Malam Panjang Jimat bukanlah sekedar ritual mengarak jimat-jimat pusaka. Malam Panjang Jimat ternyata memiliki makna sakral di kalangan masyarakat Cirebon. Khususnya di kalangan keluarga keraton.
Masih dua hari lagi sebelum hari raya Maulid Nabi dirayakan di Cirebon sebagai Malam Panjang Jimat, saya mencoba untuk mengunjungi Keraton Kanoman. Banyak pedagang kaki lima yang menggelar dagangannya di sekitar gerbang masuk keraton. Ternyata di setiap malam menjelang Panjang Jimat, di setiap keraton memang selalu ada pasar malam yang digelar secara kagetan. Saya segera memasuki jalan-jalan menuju gerbang Kanoman. Di kanan kiri saya berbagai macam barang dagangan digelar. Mulai dari pakaian, gorengan, martabak, arumanis, mainan anak-anak hingga para peramal yang menawarkan jasa membaca nasib melalui garis tangan.
Setelah beberapa kali mengitari areal Keraton Kanoman, saya menghampiri sebuah bangunan keraton yang bertulisakan Museum Keraton. Bangunan ini tertutup dan terkunci. Mungkin memang karena hari itu sudah malam. Di depannya banyak sekali terlihat warga Cirebon yang sedang beristirahat. Entah sekedar duduk-duduk atau mengobrol dengan kerabatnya. Sayang sekali areal yang mengandung begitu besar kisah sejarah ini tampak tak terjaga kebersihannya. Saya tak sekalipun melihat adanya tempat sampah. Namun, antusias warga nampak tak sedikitpun surut. Beberapa tampak sedang berdoa dengan khusuk dan sebagian lagi sedang melantunkan ayat-ayat suci dengan khidmat.
Malam semakin larut dan akhirnya saya memutuskan untuk kembali ke penginapan dengan berjalan kaki. Jarak yang kami tempuh kira-kira sekitar dua kilometer hingga sampai ke hotel. Meski lelah, semangat saya tak surut sambil menikmati keramaian di sepanjang Jalan Siliwangi dan menikmati Empal Gentong.
Esok paginya ditemani oleh kawan saya, Ami, saya bertolak menuju makam Sunan Gunung Jati dengan menggunakan sebuah becak. “Lima belas ribu!... Sampai depan pintu masuknya,” kata si tukang becak.
Suasana makam memang penuh dengan pengunjung. Berbagai kios digelar di depan pintu masuk makam sehingga agak sulit juga untuk menuju pintu kompleks pemakaman. Setelah terbebas dari desakan pengunjung di areal depan, para pengemis membuntuti untuk meminta sedekah. Belum lagi banyaknya kotak-kotak amal yang digelar warga di sepanjang areal pemakaman. Beberapa dari mereka memang meminta secara paksa namun tak sampai mengganggu perhatian saya pada antusiasme warga Cirebon yang hendak berziarah ini.
Saya memasuki bangunan cukup besar yang dipadati pengunjung. Beberapa orang berpakaian adat berwarna putih nampak menjajaki botol minuman. “Ini air berkah,” kata salah seorang dari mereka.
Antrian panjang peziarah tertuju pada sebuah pintu besar yang tertutup rapat. Para peziarah bergantian memegang pintu tersebut dan yang lainnya tampak duduk menghadap pintu sambil mengumandangkan shalawat atau hanya sekedar membaca surat-surat Al Qur’an. “Itu pintu ke makam Sunan. Hanya dibuka saat malam Panjang Jimat dan hanya keluarga Sunan yang boleh masuk,” kata Ami.
Meski suasana sangat padat dan penuh sesak, namun nuansa religi dan spiritual yang begitu kuat memang tak bisa dipungkiri disini. Seorang petugas makam yang juga berpakaian adat berwarna putih menghampiri saya sambil memberi penjelasan tentang beberapa makam yang ada di situ. “ Masuk saja pak, itu makam istri Sunan yang berasal dari Cina,” katanya. Makam itu sedang diziarahi beberapa warga. Yang unik adalah, ada dupa di bagian depan makamnya. Mirip seperti yang terdapat di klenteng-klenteng. Mungkin ini menjelaskan asal-usul sang istri Sunan.
Kami melanjutkan perjalanan dengan memasuki sebuah ruangan dimana terdapat sebuah tangga yang menuju ke bagian atas kompleks ini. Disetiap ruangan ini ada beberapa petugas makam yang sedang mengaduk beras yang terdapat disebuah tempat yang mirip bak.
Dibagian atas kompleks pemakaman ini ternyata masih banyak terdapat makam-makam keluarga Sunan. Jalurnya pun masih terus menanjak lagi. Banyak juga rombongan dari luar kota yang sedang berziarah ke bagian ini. Sekelompok peziarah terlihat sedang bersalawat sambil duduk mengerumuni sebuah makam. Ada juga beberapa orang yang mengambil segenggam tanah disamping bangunan makam Sunan. “Ini buat disimpan pak. Bisa bawa rezeki atau yang punya anak biar anaknya pintar nantinya,” kata petugas makam.
