Pengaruh Bahasa Jawa terhadap Teks Wayang Melayu-Betawi: Kajian Etimologis dan Medan Makna

Oleh Bani Sudardi

Pendahuluan
Pengaruh timbal balik antara budaya Melayu dan budaya Jawa sudah terjadi ribuan tahun lalu. Sumbangan budaya Jawa terhadap budaya Melayu adalah munculnya tradisi pewayangan dan teks-teks wayang di dalam budaya Melayu. Seiring munculnya tradisi wayang, kata-kata Jawa ikut masuk ke dalam budaya Melayu.

Salah satu lingkungan budaya Melayu yang banyak menyerap tradisi Jawa ialah masyarakat Melayu-Betawi. Bagi peneliti teks-teks Melayu yang tidak menguasai bahasa Jawa, munculnya kata-kata Jawa tersebut dapat menjadi masalah yang serius di dalam memaknai teks tersebut.

Tulisan ini berusaha mendeskripsikan etimologi dan medan makna kata-kata bahasa Jawa yang diserap di dalam teks-teks hikayat wayang Melayu. Hal ini dirasa penting diungkapkan karena kata-kata dari bahasa Jawa tersebut hadir dalam rangkaian sistem bahasa yang memiliki makna tertentu. Kata-kata serapan dari bahasa Jawa dapat dibagi ke dalam kelompok-kelompok (taksonomi) kata yang memiliki medan makna tertentu.

Masuknya Cerita Wayang ke dalam Tradisi Melayu
Budaya Melayu tampaknya banyak mengambil cerita-cerita wayang dari Jawa dan proses pengambilan tersebut berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama. Data-data menunjukkan bahwa proses tersebut sudah berlangsung sejak masa Jawa Kuna. Kemungkinan di masa lalu cerita-cerita yang bersumber dari Jawa, khususnya cerita wayang, dianggap mempunyai kedudukan yang tinggi dan menjadi kebanggaan. Karena itu, bukanlah suatu kebetulan kalau di dalam Hikayat Andaken Penurat (Robson, 1969: 21) di awal-awal dijelaskan oleh pengarangnya bahwa hikayat tersebut merupakan "ceritera Djawa, dipindahkan kepada bahasa Melaju jang indah-indah karangannya, dipatut oleh dalang yang 'arif lagi bidjaksana jang amat masjhur di tanah Jawa".

Kutipan di atas dengan jelas menunjukkan adanya penghargaan terhadap cerita-cerita dari Jawa. Sumber cerita tersebut adalah 'dalang' yang menunjukkan bahwa sumber cerita tersebut berkaitan dengan pertunjukan wayang karena sebagaimana lazim dikenal dalang adalah tukang cerita Jawa, khususnya yang menyampaikan cerita-cerita wayang.

Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa di masa lalu memang ada kegiatan untuk memindahkan cerita-ceita Jawa ke dalam bahasa Melayu yang merupakan tahap pertama masuknya cerita wayang ke dalam khasanah budaya Melayu.

Masuknya cerita wayang ke dalam budaya Melayu tentu secara bertahap dan tahap pertama diperkirakan berupa pengalihan dari bahasa Jawa Kuna ke bahasa Melayu. Pada tahap ini teks-teks dipindahkan dari bahasa Jawa ke dalam bahasa Melayu dengan inti cerita relatif sama dengan sumber aslinya, bahkan sebagian masih tampak jelas adanya jejak-jejak sumber bahasa Jawa Kuna sementara di dalam bahasa Jawa Baru tidak ditemukan lagi seperti dalam hal jalan cerita, nama-nama, dan kata-kata. Misalnya nama Darmawangsa untuk Darmakesuma dan Pancakumara untuk Pancawala hanya dapat dijumpai dalam teks bahasa Jawa Kuna sementara dalam bahasa Jawa Baru tidak ditemukan lagi (Ikram, 1975: 14). Contoh yang lebih jelas untuk teks jenis ini adalah teks Hikayat Sang Boma yang menurut penyelidikan Teeuw paling tidak sebagian besar dari Hikayat Sang Boma diambil dari Kakawin Bhomakawya dari bahasa Jawa Kuna (Teeuw dalam Fang, 1975: 65). Hikayat Perang Pandawa Jaya dan Hikayat Darmawangsa merupakan saduran bebas dari Kakawin Bharata Yudha sementara Hikayat Pandawa Lima dan Hikayat Panca Kelima sebagian bersumber dari Kakawin Gatotkacasraya dan Kakawin Arjuna Wiwaha (Fang, 1975: 58; Hussain, 1964:viii, Sudibyo, 1986: 137).

