Pemberdayaan Seni Tradisional dan Peran Serta Conducive Perguruan Tinggi Non Seni Atasnya

Oleh Priadi Dwi Hardjito
Lektor Etnomusikologi, Organologi & Akustika Nada Jurusan Karawitan STSI Bandung

I
Pemberdayaan Seni Tradisional Di Era Pra dan Pasca Proklamasi Kemerdekaan RI

Dalam kehidupan masyarakat di pusat pemerintahan kerajaan-kerajaan (kraton) Indonesia pada era pra proklamasi kemerdekaan R.I. tahun 1945, seni tradisional sungguhlah berdaya dan sekaligus berjaya. Dalam tata masyarakat kraton tersebut terdapat lapis kelas menengah masyarakat yang diberi tugas oleh raja untuk terus-menerus membina dan mengembangkan seni tradisional. Mereka ini adalah para pujangga dan budayawan kraton, yang digaji, diberi pangkat, dan status kebangsawanan yang cukup tinggi. Melalui tangan-tangan para budayawan-bangsawan kraton inilah sebenarnya telah berlangsung proses pemberdayaan seni tradisional beserta segenap nilai adi-luhungnya selama berabad-abad, secara sistematis, terwaris sinambung turun-temurun dan lestari.

Di era selanjutnya, pasca proklamasi kemerdekaan R.I. 1945, terjadilah perubahan pada tata pemerintahan mereka, dari bentuk kerajaan-kerajaan di bawah jajahan Belanda, menjadi daerah-daerah di bawah naungan Republik Indonesia. Tata bermasyarakat kerajaan otomatis menjadi berakhir, dan kelompok bangsawanpun sudah tidak lagi sebagai kelas menengah masyarakat baru dari suatu negara yang berbentuk republik. Haruskah kesinambungan kerja keras turun-temurun yang dirintis para budayawan-bangsawan dalam memberdayakan seni tradisional ini juga berakhir seiring dengan berakhirnya peran kelas menengah kraton yang mereka sandang selama ini ?

Jawab atas pertanyaan ini haruslah berbunyi tidak, bilamana dikehendaki tetap hadir kokohnya keberadaan bangsa Indonesia beserta keutuhan jati dirinya. Kesinambungan kerja keras dalam memberdayakan seni tradisional ini harus berlanjut. Untuk itu tetap diperlukan hadirnya langkah kiprah kaum kelas menengah baru Indonesia pasca proklamasi, yaitu para warga negara Indonesia yang berpendidikan tinggi, baik yang masih terikat formal dengan kampus pendidikan tinggi, yaitu dosen, mahasiswa maupun staf administrasi, maupun alumni perguruan tinggi yang menekuni profesi pengabdian di luar lingkungan kampus.

II
Peran Serta Conducive Warga Perguruan Tinggi Non Seni dalam Membidani Kelahiran dan Memberdayakan Pendidikan Tinggi Seni Tradisional

Di dasawarsa kedua usia Republik Indonesia terlihat kiprah peran serta conducive kaum kelas menengah baru Indonesia dalam upaya pemberdayaan seni tradisional pun semakin meningkat, menyusuli kiprah upaya pemberdayaan potensi pendidikan tinggi seni rupa yang telah hadir lebih awal di tahun 1949, melalui pemberdirian Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI) yang diresmikan 15 Desember 1949 oleh Menteri PP & K Sarino Mangunsarkoro. Kelas menengah pemberdaya seni tradisional itu terdiri dari warga perguruan tinggi non seni yang berasal dari beberapa kampus.

