Oleh: Muhammad Nasir
Tepat di gerbang Pulau Bintan, sekitar 10 menit penyeberangan dari Pelabuhan Sri Bintan Pura, Tanjungpinang, terhampar sebuah pulau yang menyimpan sejuta khazanah kebesaran sejarah Melayu. Namanya Pulau Penyengat. Sebuah hamparan daratan eksotis yang menyimpan aneka situs dan taman perhelatan bagi penulis Melayu di era kejayaan Kerajaan Riau Lingga.
Dari kejauhan, pulau seluas sekitar 240 hektar ini memancarkan kemegahan Masjid Raya Penyengat, yang dibangun tahun 1832 Masehi (1 Syawal 1248 Hijriah). Masjid Raya berarsitektur rancangan konstruksi Turki dan Eropa ini tetap terjaga keasriannya meski dipugar beberapa kali. Masjid bersejarah ini tetap berdiri kokoh dan menjadi situs kebanggaan masyarakat Kepulauan Riau kendati beton-betonnya hanya direkat dengan bahan kuning telur.
Menelisik lebih jauh catatan bersejarah Pulau Penyengat, sekitar abad ke-19 para Pujangga Melayu Riau Lingga telah menjadikan pulau ini sebagai taman perhelatan untuk melahirkan karya-karya besar. Pada era itu, ketika Kepulauan Nusantara belum mengenal kegiatan baca-tulis, di pulau ini telah berdiri percetakan yang menerbitkan ratusan buku ilmiah dan keagamaan.
Salah seorang penulis besar yang lahir dan berkarya di pulau ini adalah Raja Ali Haji (1809-1873 M). Karya Raja Ali Haji tentang Silsilah Melayu dan Bugis serta Tuhfat al-Nafis telah melambungkan namanya menjadi sejarawan penting bangsa Melayu.
Para Pujangga Riau Lingga seolah menemukan arwana untuk melahirkan karya-karya gemilang di zamannya. Karya-karya besar itu sungguh variatif, tidak hanya mewakili karya sastra di bidang kebahasaan, namun juga memiliki muatan religius, filsafat, kenegaraan hingga ke soal seksualitas. Karya-karya besar itu, antara lain Syair Siti Shianah, Syair Awai dan Gurindam Dua Belas.
Karya-karya emas ini tidak hanya lahir dari tangan dingin kaum bangsawan, tapi juga dari seorang perempuan jelata bernama Khatijah Terung. Melalui karyanya berjudul Kumpulan Gunawan, Khatijah menceritakan tentang hubungan seksual suami isteri. Seorang nelayan bernama Encik Abdullah pada 1902 juga menulis tentang Buku Perkawinan Penduduk Penyengat.
Simbol Intelektualitas
Melalui Kitab Bustan Al-Katibin dan Kitab Pengetahuan Bahasa, Raja Ali Haji dinobatkan sebagai bahasawan yang pertama kali menjelaskan secara ilmiah tata bahasa Melayu. Ini menjadi dasar penempatan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar (lingua franca) di Nusantara.
Raja Ali Haji juga seorang filosof dan ulama besar. Hal ini tersurat dalam karyanya yang menempatkan substansi ke-Islaman sebagai rujukan. Atas jasa-jasanya yang besar bagi Melayu dan bangsa Indonesia, Raja Ali Haji dicatat sebagai pahlawan nasional.
Pulau Penyengat di masa lalui dapat dikatakan sebagai simbol intelektualitas. Berbagai buah pikiran konstruktif yang dimaktubkan secara mutidimensi terlahir dari pulau yang kini tampak lusuh. Pesatnya penerbitan karya sastra pada abad ke-19 didorong oleh adanya lembaga percetakan bernama Matba'atul Riauwiyah yang beroperasi sejak 1890. Pada masa itu, kesadaran intelektual para penghuni Penyengat telah terorganisasi melalui perkumpulan bernama Rusyidah Club.
Pulau Penyengat pada abad ke-19 juga dikenal sebagai basis perlawanan terhadap kolonial. Pulau ini dijadikan kubu penting selama berkecamuknya perang antara Kerajaan Riau dan Belanda (1782-1794 M). Dari sini kemudian dikenal nama Raja Haji Fisabilillah sebagai Marhum Teluk Ketapang. Ia adalah salah seorang putra Kerajaan Riau Lingga yang dinobatkan menjadi pahlawan nasional dan meraih gelar Bintang Mahaputera Adipradana.
Sayangnya, waktu tidak berpihak pada kegemilangan itu. Sejarah kemasyuran Pulau Penyengat hanya terdengar lamat-lamat. Jika kita berkunjung ke pulau ini, simbol kejayaan masa lalu hanya dapat diwakili oleh beberapa potret buram. Bekas percetakan Mathba'atul Riauwiyah dan Gedung Rasyidah tinggal puing yang ditumbuhi semak belukar. Namun 250 karya sastra putera-puteri Pulau Penyengat yang berumur ratusan tahun masih tersimpan rapi di Balai Maklumat Pulau Penyengat.
Dari catatan sejarah, kemunduran intelektualitas sastra di Pulau Penyengat terjadi setelah Raja Riau Lingga terakhir, Sultan Abdurrahman Muzamsah memutuskan untuk meninggalkan Penyengat menuju Singapura pada 1911. Sultan Abdurrahman menolak menandatangani kontrak politik yang dibuat Belanda. Kepergiannya diikuti oleh sebagian besar penduduk Penyengat termasuk para bangsawan dan penulis-penulis pulau ini.