Tradisi pementasan wayang juga masuk ke dalam budaya Melayu. Dalam kebudayaan Melayu, khususnya di Semenanjung Malaka, dikenal adanya tiga jenis wayang, yakni wayang Melayu, wayang Jawa, dan wayang Siam. Wayang Melayu dan wayang Jawa hanya mempunyai sedikit perbedaan, yaitu pada bentuk tangan. Wayang Melayu hanya mempunyai satu tangan yang dapat digerakkan sedang wayang Jawa mempunyai dua tangan yang dapat digerakkan. Keduanya tampak merupakan adaptasi dari wayang yang ada di Pulau Jawa. Wayang Melayu dan wayang Jawa membawakan cerita Pandawa dan Panji (Sweeney, 1980: 41). Wayang Siam adalah wayang yang disertai tari-tarian yang membawakan cerita Ramayana versi Thailand (Brandon, 1967: 56-57).

Di dalam masyarakat Melayu Betawi juga dikenal wayang kulit yang dipentaskan dengan menggunakan bahasa Melayu-Betawi. Wayang ini tampak berasal dari wayang purwa. Yang dimaksud wayang purwa ialah wayang kulit di Jawa yang mengambil cerita Ramayana dan Mahabharata yang sudah mengalami proses jawanisasi. Wayang kulit Betawi ini merupakan jenis wayang purwa yang mengalami perkembangan yang berbeda dengan wayang yang ada di tempat asalnya. Wayang Betawi tidak mengenal alur pertunjukkan seperti wayang purwa. Mereka menggunakan pakem yang diperoleh dari guru mereka sendiri. Mereka dapat memulai pertunjukan langsung dengan suluk; kadang-kadang adegan gara-gara muncul di awal pertunjukkan. (Haryanto, 1995: 116).

Pertunjukan wayang kulit di dalam tradisi Melayu Betawi menjadi sumber inspirasi cerita-cerita wayang yang ditulis dalam bentuk hikayat yang muncul di dalam tradisi Melayu-Betawi. Proses transformasi dari pertunjukan wayang ke dalam bentuk hikayat tentu merupakan peristiwa yang menarik untuk dikaji. Diperkirakan bahwa penulis hikayat mengambil cerita untuk dituliskan setelah beberapa melihat (penggabungan) dari berbagai cerita yang telah dilihatnya. Hal itu misalnya tampak dalam keterangan Muhammad Baqir dalam Hikayat Pandu. Hikayat Pandu dikenal pula dengan nama Hikayat Asal Mulanya Wayang. Hikayat ini adalah hikayat yang menceritakan asal-usul Pandu Dewanata menurut versi pertunjukan wayang ia lalu melakukan
kompilasi Melayu. Hikayat ini terdapat di Perpustakaan Nasional, Jakarta dengan nomor inventaris Ml. 241 (Sunardjo dan Hani'ah, 1996). Di dalam Hikayat Pandu disebutkan beberapa istilah yang terdapat di dalam dunia pewayangan seperti kidung, suluk, dan jejer sebagai berikut.

"Maka kiyai dalang pun mengidunglah dengan beberapa kidungan yang baik-baik suluknya karena hendak dijejerkan dengan yang lain cerita yang diambil daripadah kiyai dalang yang masyhur di Kampung Jagal Pasar Senen, dibuat oleh kiyai penyurat bujang pengarang di Pacenongan Encik Muhammad Baqir yang duduk dengan bercintahan dengan mabuk berdendam sambil menjalankan hujung kalamnya di atas kertas yang amat puti..." (Hikayat Pandu, Ml. 241: 207).

Keterangan di atas dapat dipahami dalam konteks pertunjukan wayang yang di dalamnya sang dalang mendendangkan suluk (nyanyian) yang merupakan sesuatu yang khas di dalam pergantian adegan dalam pertunjukan wayang. Sumber cerita tersebut dengan jelas disebutkan berasal dari seorang dalang dari Kampung Jagal Pasar Senin". Hal ini merupakan bukti bahwa hikayat-hikayat yang berisi cerita wayang sebagian inspirasinya diambil dari pertunjukan wayang kulit.

Frasa "hendak dijejerkan dengan yang lain cerita" memberikan informasi bahwa pengarang mengambil cerita tidak hanya dari satu dalang, melainkan dari beberapa dalang dan itu diolahnya dalam karangannya sehingga hasil karangan tersebut merupakan kompilasi dari berbagai sumber sebagai telah dinyatakan di atas.

