Malang, Jatim - Kota Malang selama ini memiliki banyak peninggalan bangunan bersejarah, terutama era kolonial Belanda. Jumlahnya cukup banyak, mencapai ratusan. Sayangnya, gedung bersejarah yang merupakan cagar budaya itu tidak terlindungi.
Satu persatu gedunggedung cagar budaya itu diruntuhkan tanpa aral yang berarti. Praktis, bangunan-bangunan bersejarah itu hilang tanpa jejak. Di antara bangunan yang masuk cagar budaya itu misalnya, Balai Kota Malang, Gedung DPRD, hingga sederet bangunan yang berada di sepanjang wilayah Jalan Basuki Rahmat (Jalan Kayu Tangan).
Berdasarkan tradisi, bangunan bernuansa heritage itu seharusnya dilindungi lewat payung hukum, mnimal berupa Peraturan Daerah (Perda). Namun, Pemkot Malang hingga kini tidak memiliki Perda. Sehingga, banyak bangunan yang dipugar.
Bangunan cagar budaya yang kini dalam proses pemugaran adalah Gedung Bioskop Merdeka. Edung yang dibuat tahun 1928 itu, Rabu (6//5) diruntuhkan. Sehingga, cagar budaya yang dimiliki Kota Malang banyak yang tak terselamatkan.
Padahal, menurut data yang dimiliki Yayasan Inggil, ada 180 bangunan dan juga 20 kawasan cagar budaya yang dimiliki Pemkot Malang. Kepunahan gedung bersejarah itu terus terancam karena Perda yang melindungi belum ada.
“Loh bagaimana kami buat Perda, wong drafnya dikembalikan oleh Dewan. Ya, sampai saat ini akhirnya Perda soal cagar budaya itu tak pernah ada,” kata Wali Kota Malang, HM Anton.
Makanya, ketika Gedung Bioskop Merdeka di kawasan Kayutangan dibongkar, Pemkot tak bisa berbuat apa-apa. Padahal, menurut Indra Kurniawan (28) salah seorang warga yang tinggal dekat gedung mengatakan, pembongkaran gedung tersebut telah dilakukan tiga bulan lalu.
Pembongkaran itu dilakukan pihak pemenang sengketa gedung tersebut. Sesuai informasi, pemilik yang asal Surabaya itu akan membuat kawasan gedung bioskop itu menjadi hotel. “Jadi, tidak digunakan untuk gedung bioskop lagi,” katanya.
Pengamat budaya Malang, Dwi Cahyono sangat menyesalkan pembongkaran itu. “Sebab, gedung itu sudah layak bila ditilik dari kriterianya untuk dijadikan sebagai cagar budaya,” kata Dwi Cahyono yang sempat dicemooh warga karena menggelar Malang Kembali yang memacetkan arus lalu lintas itu.
Kriteria tersebut lanjut Dwi bisa dilihat dari usia bangunan yang sudah di atas 50 tahun, corak bangunan yang khas dengan bangunan negeri Belanda. Selain itu, gedung itu unik karena tak sama dengan bangunan lainnya. Untuk itu, dia sangat berharap Pemkot segera membuat Perda yang melindungi cagar budaya.
Sementara itu, Anggota DPRD Kota Malang, Ya’qud Ananda Gudban mengakui bahwa pembahasan soal Raperda perlindungan cagar budaya berhenti di tengah jalan. “Itu karena ada masalah terkait dengan RTRW,” katanya.
Menurut dia, Kota Malang memangsudah seharusnya mempunyai Perda yang bisa melindungi bangunan cagar budaya. “Ini agar identitas sebagai kota Heritage masih bisa dipertahankan,” tambahnya.
Hal senada juga diungkapkan Wawali Kota Malang, Sutiaji. Menurut dia, tidak adanya Perda itu membuat Pemkot Malang tidak berdaya. “Kalau Perda soal cagar budaya ada, kita bisa melakukan perlindungan,” ujar Sutiaji.
Menurut dia, sebenarnya Perda itu sudah ada. Tapi, masih dalam bentuk Raperda. Itu karena belum didok oleh Dewan. Karena itu dia berharap agar Raperda itu bisa segera disahkan. Sehingga, gedung yang masuk cagar budaya bisa terlindungi.
Sumber: http://www.lensaindonesia.com