Oleh: Metta Dharmasaputra
KITA semua tentu sepakat: segala bentuk manipulasi dan korupsi harus ditumpas. Mudah-mudahan spirit itu pula yang melandasi ribut-ribut seputar pengucuran dana penyelamatan Bank Century Rp 6,8 triliun. Bukan kepentingan politik semata.
Keriuhan terjadi lantaran publik tiba-tiba dikagetkan oleh membengkaknya dana penyelamatan bank bobrok eks milik Robert Tantular itu, yang semula ditaksir cuma Rp 632 miliar.
Berbagai tudingan langsung menghambur ke arah Bank Indonesia dan Departemen Keuangan, sebagai pemutus kebijakan penyelamatan itu pada 20 November 2008.
Protes nyaring terdengar dari para politikus Senayan. Wakil Presiden Jusuf Kalla pun mengaku tak pernah diajak berembuk, padahal ia tak sepakat dengan kebijakan yang ditempuh.
Pernyataan orang nomor dua di republik ini tersebut membuat posisi kedua institusi itu kian tersudut. Meski belum ada hasil pemeriksaan dari Badan Pemeriksa Keuangan, stempel pun telanjur diterakan: penyelamatan Century beraroma skandal. Agar kita tidak tersesat di tengah riuhnya perdebatan, perbincangan Century sebaiknya dikelompokkan menjadi tiga.
Pertama, periode sebelum penyelamatan. Fokus perhatian di fase ini perlu diarahkan pada upaya mengungkap bobrok lama Bank Century dan ada-tidaknya patgulipat pejabat bank sentral menutup borok di bank itu bertahun-tahun.
Kedua, saat keputusan penyelamatan dibuat. Dalam fase ini yang dibutuhkan adalah kejernihan analisis dalam menilai tepat-tidaknya pengambilan keputusan penyelamatan Century pada rapat Komite Stabilitas Sistem Keuangan, 20 November, yang dihadiri pejabat Departemen Keuangan dan Bank Indonesia.
Ketiga, periode saat dana penyelamatan dikucurkan. Di fase ini, fokus penelusuran adalah menelisik ada-tidaknya penyelewengan dana suntikan Rp 6,8 triliun dari Lembaga Penjamin Simpanan ke Century, termasuk kebenaran rumor adanya aliran dana ke partai politik.
Di antara ketiga soal itu, ada baiknya telaah terlebih dulu difokuskan pada kontroversi seputar keputusan penyelamatan Century. Karena inilah inti persoalannya. Menteri Keuangan Sri Mulyani dan Deputi Gubernur Senior BI Darmin Nasution menjelaskan, langkah penyelamatan perlu ditempuh karena penutupan Century dikhawatirkan berdampak sistemik bagi sistem perbankan nasional. Salah satu indikatornya, terdapat 23 bank seukuran Century (18 bank umum dan 5 bank pembangunan daerah) yang terancam ikut kolaps.
Data bank sentral menunjukkan, akibat krisis global yang saat itu sedang hebat-hebatnya berkecamuk, setiap hari terjadi perpindahan dana Rp 1 triliun dari 18 bank itu ke bank-bank besar. Dampaknya, dana pihak ketiga belasan bank itu merosot lebih dari Rp 14 triliun. Di tengah situasi itu, munculnya kekhawatiran BI bahwa penutupan Century bakal kian memompa hasrat para nasabah menarik dananya bisa dipahami. Sebab, jika itu terjadi, bisa dipastikan 23 bank tersebut pun akan ikut rontok.
Fenomena ini mengingatkan kita pada sejarah kelam krisis perbankan lebih dari satu dekade silam. Saat itu, atas desakan Dana Moneter Internasional (IMF), pemerintah melikuidasi 16 bank kecil. Langkah yang semula dimaksudkan untuk memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan itu justru berbuah kepanikan. Akibatnya, terjadilah penarikan tunai dana perbankan besar-besaran (bank run) dan pemindahan dana dari bank-bank yang dianggap lemah ke bank-bank yang dinilai lebih kuat (flight to safety).
Kondisi ini membuat bank-bank yang sebelumnya tergolong sehat pun ikut kena imbasnya. Bank-bank kecil mulai kekurangan likuiditas dan berebut pinjaman di pasar uang antarbank. Namun, karena bank-bank besar cenderung mengamankan diri masing-masing, pinjaman uang antarbank tak mudah didapat. Di tengah kekeringan likuiditas itulah kian banyak bank bertumbangan. Rush perbankan terjadi. Suku bunga pun meroket. Para nasabah dan sektor industri terpukul. Akibatnya, kredit macet bank-bank membengkak, ikut menggilas bank-bank besar.
Dampak lainnya, kredibilitas perbankan nasional di luar negeri merosot. Ini ditandai dengan meningkatnya penolakan bank-bank internasional atas transaksi valuta asing dan letter of credit yang diterbitkan bank-bank domestik.