Hal tersebut diperkuat lagi dengan pernyataan dalam Hikayat Gelaran Pandu Turunan Pandawa (Ml. 253) menyebutkan bahwa lelakon wayang tersebut ditulis oleh pengarang, sedangkan ceritanya diambil dari seorang dalang sebagai empunya cerita. Unsur pementasan wayang tampak dengan dipilihnya kata jejer ketika pengarang mendeskripsikan keadaan suatu negeri. Hal tersebut sebagaimana tampak dalam kutipan berikut.

"Alkisah maka dibuat oleh seorang pengarang suatu ceritera lelakon wayang, yang diambil daripada seorang dalang empunya cerita perkhabaran adanya.

Adapun sebuah negeri dijejerkan oleh dalang, namanya negeri Widara Kandang, terlalu ama besyar dan ramainya negeri itu. Maka adalah seorang rajanya yang duduk di dalam negeri itu namanya Maharaja Basukawiti, terlalu amat gagah dan saktinya, banyak raja-raja takluk padanya" (Djamaris dkk., 1981: 475).

Indikasi bahwa hikayat cerita wayang merupakan bentuk transformasi cerita pertunjukan wayang ke dalam tradisi penulisan hikayat juga kelihatan dari gaya penceritaan yang memunculkan gambaran sebuah pementasan wayang. Di samping disebutkannya unsur dalang, disebutkan pula unsur pementasan wayang, khususnya belencong sebagai kutipan berikut.

"Syahdan tersebutlah perkhabaran seorang batara yang kuasa matahari, maka batara itu Batara Surya. Maka pada ketika malam itu, ia sedang berjalan bersama-sama matahari belencong di bawa tujuh lapis bumi" (Djamaris dkk., 1981: 480).

Kutipan di atas dengan jelas menstransformasikan pertunjukan wayang ke dalam bentuk hikayat dan mengalihkan belencong sebagai sumber penerangan pementasan menjadi matahari.

Suatu yang hampir mirip juga ditemukan di dalam Hikayat Sempurna Jaya (Ahmad, 1981). Di dalam Hikayat Sempurna Jaya ditemukan suatu gambaran pementasan wayang yang dijadikan sarana penceritaan hikayat untuk menciptakan lelucon sebagaimana kutipan berikut.

"Maka Sang Hyang Tunggal pun terlalu amat amarahnya lalu meniuplah pada matahari telencong yang pada hampir keler wayang itu. Maka matilah nyelencong pelita keler itu. Maka menjadi gelap gelitalah tiada kelihatan jadi seperti malam rupanya, kelam dan gelap tiada sebiji manusia" (Ahmad, 1981: 130).

Di dalam kutipan di atas terlihat bahwa Sang Hyang Tunggal mematikan belencong. Benda ini umum diketahui sebagai sarana penerangan dalam pentas wayang yang digantung di depan kelir. Jadi, dunia wayang sebagai gambaran dunia sesungguhnya dan belencong sebagai ibarat matahari. Namun, peristiwa ini merupakan suatu penyimpangan konvensi karena dalam pertunjukan wayang, tokoh wayang ataupun dalang jarang yang mematikan alat penerang ketika pertunjukan berlangsung sehingga peristiwa ini dapat dianggap sebagai suatu distorsi untuk menciptakan lelucon yang dilakukan oleh penulis hikayat.

Sementara orang berpendapat bahwa wayang Betawi ini berasal dari wayang kulit Mataram pada waktu penyerbuan Sultan Agung ke Jakarta pada tahun 1628-1629 (Ismunandar, 1994: 106). Namun, pendapat ini agaknya memerlukan klarifikasi karena jauh sebelum masa Sultan Agung, wayang sudah menyebar ke Jawa bersama proses islamisasi yang dilakukan Wali Sanga dan para muridnya dari kerajaan Demak. Hal ini berlangsung terus setelah kerajaan Demak surut karena kerajaan Cirebon kemudian juga melakukan islamisasi melalui wayang.

Medan Makna Kata-kata yang Berhubungan dengan Kekerabatan
Akibat masuknya wayang dari Jawa, teks-teks Melayu banyak menggunakan kata-kata dari bahasa Jawa. Beberapa contoh kata-kata dari bahasa Jawa yang terdapat dalam Hikayat Agung Sakti dapat dilihat di lampiran.