Muncullah kemudian dari kampus-kampus tersebut nama-nama mahasiswa dan mahasiswi, yang di kelak kemudian hari ikut membidani kelahiran perguruan-perguruan tinggi seni di Indonesia. Di antara mereka terdapat nama Edi Sedyawati (penari Jawa alusan yang kala itu adalah mahasiswi jurusan Arkeologi Fakultas Sastra UI, dan kini menjadi Dirjen Kebudayaan DEPDIKBUD), Sudarsono (penari Jawa gagahan dan kala itu adalah mahasiswa Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UGM, dan pernah menjadi Direktur ASTI Yogyakarta dan Rektor ISI Yogyakarta), Sedyono Humardani (penari Jawa gagahan dan sekaligus alusan, yang kala itu adalah mahasiswa Fakultas Kedokteran UNDIP dan pernah menjadi Direktur ASKI Surakarta), dan Saini Kosim (pemain band dan penulis naskah drama terkenal dan kala itu adalah mahasiswa Jurusan Sastra Inggris IKIP Bandung yang pernah menjadi Direktur ASTI Bandung, dan kini Direktur Kesenian DEPDIKBUD).

Nama-nama perguruan tinggi seni negeri yang berhasil mereka bidani kelahirannya dan juga kemudian berhasil mereka berdayakan dalam upaya pemberdayaan seni tradisional adalah Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Yogyakarta yang diresmikan Menteri PD & K Prijono tanggal 30 November 1963; Akademi Musik Indonesia (AMI) Yogyakarta yang didirikan 13 Juli 1964; Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta, didirikan 15 Juli 1964; Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Padang Panjang yang diresmikan Menteri PD & K Ny. Artati Marzuki Sudirdjo pada tanggal 22 Desember 1965; Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Denpasar, didirikan tanggal 7 Agustus 1969; dan Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) Bandung yang didirikan 15 Januari 1970.

Sampai awal tahun 1970-an kelima perguruan tinggi seni tradisional di atas belum menghasilkan seorang pun sarjana seni pertunjukkan non IKIP. Karenanya hingga saat itu kehadiran sarjana-sarjana bidang non seni dalam menggeluti kegiatan seni tradisional selalu disambut hangat dan dihormati masyarakat, serta dinilai positif sebagai upaya mempertinggi martabat seni tradisional.

III
Pemberdayaan Seni Tradisional Di Kampus ITB pada Era Kelahiran Unit-unit Kesenian Daerah Di Awal Tahun-tahun 1970-an

Unit kesenian yang lahir paling awal di kampus ITB adalah Paduan Suara Mahasiswa (PSM) ITB, yang memang diperlukan kehadirannya sebagai perangkat resmi acara/upacara akademik sidang terbuka senat ITB. Adapun unit kesenian daerah tertuanya adalah Perkumpulan Seni Tari & Karawitan Jawa (PSTK)- ITB yang lahir pada tanggal 7 Maret 1971. Menyusul setelah itu lahirlah Lingkung Seni Sunda (LSS)-ITB bulan April 1971, Keluarga Kesenian Maha Gonta Ganesha (MGG)-ITB bulan September 1971, Unit Kesenian Sulawesi Selatan (UKSS)-ITB, Unit Kesenian Minang (UKM)-ITB, dan Unit Kesenian Sumatra Utara (UKSU)-ITB yang semuanya terjadi pada tahun-tahun 1970-an, berkat kerja keras PR-III ITB Wiranto Arismunandar, beserta Koordinator Kesenian ITB Harsono Tarupratjeka, yang kemudian dilanjutkan oleh But Muchtar dan setelah itu oleh Ida Dewa Gede Raka.

Pada awal tahun 1970-an ini peran serta conducive langsung mahasiswa dan sarjana non seni dalam kegiatan pentas seni tradisional -- baik sebagai penari, penabuh, sinden, dalang, maupun peran-peran kesenimanan lain -- serta merta disambut hangat segenap kalangan masyarakat tanpa sedikitpun ada reserve. Mahasiswa dan sarjana non seni dinilai sangat berjasa dalam mempertinggi martabat seni tradisional dengan mengangkatnya sebagai bagian dari sisi intra dan ekstra kegiatan ilmiah kampus.