Setelah puas mengunjungi makam Sunan Gunung Jati, kami menuju Keraton Kasepuhan yang kondisinya jauh lebih ramai dari makam Sunan. Hamparan tenda-tenda pedagang pasar kaget yang cuma ada menjelang Panjang Jimat ini benar-benar sulit ditembus. Kami mengambil jalur memotong, menyisir sebuah kali disamping keraton. Ami nampaknya sangat lihai dengan hal ini.
Memasuki Keraton Kasepuhan pun harus bergantian dengan pengunjung yang berdesakan. Di bagian dalam keraton, saya begitu tertegun dengan dinding keramik yang menghiasi bangunan tua nan kokoh ini. Seorang petugas keraton menghampiri saya sambil menjelaskan tentang keramik-keramik tersebut. “Gambar yang ada di keramik ini menjelaskan tentang kisah Nabi Adam hingga Nabi Isa,” katanya.
Luar biasa! Ternyata keraton yang berbasis Islam ini didalamnya terdapat ornamen yang melambangkan kaum Nasrani. Saya sendiri bisa melihat gambar penyaliban Nabi Isa dan berbagai kisah yang diangkat dari Injil. Meski begitu, susunan keramik ini dibuat mirip kubah mesjid hingga membentuk nuansa Islam. Benar-benar sebuah perpaduan yang menarik! Ini bukti dari kerukunan antar umat beragama di zaman kesultanan dulu.
Disamping kiri areal keraton, Ami mengajak saya mengunjungi museum yang terdapat kereta kencana. Konon kereta ini dapat membawa berkah bagi siapa yang menyentuhnya. Betul saja! Antrian panjang terlihat di depan pintu museum. Dengan membayar Rp 2.000, kami ikut mengantri masuk ke museum. Kerumunan warga begitu ramai mengelilingi kereta kencana berbentuk burung dengan kedua sayapnya berwarna emas yang mengembang di samping kereta. Kereta ini langusng terlihat di depan pintu masuk. Orang tua dan anak-anak, semuanya berebutan memegang badan kereta. Beberapa orang tua bahkan memegangnya berkali-kali dan kemudian membasuhkan tangan ke wajah mereka. Antusiasme warga yang benar-benar menarik!
Esok paginya, kami melanjutkan perjalanan kami ke Keraton Kacirebonan yang letaknya tak jauh dari Keraton Kasepuhan. Berbeda dengan dua keraton sebelumnya, Kacirebonan nampak lebih sederhana dan jauh dari hiruk pikuk pasar kaget. Beberapa pedagang yang berjualan disini hanya berjualan cindera mata khas cirebon seperti batik, kain ikat kepala, kaos bergambar simbol-simbol Cirebon dan topeng-topeng khas Cirebon.
Suasana adem dan nyaman langsung terasa begitu kami memasuki gerbangnya. Seorang bapak berpakaian casual dengan ramah menyapa saya. “Darimana mas?” katanya. Ternyata bapak tersebut adalah salah seorang anggota keluarga Keraton Kacirebonan. Kami pun diajak berkeliling untuk berfoto-foto sambil diberikan penjelasan tentang sejarah kesultanan Cirebon. “Sambil duduk akan lebih enak,” katanya sambil mempersilahkan kami untuk lesehan dihalaman keraton.
“Anda tahu arti sebenarnya dari Panjang Jimat?” tanya bapak itu. Sayapun menjawab dengan pengetahuan yang saya miliki bahwa Panjang Jimat adalah upacara mengarak benda-benda pusaka keraton. “Itu salah besar,” kata bapak itu. Dari penjelasannya, saya baru tahu jika sebenarnya Panjang Jimat adalah hanya memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW. Bentuk peringatan itu diwujudkan dengan penghormatan pada para leluhur. Salah satunya adalah dengan membersihkan barang-barang peninggalan leluhur, membaca ayat-ayat suci dan kemudian menyimpannya kembali.
Sesuai dengan perkembangan zaman, kepercayaanpun mulai bergeser. Banyak warga yang menganggap bahwa benda-benda peninggalan leluhur itu memiliki kekuatan dan berkah. Sehingga akhirnya benda-benda itulah yang sekarang menjadi simbol dari Panjang Jimat. “Datang saja kemari malam ini,” undang bapak itu. Sayapun tak akan melewatkan kesempatan berharga ini.
Pengalaman yang menakjubkan bagi saya terjadi selepas Adzan Isya malam itu. Saya dan Ami begegas menuju Keraton Kacirebonan. Suasana kota agak sepi karena hampir semua warga Cirebon menuju ke keraton. Beberapa petugas keamanan yang mengenal Ami langsung mempersilahkan kami masuk ke areal keraton yang sudah penuh oleh warga. Ami yang selama ini bertugas di Pemda Cirebon memang tak perlu undangan khusus untuk bisa masuk dan duduk di kursi undangan. Maklum, Ami kenal dengan semua pejabat yang hadir malam itu di Kacirebonan.