Adanya kata-kata dari bahasa Jawa tersebut seringkali menyulitkan peneliti yang tidak mengenal bahasa Jawa secara utuh. Hal tersebut kelihatan dalam memahami konteks kata bahasa Jawa yang berakibat kesalahan dalam mengartikan dan memahaminya. Hal tersebut terlihat dalam suntingan-suntingan teks-teks wayang seperti kesalahan pemisahan kata, kesalahan penulisan, sampai pada kesalahan memaknai.

Salah satu kelompok kata yang sering dimunculkan ialah kata-kata panggilan khas bahasa Jawa yang berhubungan dengan sistem kekerabatan. Orang Jawa memiliki sebutan tertentu untuk memanggil anggota keluarga dan familinya. Pemanggilan tersebut didasarkan pada hubunga ego dengan kerabatnya. Sebagai misal, dalam bahasa Jawa dikenal kakang-adhi (kakak adik), uwa-paman. Untuk kakak dibedakan antara laki-laki dan perempuan (yakni kakang dan mbakyu) sementara untuk adik tidak dibedakan jenis kelaminnya.

Sebutan tersebut tidak selalu digunakan untuk orang-orang yang memiliki hubungan kerabat, melainkan digunakan kepada orang-orang yang memiliki hubungan umur atau kedudukan. Hal tersebut dalam teks wayang, misalnya tampak pada hubungan antara Batara Guru dan Narada. Batara Guru karena berusia lebih muda memanggil Narada sebagai kakang sedang Narada memanggil Batara Guru sebagai adhi/ di, meskipun keduanya tidak memiliki hubungan kekerabatan secara langsung (Hikayat Agung Sakti, Ml. 260).

Konsep Asal-usul
Di dalam budaya Jawa, asal-usul merupakan hal yang penting. Asal-usul seorang tokoh merupakan salah satu jaminan akan kebaikan tokoh tersebut. Biasanya tokoh yang masih keturunan bangsawan dianggap memiliki keunggulan. Konsep ini masuk ke dalam teks wayang Melayu dengan adanya istilah tedak kusuma. Hal ini terdapat dalam teks Lakon Jaka Sukara (Kramadibrata, 1982: 53).

Secara etimologis, istilah tedak kusuma berasal dari istilah dari bahasa Jawa. Kalimat lengkapnya berupa ungkapan yang berbunyi "trahing kusuma, rembesing madu, tedhaking tapa, turuning andana warih". Konsep ini merupakan konsep untuk menunjukkan pada kemuliaan seorang satria yang diibaratkan sebagai "keturunan bunga yang mengeluarkan madu, yang bersifat bagai pertapa, dan suka berderma air". Dengan demikian, teks Melayu hanya mengambil sebagian dari konsep tersebut sebagai pemanis ekspresi.

Medan Makna Pertunjukan Wayang
Wayang merupakan jenis pertunjukan yang memiliki istilah-istilah teknis yang khas. Wayang dewasa ini memiliki berbagai jenis yang berbeda-beda. Jenis wayang yang paling banyak memiliki pengaruh dan penyebaran yang luas adalah pertunjukan wayang kulit. Jenis wayang ini tersebar di wilayah-wilayah berbudaya (Kalimantan).

Istilah-istilah teknis pertunjukan wayang seringkali muncul di dalam teks-teks Melayu. Hal ini menunjukkan bahwa teks-teks tersebut memang memiliki interaksi dengan pertunjukan wayang. Beberapa istilah teknis dari medan makna pertunjukan wayang yang seringkali muncul dalam teks-teks cerita wayang adalah sebagai berikut.

a. Dalang
Dalang adalah aktor penting suatu pertunjukan wayang. Dialah yang menjalankan boneka wayang, melakukan percakapan, mengatur musik, dan sebagainya. Ia sekaligus menjadi pengarang dari pertunjukan yang dilakukan. Karena itu, setiap dalang akan memiliki kreasi cerita sendiri-sendiri.

