TEPAT setahun sudah Marwan Effendy menduduki kursi Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus. Dan selama kurun waktu itu, mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur ini sudah menerbitkan tiga surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Perintah teranyar dikeluarkannya dua pekan lalu, yakni penghentian penyidikan atas tersangka Tan Kian, pengusaha properti papan atas pemilik PT Permata Birama Sakti, yang terlibat kasus dugaan korupsi dana PT Asuransi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri).
Sebelumnya, Marwan meluncurkan SP3 untuk perkara dugaan korupsi Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC) serta perkara penjualan dua unit kapal tanker PT Pertamina. Mengapa Kejaksaan Agung terkesan demikian mudah mengeluarkan SP3? Rabu pekan lalu, wartawan Tempo Rini Kustiani dan Anne L. Handayani menemui Marwan di ruang kerjanya untuk sebuah wawancara. Berikut petikannya:
Kejaksaan terkesan kini royal mengeluarkan SP3. Ada apa?
Ya, kenapa takut kalau memang harus dihentikan? Kami menghentikannya murni karena hukum. Setelah disidik, tidak ditemukan buktinya. Kami tetap dalam koridor hukum. Ini langkah yang diberikan undang-undang kepada kita.
Alasan penerbitan SP3 itu?
Pertama, karena tidak terbukti. Kedua, bukan perkara pidana, dan ketiga demi hukum, misalnya karena sudah kedaluwarsa atau orangnya meninggal. Selain itu, dalam menerapkan hukum, kita harus memperhatikan beberapa hal, antara lain bahwa hak hukum warga negara jangan dikebiri, supaya ada kepastian, serta prinsipnya peradilan murah, cepat, dan transparan. Yang terakhir ini tidak hanya di pengadilan, tapi juga di tingkat penyidikan. Kalau terbukti, dilanjutkan. Kalau tidak terbukti, ya dihentikan.
Penghentian penyidikan perkara Tan Kian sudah memenuhi tiga syarat itu?
Ya, karena tidak cukup bukti.
Bukankah Tan Kian sudah dijadikan tersangka dalam kasus korupsi Henry Leo?
Dia pernah jadi tersangka karena pada saat itu ada keinginan kami untuk menarik uang tersebut (US$ 13 juta milik Asabri yang diinvestasikan Henry Leo bersama Tan Kian). Kalau tidak dijadikan tersangka, mungkin dia tidak mengembalikan uang itu.
Ternyata, begitu diadakan penyidikan, menurut Direktur Penyidikan, tidak ditemukan bukti keterlibatan Tan Kian dalam pembobolan uang Asabri yang dilakukan Henry Leo dan Subarda Midjaja (bekas Direktur Utama Asabri). Tan Kian berkongsi dengan Henry Leo ketika membeli Plaza Mutiara. Tapi itu kan masuk perdata.
Bagaimana status uang US$ 13 juta itu sekarang?
Masih di rekening kejaksaan. Pekan ini akan dieksekusi untuk diserahkan ke Asabri sesuai dengan keputusan Mahkamah Agung. Selain itu, juga ada rumah dan tanah yang kami sita dan akan dikembalikan ke Asabri.
Bagi Tan Kian, apa akibat hukum dari putusan Mahkamah Agung atas kasasi Henry Leo itu?
Tidak ada. Proses pengadilan itu tidak ada kaitannya dengan Tan Kian. Kejaksaan menilai ini bukan perkara pidana dan tidak cukup bukti untuk dipidanakan, maka kami hentikan.
Henry Leo berencana mempraperadilankan Kejaksaan Agung karena mengeluarkan SP3 untuk Tan Kian.
Silakan saja, tidak ada masalah. Memang dibolehkan pihak yang terkait, yakni korban, penyidik, atau penuntut umum, mempraperadilankan keputusan ini. Di luar pihak itu tidak bisa.
Bagaimana dengan kasus kredit macet Tan Kian di Bank Internasional Indonesia (BII)? Bukankah dia juga tersangkut perkara itu?
Pada saat kredit macet dulu, dan masuk ke Badan Penyehatan Perbankan Nasional, BII masih milik negara. Sekarang hak tagih kredit itu sudah dibeli swasta.
Soal kredit macet Tan Kian saya serahkan ke jaksa bidang perdata dan tata usaha negara. Hasil kajiannya, persoalan tersebut antara swasta dan swasta. Jadi, bukan domain kami lagi.
Bagaimana dengan perkara dugaan korupsi lainnya yang selama ini mandek di kejaksaan? Benarkah juga akan mendapat SP3?
Kami sedang mengevaluasi semua perkara yang tertunda selama ini, sebelum saya masuk ke sini. Kenapa tidak segera dilimpahkan ke penuntutan? Kalau itu tidak terbukti, kenapa ragu untuk menghentikannya? Kenapa kita menggantung hak hukum orang? Jika suatu perkara tidak diajukan dan juga tidak dihentikan, status hukumnya jadi terkatung-katung.
Kasus apa saja yang akan Anda evaluasi?
Ada sekitar 10 kasus sedang dalam perhatian saya, antara lain dari Bank Mandiri ada dua kasus: kredit macet Lativi dan Kiani Kertas. Terus ada kasus pabean yang melibatkan Sofian Permana, lalu kasus Borang, kasus Monsanto yang melibatkan mantan Menteri Pertanian Saleh Salahuddin. Lalu masalah nilai pengembalian aset-aset Eddy Tanzil.
Untuk kasus itu, akan dikeluarkan SP3?
Kalau cukup bukti, kami naikkan (ke penuntutan). Tapi, kalau tidak, ya dihentikan. Ini supaya Jaksa Agung Muda Pidana Khusus pengganti saya nanti tidak terbebani perkara yang telah lalu. Perkara lama ini tidak gampang, jaksanya juga ada yang sudah tidak ada lagi.
Untuk kasus korupsi kilang Balongan yang menyeret mantan Menteri Pertambangan Ginandjar Kartasasmita, juga akan dikeluarkan perintah penghentian?
Memang, dulu saya pernah bilang, kalau perkaranya kedaluwarsa, akan diberikan SP3. Kasus Ginandjar itu kan terjadi pada 1988, berarti sudah 20 tahun, sudah kedaluwarsa. Tapi, setelah dipelajari, selain perkaranya kedaluwarsa, ternyata Ginandjar juga belum pernah ditetapkan sebagai tersangka.
Sumber : Majalah Tempo, Senin, 27 April 2009