Bengkulu - Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Bengkulu Titiek S Mokodompit menilai, vonis bebas yang dijatuhkan oleh Pengadilan Negeri Curup Kabupaten Rejang Lebong, Bengkulu terhadap mantan Bupati Rejang Lebong Dr Achmad Hijazi, merupakan preseden buruk dalam pemberantasan korupsi di daerah itu.
"Itu merupakan contoh buruk. Karena Hijazi dibebaskan maka pejabat lain tidak takut untuk melakukan korupsi karena masih ada kemungkinan untuk bebas dari jeratan hukum," katanya di Bengkulu, Sabtu (09/12/06).
Menurut dia, dalam kasus korupsi yang dilakukan mantan Bupati Rejang Lebong itu sudah jelas karena ada kerugian keuangan negara. Jajaran Kejaksaan khususnya para jaksa yang menangani kasus tersebut, kata dia, sudah berupaya keras bahkan sampai babak belur guna membuktikan keterlibatan mantan orang nomor satu di Rejang Lebong itu. "Tapi memang majelis hakim mempunyai pendapat lain, dan berbeda persepsi dengan kita dalam kasus itu, sehingga mereka memutuskan untuk memberikan vonis bebas," katanya. Secara institusi, Mokodompit mengaku sangat menghargai putusan yang dijatuhkan majelis hakim tersebut, meski secara pribadi ada rasa kecewa.
Terkait bebasnya Hijazi, ia mengaku telah mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Majelis hakim Pengadilan Negeri Curup yang diketuai Mardiyono Cokrosarjono, Selasa (21/11) menjatuhkan vonis bebas terhadap Achmad Hijazi terdakwa dugaan korupsi gedung workshop.
Selain itu, majelis hakim membebaskan terdakwa dari seluruh dakwaan Penuntut Umum, serta memulihkan hak terdakwa dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya seperti sedia kala.
Sebelumnya tim Jaksa Penuntut Umum yang diketuai Yeni Puspita, SH mengajukan tuntutan agar Hijazi dihukum lima tahun penjara serta membayar denda sebesar 100 juta dengan subsisder enam bulan kurungan dan membayar uang pengganti sebesar Rp5,628 miliar lebih.
Kasus dugaan korupsi yang dituduhkan kepada mantan Bupati Rejang Lebong dalam pembangunan work shop atau proyek PIC (Place Of Information Centre) yang terletak di Jakarta tahun anggaran 2003/2004. Dana untuk pembangunan proyak itu berasal dari Dana Alokasi Umum 2003 sebesar Rp13,6 miliar dan untuk pembangunan selanjutnya kembali dianggarkan dari DIPA 2004 sebesar Rp8,6 miliar.
Namun dalam pelaksanaanya ditemukan adanya penyimpangan, sehingga menimbulkan keuangan negera sekitar Rp1 miliar lebih. (*/rit)
Sumber: Kapanlagi.Com, 09 Desember 2006