Terhadap kegiatan pemacuan prestasi kompetitif berkesenian bagi masyarakat pun mahasiswa perguruan tinggi non seni juga telah merintiskan contoh penanganan lomba seni yang inovatif dan mendidik. Pada tahun 1974 Dewan Mahasiswa ITB menyelenggarakan Festifal Karawitan Sunda, Jawa, Bali se Bandung Raya untuk menampung semangat berkompetisi karawitan masyarakat Bandung yang saat itu sangat tinggi. Dalam festifal tersebut diterapkan peraturan yang melarang lulusan Konservatori Karawitan, dan sarjana muda karawitan lulusan Akademi Seni Karawitan serta pelatih karawitan dari grup-grup peserta lomba untuk ikut menjadi penabuh dalam grup peserta manapun. ( Catatan: saat itu tidak dicantumkan larangan bagi sarjana seni karawitan lulusan ASKI, karena saat itu sarjana seni karawitan memang belum ada ). Terhadap grup-grup peserta lomba yang berhasil tampil sebagai pemenang, Dewan Mahasiswa ITB memberikan kepada pelatihnya tanda penghargaan sebagai pelatih berprestasi, disertai hadiah-hadiah yang mungkin kalau dinilai secara komersial tidaklah sangat tinggi. Di sini telah diterapkan prinsip lomba "jurdil" yang tampaknya belum berhasil diterapkan pada jenis "lomba" tertentu di masyarakat.

Untuk sisi kegiatan ilmiah seni tampaknya harus dikenang nama Bambang Sadharta, mantan mahasiswa Jurusan Tambang ITB angkatan 1974 yang kini menjadi salah satu "orang minyak" penting di Kalimantan Timur. Mantan Ketua PSTK-ITB periode 1976-1977 ini seusai lengser dari keprabonnya ditugasi oleh Ketua PSTK-ITB penggantinya untuk memimpin Divisi Penelitiian Gamelan PSTK-ITB. Dengan bantuan Badan Masalah Kemahasiswaan ITB maka Divisi pimpinan Bambang Sadharta ini berhasil menerbitkan sebuah kajian keilmuan tentang filsafat nada dalam judul buku "KEMPYUNG-700". Melalui penugasan Dirjen Kebudayaan (Prof. Dr. Hayati Soebadio saat itu), pada tahun 1981 isi buku hasil penelitian PSTK-ITB tersebut diajarkan dalam "ASEAN WORKSHOP ON THE MANUFACTURE OF THE INDONESIAN GAMELAN"-- yang diikuti oleh ahli-ahli musik, ahli metalurgi, dan musikolog dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina, dan Muang Thai -- sebagai bagian dari materi tentang filsafat pembentukan nada gamelan.

Sejak 1981 hingga 1985 nama PSTK-ITB selalu dicantumkan dalam publikasi-publikasi ilmiah tentang filsafat nada. Sejak 1981 hingga sekarang, materi penelitian PSTK-ITB tersebut masih tetap diajarkan sebagai bagian materi perkuliahan Etnomusikologi, Organologo, dan Akustika Nada pada Jurusan Karawitan STSI Bandung. Kini materi penelitian PSTK-ITB tersebut diangkat sebagai metoda kupas dari analisis naskah penelitian Tim Indonesia (di bawah pimpinan Dr. Sri Hastanto; mantan Direktur ASKI Surakarta 1986-1988, dan mantan Ketua STSI Surakarta 1988-1997) dalam SONIC ORDER ON ASEAN TRADITIONAL MUSIC RESEARCH, yang sedang dikerjakan sejak bulan Agustus 1998 hingga bulan Maret 1999 nanti.

