Marjinalisasi Kebudayaan dalam Program VIY 2008

Oleh: I Wayan Geriya

PANDANGAN dasar dan pikiran positif yang melatari integrasi kebudayaan dan pariwisata dalam satu departemen adalah untuk menguatkan hubungan simetris antara kebudayaan dan pariwisata sebagai aset bangsa. Dalam program VIY 2008, yang terkesan dirancang secara instan dan nihil greget, sinyal ke arah pola hubungan asimetris dan marjinalisasi kebudayaan cukup fenomenal. Kebudayaan belum dalam posisi utama dan berimbang.

------------------------------

Dari perspektif kebudayaan dan pariwisata budaya ada tiga hal penting yang perlu dikritisi: (1) dimensi konsepsi; (2) dimensi link and match lintas sektor; dan (3) proyeksi manfaat, output dan outcome yang cenderung memarginalkan kebudayaan.

Studi Antropologi Pariwisata menunjukkan, bahwa relasi kebudayaan dengan pariwisata berpeluang berkembang dalam tiga varian: (1) varian simetris, tatkala mampu terkonstruksi pola hubungan kebudayaan dan pariwisata secara resiprositas simbiotik; (2) varian asimetris, tatkala yang satu mendominasi yang lain dengan beragam dampak negatif; (3) varian tanpa pola, tatkala kedua komponen saling benturan, tumbuh parsial serta berisiko konflik dan anomali.

Ilmuwan sosial Gramsci mengingatkan agar terhindarkan arah hubungan hegemoni yang berpotensi mengerdilkan dan mematikan kemampuan kreasi, inovasi dan adaptasi. Dampak hilir yang bersifat negatif sering bersumber pada tatanan hulu berupa perencanaan dan manajemen proses yang kurang profesional.

Dislokasi Budaya
Konsepsi kebudayaan yang seharusnya memberi landasan dan identitas VIY 2008 justru kurang jelas, dislokasi dan marginal. Bahkan kebudayaan cenderung sangat disimplifikasi ke arah format mentalitas yaitu berpikir positif. Fokus kebudayaan lebih tertuju pada peta mental, cognitive map dan kurang pada totalitas teks, realitas konteks dan konstruksi pola gaya hidup publik yang justru penuh energi dan kompleksitas. Nilai inti luhur yang mencakup etika, estetika, logika, solidaritas dan spiritualitas terkesan sumir. Unsur mayor, kecuali seni, seperti heritage dan karya bangsa yang unggul belum mengedepan. Elemen minor yang terdiri dari aneka ragam kearifan lokal Nusantara dan folk life juga kurang dipromosikan.

Kebudayaan nasional Bhineka Tunggal Ika sangat potensial, bukan saja sebagai pemberi identitas keindonesiaan namun juga representasi wawasan nasional dan martabat bangsa.

Keragaman jenis pariwisata potensial, dari pariwisata budaya, wisata alam, bahari, agro, heritage, konvensi telah diintroduksi. Tetapi pariwisata berkualitas yang mengutamakan ketinggian orientasi kultur, ramah lingkungan, mengkreasi nilai tambah, adaptasi teknologi dan subjektivikasi manusia perlu lebih dimunculkan untuk meningkatkan kemandirian, daya tarik dan daya saing. Kebudayaan tidak semestinya hanya diwacanakan dan diposisikan sebagai instrumen, objek dan daya tarik, melainkan yang lebih penting adalah juga sebagai subjek yang harus dilestarikan, dibangun dan dikembangkan secara kreatif dan genuin agar tidak terjebak dalam dinamika yang stagnan, involutif dan marginal.

''Mismatch'' Sektoral
VIY 2008 sebenarnya menuntut kesiagaan fungsi seluruh sektor terkait secara terpadu agar mampu tercapai tujuan maksimal. Yang terjadi saat ini, bahwa hubungan formal lintas sektor telah dirintis, namun kesiapan sektor terkait belum memberi jaminan maksimal. Contoh, jadwal penerbangan Garuda ke Eropa belum terjamin dibuka sampai Desember 2008. Begitu pula modus pelayanan prima pada berbagai sektor strategis masih bermasalah dan bahkan kecelakaan pesawat, keamanan dan kenyamanan wisatwan masih merupakan daftar hitam. Diplomasi kebudayaan menyongsong VIY 2008 juga kurang bergema. Link and match lintas sektor belum optimal dan masih terusik oleh fenomena mismatch.

Manfaat dan output perkembangan pariwisata ke depan diproyeksikan secara terukur, agar angka kunjungan wisata nasional meningkat dari 5,5 juta tahun 2007 menjadi 7,0 juta akhir tahun 2008. Devisa juga diharapkan meningkat dari $ 5,3 milyar. Sebaliknya sasaran dan outcome bagi peningkatan kebudayaan belum diproyeksikan secara terukur, terstruktur dan bermakna, baik bagi kebudayaan daerah maupun kebudayaan nasional yang justru berpotensi sebagai andalan, daya tarik dan identitas pariwisata berkelanjutan.

Penguatan Resiprositas
Program VIY 2008 memang baru berlangsung satu tri wulan atau 25%. Masih terbuka tenggang waktu sembilan bulan untuk berbenah dan berkreasi lewat berbagai terobosan. Kegiatan yang positif dilanjutkan, yang masih minim ditingkatkan dan yang terbatas diperluas dalam jejaring lokal, nasional, global dalam koridor pola hubungan saling menguatkan antara kebudayaan dengan pariwisata dan sektor terkait.

Dalam konteks Bali yang diharapkan mampu meraup peningkatan kunjungan wisatawan ke angka 1.8 juta tahun 2008, berbagai event unggul telah dipersiapkan seperti Pesta Kesenian Bali Juni-Juli 2008, Kongres Kebudayaan Bali I Juli 2008, dan Festival Nusa Dua Oktober 2008. Kreasi tiap kabupaten juga telah berkembang, seperti program Sightseeing Denpasar, Heart of Bali 2008.

Kekayaan kebudayaan Nusantara berpotensi memperkenalkan beragam festival etnik yang potensial mempesona, menarik dan mencerahkan VIY 2008.

Marginalisasi kebudayaan yang berkembang tanpa kendali juga cenderung memarginalkan manusia dan masyarakat pendukung kebudayaan yang bersangkutan. Efek berganda yang akan muncul adalah rusaknya situs, nilai-nilai moral dan aneka keunggulan yang justru menjadi pondasi pariwisata berkelanjutan.

Tiga strategi direkomendasikan untuk memperkuat hubungan kebudayaan dan pariwisata, agar tercegahnya marginalisasi kebudayaan: (1) strategi kesetaraan, dimana kebudayaan dan pariwisata memperoleh posisi sederajat dengan pola hubungan saling melengkapi dan meningkatkan secara simbiosis, bebas dominasi dan hegemoni; (2) strategi kualitas, dimana aplikasi program VIY 2008 benar-benar berbasis budaya dan pariwisata berkualitas; (3) strategi partisipasi, melalui berpikir, bersikap, dan berprilaku positif dalam mengisi program VIY 2008 secara kreatif dalam payung spirit keindonesiaan dan taksu lokalitas (kekuatan internal) berbasis keragaman alam dan budaya nusantara.

Penulis, antropolog, penerima penghargaan pengembangan Pariwisata Budaya Propinsi Bali, tinggal di Batubulan, Gianyar

Sumber: http://www.balipost.co.id
-

Arsip Blog

Recent Posts