Oleh Eko Yuono
Kebudayaan yang beragam seakan menjadi suatu cirri khas kehidupan di dunia ini .Begitu juga dengan berbagai kebudayaan yang kita anut sekarang . Kebudayaan adalag norma dan nilai yang kita pegang dalam menjalankan kehidupan sehari-hari . Budaya menjadi identitas bangsa . Suatu kumpulan masyarakat akan menghasilkan budaya yang berbeda. Budaya itu pula yang nantinya akan mempengaruhi hasil-hasil kemajuan zaman .
Dengan mobilitias yang tinggi , tak heran jika sekaran budaya saling berkaitan . Berbagai macam kebudayaan saling berinteraksi satu sama lainnya . Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara , budaya tidak lepas dari peran masyarakat yang menganutnya. Ada kecenderungan percampuran budaya yang biasa disebut sebagai akulturasi kebudayaan.
Akulturasi kebudayaan terjadi karena kebutuhan yang kompleks dalam kehidupan bermasyarakat . Suatu kebudayaan akan menyesuaikan terhadap lingkungan sekitar . Ketika suatu kebudayaan tidak lagi dianggap sebagai sebuah pegangan dalam menyelesaikan suatu masalah , maka factor eksternal akan muncul . Faktor yang muncul dari luar ini adalah pertanda ketidakmampuan sisi internal budaya untuk menyelesaikan suatu permasalahan .
Ketika bangsa Indonesia yang semakin maju ini berkembang , maka kebudayaan pun turu berkembang . Kebudayaan kita mengalami mobilisasi yang sangat cepat . Pengarug globalisasi dan liberalism menjadi salah satu penyebab kejadian ini . Namun tidak dapat dipungkiri , akulturasi kebudayaan yang ada sekarang sebenarnya adalah buah pikiran kita . Hasil pemikiran kita yang dipakai sebagai acuan. Pemikiran yang berdasar pada keinginan akan suatu kesempurnaan . Dan untuk mencapainya , maka tidak segan kita akan mengambil factor dari luar dari kebudayaan kita .
Ketika pencampuran budaya terjadi , maka norma dan nilai ( budaya ) yang kita anut pun akan ikut berubah . Begitu juga dengan perspektif kita dalam melihat segala sesuatu hal . Yang menjadi pertanyaan adalah apakah kebudayaan yang telah bercampur masih kita anggap sebagai kebudayaan ? . Jika dilihat dari segi evolusi , memang semua kebudayaan harus berevolusi . Evolusi sendiri adalah salah satu cara untuk beradaptasi terhadap lingkungan sekitar. Namun apabila evolusi secara perlahan mengubah budaya secara keseluruhan , apakah pernyataan ini dapat kita benarkan ? .
Salah satu yang menjadi headline surat kabar beberapa waktu yang lalu adalah kasus Prita Mulyasari . Beliau dapat dikatakan sebagai korban akulturasi kebudayaan . Ketika budaya kita masih membatasi pernyataan pendapat dan berbicara , banyak lapisan masyarakat yang tidak suka akan keadaan seperti ini . Saat itu , dengan embel-embel demokrasi , maka kebebasan berbicara pun diproklamirkan . Kebudayaan kita yang biasanya terarah ( baca tertekan ) dalam menyampaikan pendapat , langsung berubah menjadi kebudayaan yang blak-blakan atai ceplas-ceplos .
Muncul sebuah jalan keluar untuk menyelesaikan permasalahan tersebut . Sebuah substansi dari luar diambil sebagai embrio awal . Kebebasan kita dalam berbicara pun memakai dasar berupa substansi yang datangnya dari luar . HAM ( Hak Asasi Manusia ) dianggap sebagai dasar paling kuat untuk menopang hak kebebasan untuk berbicara. Berikutnya adalah kenyataan bahwa ke kebudayan yang kita anut pada awalnya telah bertransformasi dengan subtansi dari luar. Hal ini menyatakan bahwa produk yang dihasilkan oleh kebudayaan pun akan berubah .
Ketika kita menganut kebudayaan yang sudah berevolusi ini , timbul semacam rasa bangga dan puas karena merasa telah mencapai tingkat penghidupan yang lebih tinggi . kebudayaan yang tadinya tidak fleksibel dengan keinginan para penganutnya telah berevolusi menjadi kebudayaan substansial yang erat kaitannya dengan nilai-nilai dan norma asing .
Pada akhirnya , kebudayaan yang telah kita paksa untuk berubah ini pun memberikan efek yang tidak diperhitungkan. Pada awal mula kebudayaan untuk bebas berbicara memberikan angin segar bagi warga . Masyarakat yang tadinya ( tertekan ) untuk menyatakan pendapat dan kritik merasa lebih leluasa . Jika melihat dari prosesnya, maka kebanyakan dari warga Indonesia adalah manusia yang tidak pragmatis. Namun pada kenyataannya , individu Negara ini kebanyakan adalah manusia pragmatis yang mementingkan hasil akhir . Begitu juga mereka yang memaksa kebudayaan untuk berevolusi, tidak memikirkan efek dan proses terjadinya suatu permasalahan, namun lebih melihat segala sesuatunya dari prespektif hasil akhir atau solusi.
Kasus Prita Mulyasari boleh jadi dikatakan sebagai suatu hasil akhir dari kebudayaan yang telah berakulturasi . Budaya bebas berbicara yang kita inginkan telah didapatkan . Kesemuanya didapatkan dengan mengadopsi substansi asing (HAM ) yang terkesan kuat jika digabungkan .Namun kita hanya melihat pada penyelesaian masalah di tingkatan yang rendah . Kita tidak memperhitungkan produk akhir kebudayaan baru tersebut . Siapa sangka , kebudayaan bebas berbicara sendiri menjadi salah satu bumerang bagi kebebasan berpendapat . Intervensi pragmatisme para pemimpin bangsa telah mengarahkan kita pada kebebasan yang terkekang . Sungguh ironis , kebudayaan yang tadinya berubah ( kita ubah ) untuk menyesuaikan berbagai permasalahan malah menjadi senjata yang mengenai tuannya sendiri .
Sebagai bangsa yang besar, marilah kita bersama-sama mengembangkan cara berpikir . Jangan melihat segala sesuatunya dari hasil akhir . Namu lihatlah proses yang terjadi . Ini penting karena proses cenderung menentukan apa yang dihasilkan kedepannya . Bagaimana kita tahu apa yang akan dihasilkan , jika prosesnya saja tidak tahu , betul tidak ? . Begitu juga dengan kebudayaan yang kita miliki . Jangan asal memasukkan substansi asing yang ada . Pikirkan dahulu matang-matang apa yang akan kita dapatkan kedepannya . Toh sesungguhnya , nenek moyang kita dapat hidup dengan aman , nyaman dan tentram dengan kebudayaan yang mereka miliki tanpa intervensi dari pihak manapun .
Sumber: http://umum.kompasiana.com