Acara langsung dimulai begitu Gubernur Jawa Barat hadir di keraton. Kesempatan langka bagi saya. Kapan lagi bisa memotret seorang Gubernur Jawa Barat dari jarak sangat dekat dan bisa duduk di belakang kursi beliau! Saya pun segera bergabung dengan para rombongan jurnalis.
Setelah beberapa kata sambutan dari pihak keraton dan Gubernur, arak-arakan Panjang Jimat segera dimulai. Dengan diiringi shalawat, rombongan mulai berjalan keluar dari ruangan utama menuju alun-alun keraton dan kemudian menuju mesjid di samping keraton. Mesjid ini memang khusus untuk kalangan keraton. Suasana sakral sangat terasa!
Benda-benda pusaka yang dibawa keluar ini sudah dicuci pada pagi harinya. Dalam keadaan terbungkus kain, benda-benda ini di arak perlahan-lahan keluar. Sayang sekali saya tak dapat melihat benda-benda dibalik bungkusan itu. Masyarakat yang dari tadi sore sudah memenuhi alun-alun, langsung mengikuti iring-iringan itu. Barikade yang mengawal iring-iringan ini adalah sekelompok anak-anak muda berpakaian ala pencak silat, serba hitam. Para kaum ibu segera berebut mencabuti daun-daun penghias ruangan. “Itu berkah mas,” kata seorang petugas keamanan pada saya.
Jangan terkejut dengan cerita-cerita gaib di seputar acara ini. Menurut Ami, di acara seperti ini, para “pengunjung tak terlihat” kerap datang. Jadi seolah-olah kerumunan massa terlihat begitu padat. “Pengunjung tak terlihat” yang dimaksud Ami, tak lain adalah para makhluk halus.
Setelah melewati kerumunan massa, iring-iringan memasuki mesjid keraton. Disini, saya tak diizinkan masuk. Beberapa jurnalis juga terpaksa meliput dari luar. Sayapun terpaksa mengambil gambar dari luar sambil berebutan tempat dengan para warga. Para pembawa benda-benda pusaka ini nampak duduk mengitari benda-benda tersebut sambil diterangi lilin-lilin. Pintu masjid segera ditutup rapat oleh petugas berpakaian sorban mirip para kiyai zaman dahulu.
Lantunan ayat-ayat suci segera terdengar dari dalam mesjid kecil yang sakral itu. Saya terkagum-kagum dari balik jeruji jendela yang bermotif antik sambil menodongkan kamera kedalam ruangan yang kental bernuansa spiritual itu. Warga juga masih banyak yang mengelilingi mesjid. Mereka masih penasaran melihat benda-benda pusaka tersebut.
Meski acara Panjang Jimat sudah selesai, tapi antusias warga masih sangat terasa di sekitar keraton. Beberapa dari mereka ada yang segera bergegas ke Keraton Kanoman dan Kasepuhan untuk menyaksikan upacara yang sama. Namun menurut Ami, kondisi keramaian di Kasepuhan sudah tak bakal bisa ditembus. Disanalah pusat keramaian Panjang Jimat seantero Cirebon. “Bukan hanya orang Cirebon. Dari Indramayu, Garut, Tasik, semua ngumpul di Kasepuhan,” kata Ami. Mungkin karena Kasepuhan adalah keraton paling tua dan paling besar di Cirebon. Kami mengurungkan niat kami menuju Kasepuhan karena faktor keamanan disana.
Dua orang anggota Keraton Kacirebonan yang ternyata kenal dengan Ami terlihat bercakap-cakap di depan mesjid. “Pengajiannya kira-kira sampai jam 23.00,” kata Ami pada saya. Akhirnya saya memutuskan untuk kembali ke penginapan karena harus berkemas untuk pulang ke Jakarta esok pagi. Sayapun berpamitan dengan beberapa petugas keraton. “Tahun depan kesini lagi ya,” kata mereka. “Tahun depan kita coba ke Kanoman atau Kasepuhan,” kata Ami. Entah itu Kasepuhan, Kanoman atau Kacirebonan, bagi saya mengikukti malam sakral Panjang Jimat adalah pelajaran yang sangat berharga. Pengalaman menembus budaya masa lampau yang begitu sakral.
Tips mengikuti upacara Panjang Jimat
Untuk mengikuti upacara di Kasepuhan, disarankan untuk hadir disana dari sore hari. Kerumunan massa akan semakin membludak menjelang acara di keraton tertua di Cirebon ini. Berbeda dengan Keraton Kanoman dan Kacirebonan yang relatif agak sepi.
Sumber : http://mahavishnu8.multiply.com