Oleh: Laode Ida
Rapat Paripurna DPR, Selasa (22/2) malam, berakhir dengan “kemenangan tipis” pihak berkuasa. Voting terbuka atas usul hak angket untuk mengusut mafia pajak ditolak dengan posisi 266 (Partai Demokrat, Partai Amanat Nasional, Partai Persatuan Pembangunan, Gerindra, dan Partai Kebangkitan Bangsa minus Lili Wahid dan Effendy Choirie) berbanding 264 suara (Golkar, PDI-P, Partai Keadilan Sejahtera, dan Hanura).
Dengan hasil itu, upaya untuk secara terbuka membongkar para mafioso dan jaringannya yang hingga kini masih terus memperkaya diri dengan menggerogoti sumber pendapatan negara telah terbendung oleh kekuatan politik yang ditopang kuat barisan istana.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pastilah sedikit lega dengan dihentikannya manuver dari sebagian politisi Senayan itu. Soalnya, kalaupun selanjutnya kasus mafia pajak ditangani oleh DPR, dampak atau pengaruh politiknya pastilah tak sedahsyat melalui pansus hak angket yang bisa setiap saat mengganggu “kenyamanan tidur” pihak penguasa, seperti yang pernah terjadi pada kasus hak angket Bank Century.
Maklum, skenario selanjutnya hanya akan ditangani oleh panitia kerja yang biasanya hanya terkait dengan urusan teknis dan rekomendasi kebijakan yang tindak lanjutnya bergantung pada derajat keseriusan pemerintah.
Mengundang Kecurigaan
Sikap politik pihak Presiden Yudhoyono yang menolak pembentukan pansus hak angket mafia pajak pantas dipertanyakan. Sebab, yang semula menginisiasi atau menyuarakan perlunya kasus mafia pajak—bagian dari dampak pemeriksaan dan pernyataan Gayus Tambunan—adalah Partai Demokrat (PD). Akan tetapi, justru PD yang kini ngotot menolak.
Pertama, bisa jadi anggota Fraksi PD yang mendorong agar kasus mafia perpajakan diangkat menjadi hak angket DPR memang semula berniat baik membongkar kejahatan para mafioso yang rapi berjejaring dengan para penyelenggara negara.
Apalagi sedikit didorong oleh pernyataan Gayus Tambunan dan Staf Khusus Presiden Denny Indrayana yang mengisyaratkan beberapa perusahaan milik Ketua Umum Partai Golkar (Aburizal Bakrie) diduga mengemplang pajak.
Namun, sikap politik mereka dikoreksi oleh pimpinan partai yang lebih paham jejaring mafia pajak selama ini yang kemungkinan menyerempet elemen-elemen kekuasaan. Apabila diteruskan, hak angket justru bisa menjadi bumerang di samping menciptakan instabilitas politik yang bisa mengganggu ketenteraman kerja dan bahkan memperburuk citra pemerintahan Presiden Yudhoyono.
Lebih-lebih lagi, ternyata Gayus Tambunan—saat memberikan keterangan pers seusai divonis tujuh tahun penjara— mengaku ada rekayasa oleh Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum dalam penyebutan nama Aburizal Bakrie oleh dirinya.
Kedua, ada kecanggihan dari kalangan mafia pajak yang bermain dan memengaruhi pimpinan parpol tertentu untuk memblokir upaya mengusut tuntas kejahatan itu. Dalam konteks ini, pastilah ada unsur transaksionalnya.
Apalagi memang para pengemplang pajak itu memiliki data tentang keterlibatan jaringan kekuasaan dalam kerja permafiaan, seperti yang pernah diungkap Gayus dan sejumlah pihak lain. Kalau semua ini terungkap, lagi-lagi bukan mustahil berdampak negatif terhadap pemerintahan Yudhoyono.
Negara Antiperbaikan
Kalau dugaan kecurigaan ini terjadi, baik pihak penolak usul hak angket maupun penguasa yang mendukung sikap itu telah melindungi para mafia pajak dan jejaringnya di dalam birokrasi dan kekuasaan di negeri ini. Dengan kata lain, negara ini telah secara terbuka bersikap “antiperbaikan dan antipenyehatan” diri lewat kekuatan di parlemen; sekaligus menghindarkan diri dari upaya perbaikan melalui gerakan dan kebijakan politik.
Sikap politik pihak penguasa seperti itu memang sangat ironis, kontradiktif dengan hakikat pemerintah yang seharusnya mendukung segala upaya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih. Apalagi terkait dengan pajak sebagai sumber utama penerimaan dan pembiayaan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan negeri ini.
Ini berarti, secara langsung atau tidak langsung, di satu sisi akan menghambat upaya pengoptimalan peningkatan penerimaan negara dari sektor pajak (yang berarti juga menghambat penciptaan tercapainya kesejahteraan rakyat) dan di sisi lain membiarkan segelintir elite menimbun kekayaan melalui pengemplangan pajak. Tepatnya, para perusak negara akan dimanja secara politik dan oleh kekuasaan sehingga mereka bisa terus bebas menjalankan kebiasaan buruknya.
Kondisi seperti ini merupakan bagian dari preseden buruk dalam upaya pengelolaan pemerintahan yang baik, sebagaimana selalu dinyatakan Presiden Yudhoyono.
Bukan mustahil hal ini akan memunculkan kesan kuat bahwa upaya perbaikan akan selalu kalah oleh jaringan konspirasi terorganisasi dengan dukungan kekuasaan dan para anggota mafia yang memiliki kekuatan pendanaan. Inilah yang sungguh sangat memprihatinkan.
Laode Ida, Wakil Ketua DPD; Artikel Ini merupakan Pandangan Pribadi
Sumber: kompas, Kamis, 24 Februari 2011