IV
Kepesatan Pemberdayaan SDM Seni Tradisional Indonesia Di Perempat-Abad Kedua Usia Unit-unit Kesenian Daerah ITB

Usaha pemerintah Indonesia dalam memberdayakan kemampuan SDM seni tradisional Indonesia -- baik dalam arti kuantitas maupun kualitas -- telah berhasil dilaksanakan dengan gemilang. Jumlah sarjana seni pertunjukan Indonesia lulusan perguruan-perguruan tinggi seni non IKIP (di tambah sedikit sarjana seni rupa) kini telah lebih dari cukup, bahkan selalu berlebih dari Pelita V (1989/1994) hingga Pelita VII (1999/2004) seperti tampak pada tabel I. Dari tabel tersebut terlihat kelebihan jumlah sarjana seni di Pelita V adalah sebanyak 1.186 orang, di Pelita VI adalah sebanyak 1.940 sarjana seni, dan di Pelita VII

Tabel I. Kelebihan Jumlah Persediaan Sarjana Seni
PELITA
PERSEDIAAN
KEBUTUHAN
KELEBIHAN
V (1989-1994)
1.688
502
1.186
VI (1994-1999)
2.922
982
1.940
VII (1999-2004_
1.688
1.445
234
SEJAK PELITA V (1989-1994) HINGGA PELITA VII (1999-2004)¹
adalah sebanyak 234. Jumlah ini belum termasuk lulusan STSI Bandung, karena pada saat data ini disusun STSI Bandung masih berstatus akademi seni yang belum berhak menyelenggarakan program S-1. Sejak 1996 tiap tahunnya STSI Bandung meluluskan lebih dari 100 sarjana seni baru tiap kali wisuda.

Bagi warga perguruan tinggi non seni seperti ITB, fakta di atas hendaknya disikapi dengan arif. Ternyata kondisi kuantitas dan kualitas SDM seni tradisional Indonesia di perempat-abad kedua usia unit-unit kesenian daerah ITB ini sudah sangat maju, sungguh berbeda dengan kondisi ketiadaan sarjana seni yang terjadi di tahun-tahun 1970-an, di saat unit-unit kesenian daerah ITB didirikan. Dengan demikian kebijakan-kebijakan pemberdayaan seni tradisional yang ditempuh pihak ITB selama ini pun harus mulai dievaluasi lagi, untuk dikaji kebijakan-kebijakan pembinaan seni tradisional mana yang tetap perlu dipertahankan dan mana-mana yang perlu dipertimbangkan lagi karena akan semakin mempersesak lapangan kerja para alumni perguruan tinggi seni.

Dalam kaitan evaluasi ini perlu dipertimbangkan dilakukannya rintisan kebijakan inovatif untuk membantu memberi jalan keluar bagi masalah lapangan kerja sarjana seni kepada para alumni unit kesenian ITB, penggalangan potensi pendanaan mereka, dan pengarahan kegiatan kompetitif seni mahasiswa ke arah penciptaan lapangan kerja membuat instrumen musik tradisi dalam negeri. Tampaknya perlu ditiru strategi pabrik piano YAMAHA yang mengadakan lomba piano untuk mendongkrak penjualan produk mereka. Tidak dapatkah mahasiswa ITB mempelopori lomba gender, lomba rebab, lomba kecapi dengan strategi serupa? Tidakkah dengan demikian industri pembuatan gender akan semakin marak, dan juga akan terasa manfaatnya bagi SDM seni?

V
Penutup

Demikian telah dipaparkan problematika nyata yang ada pada upaya pemberdayaan seni tradisional, yang telah menunjukkan keberhasilan nyata dengan meningkatkan kuantitas dan kualitas sarjana seni. Mudah-mudahan paparan ini dapat menjadi masukan pengantar yang bermanfaat bagi sarasehan Gelar Seni dan Budaya hari ini.

Semoga.
Bandung, 21 November 1998 Priadi Dwi Hardjito
naskah ceramah pengantar sarasehan
GELAR SENI DAN BUDAYA '98
Di Aula Timur ITB
Bandung, 21 November 1998
¹DEPARTEMEN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN, Pembangunan Pendidikan dan Kebudayaan Menjelang Era Tinggal Landas (Jakarta: Balitbang, 1994) hlm. 174-177.

-

Arsip Blog

Recent Posts