Banda Aceh - Gerakan Anti Korupsi (Gerak) Aceh menilai masih banyak proses rehabilitasi dan rekonstruksi yang diduga sarat korupsi dan telah dilaporkan kepada aparat penegak hukum namun hingga kini belum jelas penyelesaiannya.
“Masih banyak indikasi korupsi dalam proses rehab/rekon belum diselesaikan meskipun kasusnya telah ditangani oleh aparat hukum,” kata Bambang Antariksa dari Gerak di Banda Aceh, Selasa (30/01).
Pernyataan tersebut diungkapkan pada bedah kasus tetang menguak isu-isu korupsi di Aceh yang diselenggarakan Aceh Recovery Forum (ARF) di Banda Aceh.
Dia mengatakan, hingga saat ini pertanggungjawaban pengelolaan dana tanggap darurat pasca musibah gempa bumi dan tsunami 2004 belum jelas karena rendahnya transparansi dan akuntabilitas pengelola dana.
Pada masa rehab/rekon di bawah Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi (BRR) Aceh-Nias kasus korupsi disinyalir semakin marak dan menurut dia di sinilah Satuan Anti Korupsi (SAK) BRR harus menjadi unit anti korupsi yang independen.
“SAK BRR harus independen, mempunyai kewenangn luas dan tidak berada di bawah BRR namun berada pada komando Badan Pengawas BRR,” katanya.
Beberapa kasus yang telah dilaporkan Gerak kepada aparat hukum di antaranya pengadaan kapal ikan fiktif untuk nelayan di Sabang, mark up pembangunan barak pengungsi tsunami di Aceh.
Kasus lain yang hingga saat ini penyelesaiannya dilaporkan belum jelas yaitu penyimpangan penggunaan anggaran APBD Kabupaten Aceh besar 2004, penyimpangan pengelolaan keuangan pemkab Aceh Barat.
Penyimpangan dana pengembangan rawa dan saluran pembangunan Lhok Geulumpang Kabupaten Nagan Raya, penggunaan dana children center pada Menteri Pemberdayaan perempuan dan penyelewengan keuangan daerah pada pos belanja tak terduga di Kabupaten Pidie.
Kasus kas bon Pemkab Pidie, kasus penyimpangan penyaluran jatah hidup dan mark up jumlah pengungsi di Kabupaten Simeulue serta mark up pencetakan buku BRR NAD-Nias juga hingga saat ini penyelesaiannya belum jelas.
Menurut dia, timbulnya permasalahan dalam pengelolaan dana tanggap darurat disebabkan penanganan yang tidak profesional, lemahnya korodinasi, tidak ada standar minimum dan rendahnya transparansi serta akuntabilitas.
Sementara data dari SAK BRR menyebutkan terdapat 1.076 pengaduan denghan jumlah lebih dari 500 kasus sejak 13 September 2005 sampai 31 Desember 2006.
Sebanyak 62 kasus berdasarkan laporan masyarakat, 19 kasus melalui penelitian mendalam dan 44 kasus lainnya dari audit investigasi telah dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). (Ant)
Sumber: Nias Online: 31 Januari 2007