Sumber: http://www.suarakarya-online.com
Tepat di gerbang Pulau Bintan, sekitar 10 menit penyeberangan dari Pelabuhan Sri Bintan Pura, Tanjungpinang, terhampar sebuah pulau yang menyimpan sejuta khazanah kebesaran sejarah Melayu. Namanya Pulau Penyengat. Sebuah hamparan daratan eksotis yang menyimpan aneka situs dan taman perhelatan bagi penulis Melayu di era kejayaan Kerajaan Riau Lingga.
Dari kejauhan, pulau seluas sekitar 240 hektar ini memancarkan kemegahan Masjid Raya Penyengat, yang dibangun tahun 1832 Masehi (1 Syawal 1248 Hijriah). Masjid Raya berarsitektur rancangan konstruksi Turki dan Eropa ini tetap terjaga keasriannya meski dipugar beberapa kali. Masjid bersejarah ini tetap berdiri kokoh dan menjadi situs kebanggaan masyarakat Kepulauan Riau kendati beton-betonnya hanya direkat dengan bahan kuning telur.
Menelisik lebih jauh catatan bersejarah Pulau Penyengat, sekitar abad ke-19 para Pujangga Melayu Riau Lingga telah menjadikan pulau ini sebagai taman perhelatan untuk melahirkan karya-karya besar. Pada era itu, ketika Kepulauan Nusantara belum mengenal kegiatan baca-tulis, di pulau ini telah berdiri percetakan yang menerbitkan ratusan buku ilmiah dan keagamaan.
Salah seorang penulis besar yang lahir dan berkarya di pulau ini adalah Raja Ali Haji (1809-1873 M). Karya Raja Ali Haji tentang Silsilah Melayu dan Bugis serta Tuhfat al-Nafis telah melambungkan namanya menjadi sejarawan penting bangsa Melayu.
Para Pujangga Riau Lingga seolah menemukan arwana untuk melahirkan karya-karya gemilang di zamannya. Karya-karya besar itu sungguh variatif, tidak hanya mewakili karya sastra di bidang kebahasaan, namun juga memiliki muatan religius, filsafat, kenegaraan hingga ke soal seksualitas. Karya-karya besar itu, antara lain Syair Siti Shianah, Syair Awai dan Gurindam Dua Belas.
Karya-karya emas ini tidak hanya lahir dari tangan dingin kaum bangsawan, tapi juga dari seorang perempuan jelata bernama Khatijah Terung. Melalui karyanya berjudul Kumpulan Gunawan, Khatijah menceritakan tentang hubungan seksual suami isteri. Seorang nelayan bernama Encik Abdullah pada 1902 juga menulis tentang Buku Perkawinan Penduduk Penyengat.
Simbol Intelektualitas
Melalui Kitab Bustan Al-Katibin dan Kitab Pengetahuan Bahasa, Raja Ali Haji dinobatkan sebagai bahasawan yang pertama kali menjelaskan secara ilmiah tata bahasa Melayu. Ini menjadi dasar penempatan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar (lingua franca) di Nusantara.
Raja Ali Haji juga seorang filosof dan ulama besar. Hal ini tersurat dalam karyanya yang menempatkan substansi ke-Islaman sebagai rujukan. Atas jasa-jasanya yang besar bagi Melayu dan bangsa Indonesia, Raja Ali Haji dicatat sebagai pahlawan nasional.
Pulau Penyengat di masa lalui dapat dikatakan sebagai simbol intelektualitas. Berbagai buah pikiran konstruktif yang dimaktubkan secara mutidimensi terlahir dari pulau yang kini tampak lusuh. Pesatnya penerbitan karya sastra pada abad ke-19 didorong oleh adanya lembaga percetakan bernama Matba'atul Riauwiyah yang beroperasi sejak 1890. Pada masa itu, kesadaran intelektual para penghuni Penyengat telah terorganisasi melalui perkumpulan bernama Rusyidah Club.
Pulau Penyengat pada abad ke-19 juga dikenal sebagai basis perlawanan terhadap kolonial. Pulau ini dijadikan kubu penting selama berkecamuknya perang antara Kerajaan Riau dan Belanda (1782-1794 M). Dari sini kemudian dikenal nama Raja Haji Fisabilillah sebagai Marhum Teluk Ketapang. Ia adalah salah seorang putra Kerajaan Riau Lingga yang dinobatkan menjadi pahlawan nasional dan meraih gelar Bintang Mahaputera Adipradana.
Sayangnya, waktu tidak berpihak pada kegemilangan itu. Sejarah kemasyuran Pulau Penyengat hanya terdengar lamat-lamat. Jika kita berkunjung ke pulau ini, simbol kejayaan masa lalu hanya dapat diwakili oleh beberapa potret buram. Bekas percetakan Mathba'atul Riauwiyah dan Gedung Rasyidah tinggal puing yang ditumbuhi semak belukar. Namun 250 karya sastra putera-puteri Pulau Penyengat yang berumur ratusan tahun masih tersimpan rapi di Balai Maklumat Pulau Penyengat.
Dari catatan sejarah, kemunduran intelektualitas sastra di Pulau Penyengat terjadi setelah Raja Riau Lingga terakhir, Sultan Abdurrahman Muzamsah memutuskan untuk meninggalkan Penyengat menuju Singapura pada 1911. Sultan Abdurrahman menolak menandatangani kontrak politik yang dibuat Belanda. Kepergiannya diikuti oleh sebagian besar penduduk Penyengat termasuk para bangsawan dan penulis-penulis pulau ini.
Sumber: http://www.suarakarya-online.com