Oleh: Emerson Yuntho
PEMILIHAN pejabat publik di negeri ini sering menimbulkan kontroversi. Salah satu contoh seleksi pejabat publik yang dinilai kontroversial dan saat ini masih berlangsung adalah seleksi calon anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Seleksi yang diselenggarakan oleh Komisi XI DPR itu sangat mencemaskan. Sejumlah persoalan muncul selama proses, mulai waktu pendaftaran calon yang pendek dan tidak transparan hingga nama-nama calon yang bermasalah dan berpotensi menimbulkan konflik kepentingan karena diikuti pula oleh anggota dewan.
Berbagai kritik bermunculan. Tapi, kritik itu tetap diabaikan oleh DPR hingga proses seleksi memasuki tahap menentukan, yakni uji kelayakan dan kepatutan (fit and proper test) pada 7-11 September ini.
Mekanisme pemilihan pejabat publik menarik untuk dicermati, khususnya pada era reformasi yang berbeda dengan Orde Baru. Jika sebelumnya kekuasaan bepusat pada satu orang, kini ada kecenderungan menguatnya peran parleman sebagai institusi “penyaring” para pejabat publik.
Setidaknya, terdapat 15 calon pejabat publik, mulai hakim agung, duta besar, Kapolri, sampai gubernur Bank Indonesia, yang harus melalui gedung parleman. Parlemen berperan mulai sekadar memilih sebagian, memberikan persetujuan, hingga memilih dan meneruskan hasil seleksi kepada presiden untuk mendapatkan penetapan secara administratif.
Pada hakikatnya, fit and proper test di DPR bertujuan meningkatkan profesionalisme lembaga pemerintah dengan pejabat-pejabat publik yang berkualitas. Sejak awal, DPR seharusnya punya parameter atau kriteria penilaian yang objektif dan menyesuaikan dengan kebutuhan atau karakter lembaga yang bakal dimasuki calon pejabat publik yang bersangkutan.
Namun, faktanya, fit and proper test di DPR jauh dari yang diharapkan. Saat fit and proper test, anggota DPR cenderung tidak punya kriteria yang jelas maupun pemetaan atas hal yang dibutuhkan dari lembaga yang membutuhkan. Selama proses, sering muncul favoritisme, perbedaan perlakuan, dukungan secara langsung terhadap calon, serta tekanan terhadap satu calon tapi tidak terhadap calon lain. Juga, beberapa isu pokok yang terkait dengan calon yang bersumber dari laporan masyarakat tidak muncul sebagai bahan pertanyaan bagi anggota DPR.
Mekanisme seleksi di DPR pada akhirnya juga menimbulkan pesimisme dan ketakutan bagi calon pejabat publik yang akan mendaftar. Bahkan, banyak kalangan yang dinilai memiliki kualitas yang dibutuhkan suatu lembaga atau komisi enggan untuk mengikuti proses seleksi apabila masih harus melalui mekanisme fit and proper test di DPR.
Kondisi itu wajar mengingat muncul kecenderungan bahwa DPR nanti hanya memilih orang-orang yang dekat dengan kepentingan politik, dapat dikendalikan, dan memberikan rasa aman bagi masa depan para anggota dewan maupun partai politik yang bakal memilih. Kualitas dan track record sering diabaikan. Logika tersebut masuk akal bagi anggota parlemen, tapi tidak masuk akal bagi masyarakat.
Bagi sebagian kalangan, proses seleksi yang dilaksanakan oleh pemerintah dan atau DPR dinilai punya kontribusi besar atas baik serta buruknya kinerja pejabat publik di masa mendatang. Sayang, keterlibatan politisi yang sarat dengan kepentingan sering membuat faktor profesionalitas kandidat terkesampingkan oleh faktor menguntungkan tidaknya jika kandidat tersebut terpilih.
Begitu kuatnya pesimisme terhadap pemilihan pejabat publik, muncul pernyataan yang menyindir bahwa mekanisme fit and proper test oleh DPR tidak ubahnya fee and property. Hasil pilihannya yang tidak jauh berbeda dengan pejabat publik yang dipilih lewat cara “kuno”. Besaran uang yang “disetor” atau kedekatan dengan pusat kekuasaan akan menentukan lolos atau tidaknya calon pejabat yang bersangkutan.
Hasil pemilihan di DPR sering tidak sesuai dengan harapan masyarakat. Selain kontroversial, proses seleksi kerap diwarnai dengan aroma suap. Salah satu contohnya, seleksi atau pemilihan deputi gubernur Bank Indonesia saat ini masih disidik KPK.
Jika prosesnya sudah tidak transparan dan akuntabel serta telah terjadi proses lobi atau tawar-menawar politik, pelaksanaan wawancara calon dengan anggota dewan hanya merupakan formalitas. Sebab, pemenang cenderung sudah ditentukan sebelum seleksi wawancara dimulai secara resmi.
Dari proses yang buruk, dapat dipastikan hasilnya juga buruk. Akhirnya, bukan pejabat publik yang terpilih, melainkan justru penjahat publik. Penjahat publik hanya akan merugikan keuangan negara, mencemarkan dan merusak lembaga yang bakal ditempatinya.
Sejarah negeri ini punya pengalaman buruk sehubungan dengan pemilihan pejabat publik. Setidaknya, ada tiga pejabat suatu lembaga negara—yang diseleksi pemerintah dan DPR—yang terlibat dalam masalah hukum dan harus mendekam di penjara. Mereka adalah Antasari Azhar selaku ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (nonaktif), Irawadi Junus (komisioner Komisi Yudisial), dan M. Iqbal yang merupakan anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU).
Mestinya, ada tiga hal yang dipertimbangkan dalam perekrutan pejabat publik. Pertama, siapa yang akan menyeleksi. Kedua, apa pertimbangan seseorang dipromosikan. Ketiga, parameter apa yang digunakan dalam menyeleksi. Sayang, tiga prinsip itu belum dioptimalkan dalam setiap pemilihan pejabat publik selama ini.
Karena itu, seleksi pejabat publik mutlak diperbaiki oleh pemerintah maupun DPR. Mulai penentuan panitia seleksi hingga penyaringan secara sungguh-sungguh calon yang dapat dipilih panitia. Satu hal yang wajib dilakukan adalah tetap membuka ruang untuk publik dalam tiap tahap seleksi. (*)
Emerson Yuntho, wakil koordinator Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch
Sumber: Jawa Pos, Kamis, 10 September 2009