Adanya potensi rentetan dampak sistemik seperti itu yang tampaknya mendasari pemerintah dan BI memutuskan penyelamatan Century. Apalagi bank swasta dengan 65 ribu nasabah ini diketahui memiliki cukup banyak pinjaman antarbank.
Persoalannya kini, sejauh mana asumsi sistemik BI itu bisa dipertanggungjawabkan. Jika memang asumsi dan data BI benar, tak ada keraguan, langkah penyelamatan harus dilakukan. Perlu dicatat, biaya pemulihan krisis 1997/1998 supermahal. Diperkirakan biaya restrukturisasi perbankan nasional saat itu mencapai Rp 636 triliun atau setara dengan 55 persen produk domestik bruto Indonesia untuk tahun fiskal 1999/2000.
Haruskah kini kita mengulang kesalahan masa lalu dengan menutup Bank Century? Kita tentu tak ingin niat “berhemat” Rp 6,8 triliun malah melahirkan ongkos krisis ratusan triliun rupiah seperti pada 1998. Selain itu, bukankah kita dulu pernah beramai-ramai mengutuk resep IMF yang ternyata beracun tersebut? Meski begitu, untuk menepis segala keraguan, penelaahan mendalam oleh Badan Pemeriksa Keuangan diperlukan, khususnya untuk memverifikasi kebenaran data-data BI yang menjadi dasar penyelamatan Century.
Pemeriksaan BPK juga dibutuhkan untuk mengetahui secara persis sebab-musabab terjadinya pembengkakan dana suntikan modal dari LPS. Adakah kesalahan pemberian input dari BI soal ongkos penyelamatan, yang menyebabkan terjadinya kesalahan dalam pengambilan keputusan? Kalaupun pembengkakan dana bisa dipertanggungjawabkan, publik pun perlu mendapat kepastian bahwa langkah penyelamatan memang tak bisa ditawar lagi demi stabilitas perbankan nasional.
Hal lain yang perlu dijawab dari audit investigasi BPK, yaitu soal tudingan ada-tidaknya kongkalikong antara manajemen Century dan pejabat bank sentral—termasuk Boediono yang saat itu menjabat Gubernur BI—untuk mengubur borok di bank itu bertahun-tahun. Adakah kaitannya dengan pembengkakan dana penyelamatan yang belakangan terjadi? Juga soal ada-tidaknya penyelewengan dana penyelamatan oleh para nasabah besar, yang diduga ikut dinikmati partai politik. Semua kejelasan ini amat diperlukan agar kita semua tidak terjerumus pada fitnah dan terjebak dalam permainan politik kelompok tertentu.
Bagi kubu JK dan para politikus Senayan, pembuktian bahwa langkah mereka tak didasari kepentingan politik semata juga dinanti publik. Setidaknya ada satu pertanyaan yang perlu dijawab: mengapa JK dan para politikus Senayan tak riuh meributkan dugaan manipulasi pajak Asian Agri milik taipan Sukanto Tanoto, yang jelas-jelas merugikan negara?
Menurut penyidikan Direktorat Jenderal Pajak, negara telah dirugikan Rp 1,4 triliun. Jika Sukanto membayar tunggakan plus dendanya empat kali lipat alias Rp 7 triliun, ongkos penyelamatan Century langsung lunas terbayar. Belum lagi dari sejumlah kasus taipan lainnya, yang kini masih di tangan tim Pajak.
Dukungan penuh untuk tim Pajak jelas amat diperlukan, karena kerja keras mereka selama tiga tahun menyidik kasus ini selalu dimentahkan Kejaksaan. Sayangnya, JK tak cukup kuat memberi dukungan. Dalam sebuah kesempatan, ia malah memberi sinyal agar kasus ini tidak dibawa ke ranah pidana, melainkan perdata. Alasannya, ini hanya menyangkut urusan bisnis.
Jika kebijakan itu yang ditempuh, negara hanya akan mendapat setoran maksimal 48 persen dari tunggakan pajak. Berbeda jika jerat pidana yang digunakan. Ancaman kurungan dan denda 400 persen telah menanti. Pertanyaannya, kenapa JK tak mati-matian menyelamatkan uang negara?
Suara senada diungkapkan oleh Melchias Markus Mekheng. Politikus Partai Golkar ini termasuk yang getol menyuarakan pengusutan kasus Century. Tapi kenapa pula dalam kasus Asian Agri suara galaknya tak nyaring terdengar? Ia malah menyarankan pengusutan kasus pidana Asian Agri dihentikan.
Agar soal ini pun terang-benderang, sikap kritis JK, Mekheng, dan para politikus Senayan atas kasus Asian Agri perlu segera disuarakan ke publik. Dengan begitu, mereka pun bisa terhindar dari berbagai fitnah bahwa suara kritisnya soal Century didasari kepentingan politik semata.
Metta Dharmasaputra, Wartawan Tempo
Sumber: Koran Tempo, Rabu, 09 September 2009