Banda Aceh, NAD - Group rapai debus yang merupakan alat kesenian Aceh kembali bergema di Provinsi Aceh, setelah "mati suri", akibat konflik yang menerpa daerah itu puluhan tahun silam.
"Kesenian rapai merupakan warisan nenek moyang kita yang harus dijaga dan dilestarikan, sehingga tidak hilang ditelan zaman," kata Wali Kota Munir Usman di Lhokseumawe, Rabu.
Pernyataan itu disampaikan Wali Kota saat menghadiri "peusijuk (tepung tawar)" rapai milik group "Raja Hitam" yang sekarang mulai eksis kembali setelah "istirahat" masa konflik.
Upacara peusijuk puluhan unit alat musik tradisonal itu dilakukan Petua Adat Usmani Kandang, sebagai tanda digunakan lagi dalam setiap event adat dan acara kesenian daerah lainnya.
Rapai yang merupakan alat musik tradisonal peninggalan orang-orang terdahulu di Aceh kerap dimainkan pada acara adat seperti saat habis masa panen di sawah.
Menurut dia, Pemerintah Kota (Pemko) Lhokseumawe mendukung upaya meletarikan dan menghidupkan kembali group rapai "Raja Hitam" yang pernah jaya puluhan tahun silam.
"Seni rapai bukan hanya sekedar pelepasan hobi, tapi juga sebagai sebuah investasi untuk menarik wisatawan domestik dan manca negara berkunjung ke daerah ini," katanya.
Sementara tokoh adat Tgk Usmani mengatakan, ada 13 jenis rapai yang kerap digunakan dan dimainkan di Aceh tempo dulu, antara lain rapai uroh (debus), rapai bruk, rapai zikir dan rapai pase.
Dia mengatakan, awalnya rapai disebut duf dan selanjutnya diberi nama duduf, yang kemudian diganti dengan sebutan rifai dan akhirnya hingga saat ini disebut rapai.
Tokoh adat Aceh itu mengatakan, konflik yang terjadi di provinsi paling barat pulau sumatera itu telah melumpuhkan aktifitas berbagai jenis kesenian, termasuk seni rapai.
Perdamaian kini sedang dinikmati masyarakat dan sudah waktunya generasi Aceh bangkit menggerakkan berbagai jenis kesenian di daerah yang dijuluki "Tanah Rencong" ini, katanya. (JY)
Sumber: http://oase.kompas.com
"Kesenian rapai merupakan warisan nenek moyang kita yang harus dijaga dan dilestarikan, sehingga tidak hilang ditelan zaman," kata Wali Kota Munir Usman di Lhokseumawe, Rabu.
Pernyataan itu disampaikan Wali Kota saat menghadiri "peusijuk (tepung tawar)" rapai milik group "Raja Hitam" yang sekarang mulai eksis kembali setelah "istirahat" masa konflik.
Upacara peusijuk puluhan unit alat musik tradisonal itu dilakukan Petua Adat Usmani Kandang, sebagai tanda digunakan lagi dalam setiap event adat dan acara kesenian daerah lainnya.
Rapai yang merupakan alat musik tradisonal peninggalan orang-orang terdahulu di Aceh kerap dimainkan pada acara adat seperti saat habis masa panen di sawah.
Menurut dia, Pemerintah Kota (Pemko) Lhokseumawe mendukung upaya meletarikan dan menghidupkan kembali group rapai "Raja Hitam" yang pernah jaya puluhan tahun silam.
"Seni rapai bukan hanya sekedar pelepasan hobi, tapi juga sebagai sebuah investasi untuk menarik wisatawan domestik dan manca negara berkunjung ke daerah ini," katanya.
Sementara tokoh adat Tgk Usmani mengatakan, ada 13 jenis rapai yang kerap digunakan dan dimainkan di Aceh tempo dulu, antara lain rapai uroh (debus), rapai bruk, rapai zikir dan rapai pase.
Dia mengatakan, awalnya rapai disebut duf dan selanjutnya diberi nama duduf, yang kemudian diganti dengan sebutan rifai dan akhirnya hingga saat ini disebut rapai.
Tokoh adat Aceh itu mengatakan, konflik yang terjadi di provinsi paling barat pulau sumatera itu telah melumpuhkan aktifitas berbagai jenis kesenian, termasuk seni rapai.
Perdamaian kini sedang dinikmati masyarakat dan sudah waktunya generasi Aceh bangkit menggerakkan berbagai jenis kesenian di daerah yang dijuluki "Tanah Rencong" ini, katanya. (JY)
Sumber: http://oase.kompas.com