi. Sejauh pandangan subjektif kami, setidaknya kami sudah mewujudkan sesuatu yang semula tidak ada menjadi ada, 451 SDM yang tangguh, unggul, dan bermartabat, gedung kantor modern dengan fasilitas canggih, metodologi serta bergumpal prosedur operasi baku berbasis ICT (information and communication technology) yang maju! Tak kalah pentingnya adalah hadirnya kultur organisasi yang berbeda dibanding penegak hukum lain, yang semuanya siap bersinergi memberantas korupsi secara lebih efektif dalam 4 tahun mendatang dan seterusnya.
Tentang independensi KPK?
Tak perlu diragukan, karena dengan sistem kepemimpinan kolektif berbagai upaya intervensi yang ditakutkan mengganggu ihwal independensi itu, berhasil diatasi secara lugas. Buktinya? Pernahkah kita sadari bahwa sepanjang sejarah Republik tercinta ini, dua gubernur aktif, beberapa bupati aktif, mantan menteri serta pejabat-pejabat cukup tinggi, ditahan dan masuk penjara berdasarkan vonis pengadilan melalui due process of law. Itu pertama kali terjadi ketika KPK ada kan?
Sudah bukan rahasia lagi kalau penanganan korupsi di negeri ini bukan melulu berurusan dengan ihwal hukum, tetapi juga dengan kuasa politik dan institusi politik (partai). Secara tersirat Erry membenarkan hal tersebut. Menghadapi kenyataan tersebut, dia mengatakan, KPK menghadapinya dengan lugas dan menggunakan nalar saja. “Semua pihak dapat menerima dengan baik, kecuali kelompok yang memang secara langsung `dirugikan` karena menyangkut kadernya, dan/atau sambungan-sambungan langsung maupun melambung dengan pusat kekuasaan. Berbekal amanat independensi sesuai dengan undang-undang, semua berhasil dihadapi tanpa hambatan berarti,” ujarnya.
Tekanan-tekanan apa saja yang dialami oleh KPK? Apakah benar ada tekanan politik?
Benar. Tekanan politik, permintaan penundaan proses, hambatan anggaran, upaya-upaya advokasi, gugatan uji materil, demo, kampanye sistematis agar KPK dibubarkan, dan ragam tekanan lain, baik formal maupun informal. Harus diakui memang ada, namun tidak satu pun yang mampu menembus integritas KPK.
Apakah ada tekanan-tekanan yang ditujukan pada diri Anda secara pribadi atau keluarga? Atau mungkin godaan berupa sogokan?
Tekanan mental terberat saya alami ketika Mulyana W. Kusuma (MWK) ditangkap, karena ia adalah keponakan saya. Kemudian saya berkonsultasi dengan kakak sepupu saya, almarhum Prof. Koesnadi Hardjasoemantri, dengan kesimpulan, mengutip kata-kata Beliau, stick to the rule dan menyatakan secara formal karena MWK adalah keponakan. Dia meminta agar Ayi Erry (begitu beliau memanggil saya) tidak disertakan dalam proses pengambilan keputusan, khusus berkenaan dengan MWK. Walau secara emosional sangat mengganggu, namun berhasil diatasi. Ketika kasus MWK sudah final, atau in kracht, dan bertemu dengan Prof. Koesnadi, saya mengutarakan maksud untuk menengok MWK di Lapas, Beliau berkata, “Jangan dulu, biar nanti Kang Uus (begitu beliau memanggil dirinya) yang mewakili menengok. Nanti bila Ayi Erry sudah tidak menjabat lagi, silakan menengok. Ingat, Ayi adalah pejabat negara penegak hukum.” Sekali lagi saya hormat pada petuah Beliau. Sampai saat ini, karena masih sibuk membereskan barang pribadi pindahan dari kantor, saya belum melaksanakan amanat tersebut. Godaan sogokan? Tidak pernah ada. Mudah-mudahan karena mereka yang berniat mencoba menggoda sudah tahu bahwa upaya godaannya bakal kandas, hehehe.
Anda mengutip almarhum Cak Nur bahwa praktik korupsi di Indonesia ibarat kemacetan lalu-lintas yang sudah saling mengunci. Bagaimana Anda menjelaskannya?
Benar, almarhum Cak Nur menggambarkan berbagai gumpalan masalah bangsa, seperti kemacetan lalu lintas yang saling mengunci, termasuk korupsi. Akar korupsi memang antara lain terutama dari tarikan kepentingan, baik individu, kelompok, partai, golongan, profesi, kepentingan membela teman sekelompok atau sealiran, maupun kepentingan lain yang menyangkut kelancaran pelaksanaan profesi. Perlawanan itu sebenarnya sangat jelas, misalnya isu tebang pilih berawal dari komentar teman sekelompok menyikapi “temannya” yang berurusan dengan KPK, kebetulan menimpa berbagai kelompok berbeda baik alirannya maupun sikap politiknya, namun karena ada kepentingan yang sama, maka bak sedang paduan suara, lagu yang muncul sama, tebang pilih! Padahal, yang terjadi adalah tebang matang, mana yang matang lebih dulu itulah yang diproses ke tahapan selanjutnya. Itu baru contoh bentuk perlawanan wacana atau opini yang celakanya digemakan juga oleh sebagian LSM. Bentuk lainnya adalah melalui gugatan uji materil ke Mahkamah Konstitusi, demo, pernyataan sikap, dan ini yang lebih sistematis, melalui proses legislasi, pelemahan dan/atau pembatasan kewenangan. Tentu semuanya harus dihadapi dengan rasional disertai keteguhan luar biasa.
Ketua KPK sendiri pernah dilaporkan Yusril Ihza Mahendra, yang lantas jadi perseteruan sengit. Sayang, publik tak tahu lebih banyak kecuali masalah itu diselesaikan oleh SBY lewat pernyataan "Telah diselesaikan secara adat". Tentu saja publik kecewa. Bisa Anda jelaskan apa sebenarnya yang terjadi?
Itu satu soal lagi yang dipersepsikan secara tidak akurat melalui media. Sebenarnya, ekspresi itu diucapkan secara bergurau, karena kenyataannya tidak ada kompromi apa pun dalam pertemuan itu. Buktinya, kasus yang jadi pangkal persoalan tetap dilanjutkan sebagaimana biasa, tidak ada sedikit pun hambatan. Sekarang sedang dalam proses di pengadilan. Di samping itu, penyelidikan rekening pemerintah di Dephukham sehubungan dengan transfer dana dari Bank BNP Paribas, juga berlanjut.
Oke. Selanjutnya, selepas Anda dari KPK, apa agenda Anda sekarang?
Belum ada tugas formal lain yang cocok atau patut diterima. Mungkin masih dalam proses. Syukur-syukur tidak ada lagi. Yang jelas, saya masih akan tetap berada dalam lingkaran gerakan pemberantasan korupsi, sambil kembali ke habitat korporat, dunia yang memang masih dan patut saya geluti, itu pun kalau masih laku. Hahaha.
Ada niat terjun ke politik?
Tidak ada niat untuk terjun ke politik. Itu bukan habitat yang cocok untuk saya geluti.
(Ahda Imran)
Sumber: Pikiran Rakyat, Minggu, 6 Januari 2008