Banda Aceh - Semarak Hari Kemerdekaan ke-71 RI dimeriahkan dengan berbagai cara.
Dari dataran tinggi Gayo, atraksi pacuan kuda tradisional menjadi perhelatan 'wajib' yang banyak dinanti-nanti.
Diikuti oleh peserta dari tiga kabupaten yaitu Aceh Tengah, Bener Meriah, dan Gayo Lues.
Daerah yang dikenal sebagai 'tiga bersaudara' karena memiliki kesamaan adat, suku, budaya, dan alam.
Atraksi pacuan kuda tanpa pelana itu sudah masuk dalam kalender event wisata provinsi paling barat Indonesia itu.
Antusiasme warga terlihat dari membludaknya penonton yang menjubeli dua tribun di lapangan dan Stadion Buntul Nege Blangsere, Kabupaten Gayo Lues (Galus), Minggu (14/8/2016).
Pada hari penutupan, seribuan pengunjung memadati lapangan Buntul Nege Blangsere yang dijadikan sebagai arena pacuan.
Hal itu berbanding terbalik dengan hari pertama sampai ke empat, dimana pengunjung sepi, kecuali puluhan pengunjung bersama para pejoki dan ofisial, selain kuda pacu dari masing-masing tim.
"Penonton pacuan kuda di Galus sesak pada hari terakhir dan penutupan itu. Bahkan warga berduyun duyun menyaksikan event tersebut mulai dari pelosok desa, baik itu anak anak hingga orang tua," kata Burnudin dibenarkan pengunjung lainnya.
Pacuan kuda ini melibatkan 132 ekor kuda dari tiga kabupaten.
Dari Gayo Lues ada 73 ekor kuda, dari Bener Meriah 41 ekor kuda, dan dari Aceh Tengah 18
ekor kuda.
Para joki yang menunggangi kuda tanpa pelana itu memperebutkan hadiah Rp 216 juta.
Tidak seperti perhelatan serupa sebelumnya yang yang menempatkan Aceh Tengah sebagai juru kunci, kali ini tuan rumah Gayo Lues tampil sebagai pemenang.
Pada hari penutupan, seribuan pengunjung memadati lapangan Buntul Nege Blangsere yang dijadikan sebagai arena pacuan.
Hal itu berbanding terbalik dengan hari pertama sampai ke empat, dimana pengunjung sepi, kecuali puluhan pengunjung bersama para pejoki dan ofisial, selain kuda pacu dari masing-masing tim.
Bupati Galus, Ibnu Hasim saat menutup pacuan kuda menyatakan even ini diharapkan dapat memberi manfaat kepada masyarakat Galus, termasuk peningkatan perekonomian.
Tetapi yang paling penting mempererat hubungan silaturrahmi masyarakat tiga kabupaten ini yang memiliki seni dan budaya pacuan kuda.
Menurut Bupati, pacuan kuda ini juga sebagai sarana hiburan rakyat, selain memacu semangat peternak untuk terus mengembangbiakkan kuda, termasuk bantuan dari pemerintah.
"Pacuan kuda tradisional ini yang digelar setahun sekali harus dapat mengundang para wisatawan lokal, nasional dan juga mancanegara untuk datang ke daerah ini," jelas Ibnu Hasim.
Ibnu Hasim juga menyinggung tentang pengadaan bibit induk kuda sebanyak 20 ekor pada tahun ini dan tahun depan atau 2017 akan ditambah lagi menjadi 40 ekor kuda pacu yang tangguh.
Disebutkan, dengan adanya kuda pacu tangguh, maka minat masyarakat menyaksikan pacuan kuda akan meningkat dan pelaksanaan lebih meriah lagi.
Sementara itu, Ketua panitia, Abdul Wahab SPdi mengatakan dari 132 ekor kuda yang berpacu sejak babak penyisihan, maka 48 ekor kuda yang berhak mendapatkan hadiah dan piala.
Disebutkan, Galus 25 ekor, Bener Meriah 18 ekor dan Aceh Tengah hanya 5 ekor kuda, karena jumlah kuda yang dikirim juga minim.
Dia menjelaskan setelah panitia melakukan musyawarah, juara umum pacuan kuda di Buntul Nege Blangsere tahun ini yakni Galus ditetapkan sebagai juara umum, juara kedua Bener Meriah dan Aceh Tengah juara tiga.
Acara juga ditutup oleh Gubernur Aceh, dr H Zaini Abdullah, diwakili Sekda Aceh, Drs Dermawan MM.
Gubernur sempat menyatakan lomba pacuan kuda tradisional Gayo sebagai aset budaya yang dapat meningkatkan sektor pariwisata.
Pemerintah Aceh akan mengupayakan ke Pemerintah Pusat agar olahraga rakyat yang menjadi ciri khas tanah Gayo itu masuk dalam kalender tetap pariwisata nasional.
Dengan demikian, Gayo tidak hanya terkenal di dunia dengan tarian Saman dan kopinya yang telah mendunia, tapi juga terkenal dengan pacuan kuda tradisionalnya. (*)
Sumber: http://aceh.tribunnews.com