Pengadilan Tipikor “Setengah Bubar”

Oleh: Febri Diansyah

RAPAT Panitia Kerja (Panja) RUU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Pengadilan Tipikor) telah dimulai. Seharusnya tahapan ini menjadi perkembangan tambahan untuk merealisasikan pembentukan pengadilan yang konsisten dengan pemberantasan korupsi.

Akan tetapi, berbagai temuan pada proses pemantauan dan analisis materi RUU sangat mengkhawatirkan. Pembahasan RUU ini justru mengarah pada quasi pembubaran Pengadilan Tipikor. Berdasarkan pemantauan langsung yang dilakukan koalisi, terbukti pembahasan Panja dilakukan secara tertutup dan jauh dari akses publik. Ada desain sistematis untuk menghindar dari mata publik.

Alasannya sederhana, agar bisa lebih fokus membahas pasal per pasal sehingga RUU ini akan selesai tepat waktu. Akan tetapi, fakta sebaliknya terjadi di lapangan. Meskipun sudah diselenggarakan di suatu tempat khusus, jauh dari keramaian pusat Jakarta, hambatan klasik peserta yang sulit kuorum masih saja terjadi.

Sebagian poin krusial seperti tempat kedudukan hakim dan seleksi hakim karier pun tetap menjadi perdebatan. Mengacu pada RUU yang dikeluarkan Panja, ternyata telah disepakati tempat kedudukan Pengadilan Tipikor di semua kabupaten/kota (Pasal 3). Namun, informasi yang disampaikan ke publik, pengadilan hanya akan dibentuk di 33 provinsi.

Menurut catatan ICW, setidaknya ada tiga poin krusial yang harus dipastikan aman dan diatur secara tegas jika ingin Pengadilan Tipikor. Pertama, seleksi Hakim Karier dan Hakim Ad Hoc harus dilakukan secara terbuka. Jika UU Pengadilan Tipikor disahkan dalam kondisi saat ini, maka ia akan mempunyai titik lemah pada poin ini. Setelah dicermati, pengaturan seleksi Hakim Karier tidak diatur dalam RUU.

Pada DIM 67 (Pasal 11 ayat (2)) hanya disebutkan: “Hakim karier ditetapkan berdasarkan keputusan Ketua MA”. Hal ini dinilai telah memangkas unsur partisipasi dan pengawasan masyarakat dalam penentuan Hakim Karier. Padahal, pasal 56 ayat (4) UU KPK sebenarnya mengatur kewajiban Ketua MA mengumumkan dan membuka masukan masyarakat sebelum mengangkat Hakim karier ataupun hakim ad hoc.

Terkait seleksi tersebut, ICW pernah mengajukan somasi pada Ketua MA. Karena penggantian sembilan hakim karier Pengadilan Tipikor ternyata melanggar Pasal 56 ayat (4) UU KPK.Saat itu,Ketua MA langsung mengangkat sejumlah hakim bermasalah tanpa mengikuti mekanisme pasal di atas.

Dengan demikian, dihilangkannya bagian ini sama artinya dengan mengembalikan rezim ketertutupan dan antipengawasan publik di MA. Demikian juga halnya dengan seleksi Hakim Ad Hoc. RUU seharusnya mengatur tegas komposisi, keterlibatan unsur Komisi Yudisial, Perguruan Tinggi dan masyarakat umum dalam panitia seleksi yang dibentuk Ketua MA.

Hal ini penting untuk menghindari pengatasnamaan unsur masyarakat untuk memenuhi formalitas belaka. Pembentuk UU dapat mengadopsi proses seleksi pimpinan KPK yang diatur di Pasal 30 dan 31 UU KPK. Unsur penting yang wajib ada; komposisi keanggotaan pansel; jangka waktu dari satu tahapan ke tahapan lainnya; kewajiban mengumumkan dan menerima masukan masyarakat; nama yang diserahkan pansel ke Ketua MA tinggal ditetapkan.

Kedua, tentang tempat kedudukan pengadilan. Pembentukan paling masuk akal saat ini adalah di lima region utama dengan wilayah hukum melingkupi seluruh Indonesia. Hal ini untuk menghindari pelemahan dan pembusukan Pengadilan Tipikor. Pembentukan di 33 provinsi sangat rentan masalah, yakni akan mengancam independensi pengadilan, boros biaya, menyulitkan proses seleksi Hakim Ad Hoc dan Karier yang bermutu.

Berdasarkan penghitungan koalisi, untuk gaji hakim saja, jika dibentuk di semua kabupaten/kota butuh Rp553 miliar/tahun; di 33 provinsi Rp65,88 miliar/tahun; dan hanya Rp12,1 miliar/tahun jika di 5 region utama. Tentu saja, Panja harus menghindari terkurasnya keuangan negara, apalagi hasil yang didapatkan sangat mungkin sama buruknya dengan pengadilan umum.

