Oleh: Maksun
Idul Fitri kali ini menimbulkan banyak renungan dan tanda-tanda. Antara lain, bahwa Idul Fitri kali ini kita rayakan di saat bangsa ini dihadapkan pada persoalan korupsi yang kian hari kian akut dan menakutkan. Mafia proyek Muhammad Nazaruddin, mafia pajak Gayus Tambunan, mafia peradilan Syarifudin, dan mafia pemilu di MK adalah sederet bukti konkret bahwa moralitas politik dan ekonomi, bahkan moralitas keagamaan, kini hanya sebatas komoditas politik dan ekonomi yang indah dan manis di bibir, tapi diragukan berfungsi mengontrol perilaku mereka.
DPR, yang bertugas melakukan pengawasan, justru memperlihatkan kinerja buruk, bahkan terkenal sebagai lembaga yang korup. Tidak sedikit anggota Dewan digiring Komisi Pemberantasan Korupsi ke bui. Tragisnya lagi, DPR tidak pernah jera. Kini muncul lagi kasus anggota DPR yang menjadi calo anggaran seperti yang terungkap dalam nyanyian Nazaruddin. Tugas utama DPR sebagai penyalur aspirasi rakyat terhenti, lalu menjelma menjadi makelar.
Singkatnya, semua gerbang di negeri ini sudah dijaga mafia. Sudah tidak ada lagi gerbang, pintu, atau jendela yang berhubungan dengan kekuasaan dan keadilan yang tidak ditunggui para garong uang negara. Hampir di tiap level birokrasi terjadi korupsi. Bukan hanya dilakukan secara oligarkis oleh para elite di sekitar istana dan anggota Dewan, tetapi juga menyebar ke semua lini kekuasaan politik dan ekonomi, dari pucuk sampai akar, dari hulu sampai hilir. Para calo pun berkeliaran dari terminal hingga gedung DPR dan pemerintahan, dari pasar sampai lembaga penegak hukum.
Lalu, bila ada satu hal yang kiranya dapat berperan secara maksimal untuk meluruskan kembali yang melenceng, memelihara dan meningkatkan moralitas individu, masyarakat, dan bangsa, maka itu adalah agama. Hari Raya Idul Fitri kali ini semestinya memberi momentum untuk memfitrikan bangsa ini dari praktek suap dan korupsi.
Misi Agama
Secara substansial, misi utama setiap agama dengan kitab sucinya dimaksudkan untuk mempertemukan kehendak dan kasih Tuhan di satu sisi, dengan kehendak dan perjalanan manusia di sisi lain. Demikian juga agama Islam dan syariat yang dibawa oleh Nabi SAW, termasuk di dalamnya ibadah puasa yang bersifat sangat pribadi itu, sejatinya dimaksudkan untuk menyadarkan umat manusia agar mampu melihat realitas lain yang lebih tinggi dan hakiki, yaitu “Realitas Ilahi” yang Maha Hadir.
Adalah benar bahwa sains dan teknologi telah memperpendek jarak suatu negara dengan negara lain, planet yang satu dengan planet lain. Namun kedekatan itu tidak berarti menjamin eratnya persahabatan di antara sesama manusia, dan tidak pula berarti bahwa pengalaman dan perjalanan spiritualnya semakin mendalam. Artinya, semakin jauh dan sejauh-jauh pengembaraan manusia dengan sains dan teknologinya, bila tanpa visi keilahian, mereka akan tetap terkungkung dan melingkar-lingkar dalam orbit bumi yang selalu dihadapkan pada jalan buntu dalam upayanya meraih pengetahuan.
Pada saat yang sama, karena terlalu mengagung-agungkan sains dan teknologi, mereka menjadi manusia-manusia yang teralienasi dari nilai spiritualitas-religius, dan membuat mereka menjadi positivist. Pandangan dunia yang dibangun di atas premis positivis-empiris ini, pada gilirannya, akan membawa implikasi pada penolakan realitas yang berada di luar jangkauan indra dan rasio.
Dalam konteks inilah, visi dan kesadaran spiritualitas yang dibangun melalui ibadah puasa menjadi sangat urgen dan diyakini akan mampu menembus kabut kegelapan yang menghalangi pandangan nurani, karena inti spiritualitas terletak pada wilayah batin (inner life). Maka, sangat relevan jika dimensi spiritualitas itu mampu hadir dalam proses transformasi sosial, yang wilayah operasionalnya terletak pada dataran struktural, atau titik beratnya pada dimensi praksis dari perilaku seseorang dalam jaringan-jaringan institusi masyarakat.
Kesadaran Manusia
Dalam perspektif Islam, kesadaran spiritualitas berimpit erat dengan kesadaran manusia. Artinya, semakin tinggi kesadaran keberagamaan seseorang, semestinya semakin tinggi pula kualitas kemanusiaannya, dalam kondisi dan situasi yang bagaimanapun. Ini berarti, nilai kemanusiaan hanya bisa dipahami ketika semua perilaku lahir-batinnya diorientasikan kepada Tuhan, dan dalam waktu yang bersamaan, juga membawa implikasi konkret terhadap upaya meningkatkan nilai-nilai kemanusiaan. Pendeknya, manusia tidak bisa dipahami tanpa keterkaitannya dengan Tuhan dan keterkaitannya dengan manusia lainnya dalam kehidupan sosial.
Kiranya benar apa yang dikatakan oleh Imam al-Ghazali dalam karya magnum opus-nya, Ihya’ Ulumuddin, "Aktivitas kemanusiaan yang tidak diterangi cahaya Ilahi bagaikan orang berjalan di atas lorong setan yang gelap. Dan orang yang hanya sekadar percaya kepada Tuhan tetapi tidak menumbuhkan sifat-sifat atau nilai-nilai spiritual-religius di dalam dirinya, ia bagaikan iblis yang gentayangan.”
Dari sini bisa dipahami bahwa korupsi yang merajalela di Republik ini sumbernya adalah tumpulnya hati nurani dan hilangnya nilai spiritual-religius para elite politik. Mereka memahami politik sebagai cara untuk merampok uang rakyat, bukan untuk melayani rakyat. Dalam konteks ini, mereka sebenarnya mencederai fungsi politik yang hakikatnya harus mewujudkan kemaslahatan publik (al-mashlahah al-ammah).
Nah, selama bulan Ramadan, jasmani dan rohani kita telah digodok untuk beribadah dan bermuamalah secara proaktif agar menjadi manusia yang bermoral dan bertakwa. Manusia yang lebih mengenali jati dirinya sebagai manusia yang lemah. Manusia awam yang gampang dikotori oleh debu duniawi. Ini berarti, setelah ber-Idul Fitri, setiap orang semestinya akan mengalami reaktualisasi diri sebagai manusia primordial, sosok manusia baru yang suci. Sinyal ketuhanan dan kemanusiaannya pun tak meredup, bahkan kian kuat, meski Ramadan telah lewat.
Tak ada lagi suap, korupsi, dan selingkuh kekuasaan serta dusta atas janji-janji politik, karena syahwat korupsi dan nafsu liar kekuasaan telah tertundukkan setelah menjalani terapi rohaniah sebulan penuh. Saat itulah berlaku makna simbolik Idul Fitri. Yakni, kembalinya manusia kepada fitrah kemanusiaan. Sosok manusia yang dekat dengan Tuhan, manusia yang suci, memiliki integritas moral yang tinggi, dan fitri dari segala jenis korupsi. Selamat Idul Fitri*
Maksun, dosen Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang
Sumber: korantempo, Sabtu, 27 Agustus 2011