Atas dasar itulah, pembentukan di kabupaten/kota atau 33 provinsi, kami nilai tidak realistis dan cacat secara sosiologis. Ketiga, Komposisi Hakim Ad Hoc dan Hakim Karier. Bagian ini merupakan wilayah paling sensitif, karena memang pembentuk UU mengondisikan secara sistematis pemangkasan keberadaan Hakim Ad Hoc.

Agaknya, mereka membaca realitas proses di Pengadilan Tipikor yang tidak pernah meloloskan satu koruptor pun. Sehingga, kekuatan koruptif menilai semua itu disebabkan oleh keberadaan Hakim Ad Hoc yang dominan. Logika ini mengantarkan mereka pada strategi untuk menyerang keberadaan unsur ad hoc di Pengadilan Tipikor.

Putusan MK sudah secara tegas menyebutkan,bahwa tujuan membentuk UU Pengadilan Tipikor tidak boleh justru semakin memperburuk keadaan dan mem-perlemah pemberantasan korupsi. Sementara pasal 58, 59 dan 60 UU KPK telah mengatur komposisi yang tegas, yakni 3 Hakim Ad Hoc dan 2 Hakim karier.

Karena itulah, atas alasan apapun, Panja tidak boleh merusak sesuatu yang pemberantasan korupsi yang sudah berjalan dengan baik di Pengadilan Tipikor. Keberadaan hakim ad hoc dalam institusi pengadilan pun bukan hanya terjadi di Pengadilan Tipikor. Lembaga lain seperti pengadilan anak, HAM, niaga, pajak dan pengadilan hubungan industrial telah menerapkannya.

Apalagi, saat ini Pengadilan Tipikor dengan hakim ad hoc yang lebih dominan telah mematahkan virus Mafia Peradilan yang awalnya merupakan kenyataan di pengadilan umum. Karena itulah, upaya memangkas dan mengurangi keberadaan hakim ad hoc sama halnya dengan melecehkan putusan MK, berupaya melemahkan pemberantasan korupsi, dan bahkan ingin mengembalikan kekuatan Mafia Peradilan.

Jika poin di atas tidak diadopsi, atau diatur dengan rumusan yang kabur, maka alih-alih ingin memperkuat Pengadilan Tipikor, yang terjadi justru sebaliknya. Kita perlu membaca bagian-bagian tersebut dalam bingkai analisis yang lebih mendasar. Putusan MK Nomor: 012-016-019/PUU-IV/2006 yang membatalkan Pasal 53 UU KPK tentang pembentukan Pengadilan Tipikor merupakan rujukan paling tepat.

Melalui putusannya, MK sesungguhnya menegaskan sifat konstitusional Pengadilan Tipikor. Bahkan secara a-contrario, implisit MK menyebutkan, pemeriksaan kasus korupsi di Pengadilan Tipikor lebih sesuai dengan konstitusi ketimbang di pengadilan negeri. Hal ini terbaca dari pertimbangan MK saat menyatakan kondisi penegakan hukum kasus korupsi yang terjadi di dua wilayah pengadilan merupakan sebuah dualisme yang bertentangan dengan UUD 1945.

Seperti diketahui, saat itu kasus korupsi diperiksa dan diputus di pengadilan negeri dan Pengadilan Tipikor. Kemudian, MK menegaskan, untuk menghindari dualisme, maka semua kasus korupsi harus diperiksa di Pengadilan Tipikor Selain itu, setidaknya ada dua perintah MK yang perlu dipahami DPR. Pertama, Putusan MK diambil untuk menghindari ketidakpastian hukum (rechtsonzekerheid) yang dapat mengakibatkan kekacauan dalam pemberantasan korupsi.

Kedua, Jangan sampai melemahkan semangat pemberantasan korupsi yang telah menjadi musuh bangsa Indonesia. Dengan demikian, pembahasan RUU tidak boleh justru memperlemah Pengadilan Tipikor yang sudah ada. Apalagi jika diarahkan ke pengadilan umum. Jika ini dilakukan, wajar kita menyatakan bahwa terjadi pembangkangan konstitusional pembentuk UU.

Tentu saja kondisi ini dapat merusak tatanan ketatanegaraan Indonesia, penegakan hukum, dan pemberantasan korupsi. Poin-poin bermasalah dan berangka dengan konsep yang salah ketika dicantumkan di RUU, hal itu akan menimbulkan kondisi Pengadilan Tipikor setengah bubar.(*)

Febri Diansyah, Peneliti Hukum, Anggota Badan Pekerja ICW

Sumber: Seputar Indonesia, Selasa, 08 September 2009
-

Arsip Blog

Recent Posts