Di dalam tradisi Melayu, dalang ini sejajar dengan empunya cerita atau empunya hikayat. Namun, istilah dalang tidak pernah digunakan pada teks-teks di luar teks cerita wayang karena istilah dalang memang memiliki makna khusus, yakni dalam medan makna pertunjukan wayang saja. Dalang dalam teks wayang sering disebut sebagai empunya cerita sementara penulis hikayat disebut sebagai empunyai hikayat atau pengarang. Jadi, dalang adalah sumber inspirasi ditulisnya suatu hikayat. Kadang-kadang dalang yang menjadi sumber inspirasi tersebut berasal dari beberapa dalang.

b. Peralatan Pertunjukan Wayang
Beberapa teks wayang menyebutkan adanya beberapa peralatan pertunjukan wayang seperti blencong, kelir, boneka wayang, dan alat musik. Hal tersebut misalnya tampak pada Hikayat Sempurna Jaya (Ahmad, 1981: 135) sebagai berikut ini.

Maka Sang Hyang Tunggal pun menangkaplah, serta katanya, "Masuklah kamu ke dalam kurunganmu pada hari inilah, tiada dapat lagi kamu lari, jikalau kamu bantahkan pada aku belencong pelita aku matikan dan gong, keromong, gendang aku suruh berhenti supaya jangan berbunyi dan keler kain putih aku gulungnya dan panjak-panjak aku suruh pulang dan wayang-wayang aku masukkan ke dalam peti".

Uraian di atas menunjukkan bahwa pertunjukan tersebut adalah jenis pertunjukan wayang kulit. Di dalam pertunjukan wayang kulit ada beberapa ciri khas dalam medan makna pertunjukan wayang. Ciri khas pertama adalah boneka wayang. Istilah wayang memiliki makna sebagai pertunjukan, namun dapat pula bermakna sebagai boneka wayang itu sendiri.

Alat-alat pertunjukan wayang membentuk medan makna tersendiri. Secara etimologis penyebutannya di Jawa, namun medan maknanya menunjukkan kekhasan lokal.

Alat lainnya ialah pelita khusus dengan api yang disebut blencong. Blencong ini dipasang di atas kepala dalang sehingga ketika pertunjukan berlangsung sinarnya akan meliuk-liuk yang dapat menimbulkan efek bayangan.

Di samping blencong, alat pertunjukan lainnya berupa kelir yang berupa bentangan kain putih tembus pandang sehingga boneka wayang dapat menunjukkan bayangannya pada sisi lain di depan dalang.

Alat musik wayang di Jawa dikenal ada dua jenis, yaitu pelog dan slendro. Hal ini tidak dikenal di Melayu. Masyarakat Melayu Betawi mengganti alat musik ini dengan gambang kromong yang merupakan alat musik khas Melayu Betawi, meskipun dalam beberapa hal alat-alatnya ada persamaan, namun dalam hal keluaran bunyi menunjukkan kekhasan.

c. Istilah-istilah dalam Pertunjukan Wayang
Di dalam pertunjukan wayang dikenal istilah-istilah khusus. Istilah yang pertama adalah istilah lelakon. Istilah ini bermakna sebagai suatu peristiwa yang dijalani. Dalam istilah wayang, lakon bermakna sebagai peristiwa yang dijalani tokoh tertentu. Secara etimologis istilah ini berasal dari kata laku+an. Kadang lakon juga bermakna dengan judul cerita.

Jejer bermakna sebagai adegan penghadapan. Di dalam adegan jejer ini, tokoh-tokoh dimunculkan bersama-sama di dalam balai penghadapan. Di dalam teks wayang Melayu, istilah jejer ini memiliki makna menceritakan.

Suluk dalam pertunjukan wayang dapat diartikan sebagai lagu-lagu khas dan klise yang diucapkan dalang di sela-sela adegan. Hal ini berbeda dengan kidung yang merupakan lagu-lagu (tembang) setengah mantra yang biasanya dibacakan pada pertunjukan wayang untuk ruwatan. Di dalam teks wayang Melayu, antara kidung dan suluk tidak dibedakan dengan tegas.

Di dalam teks wayang Melayu dikenal adanya panjak. Di Jawa, panjak biasanya tidak mengiringi pertunjukan wayang. Pengiring dalang adalah sindhen yang berupa penyanyi-penyanyi wanita. Dewasa ini panjak dikenal pada pertunjukan kentrung. Panjak ini dapat wanita, namun dapat pula pria. Pada tradisi masa lalu, panjak pada umumnya seorang pria.

Kemungkinan panjak dalam tradisi wayang Melayu ini merupakan pria-pria yang mengiringi dalang dengan memberi tambahan nyanyian. Mungkin juga istilah panjak ini merupakan kontaminasi dari tradisi kentrung yang juga merupakan tradisi bercerita khas di Jawa.

Medan Makna Raja dan Bawahan
Raja merupakan tokoh tertinggi di kerajaan. Orang kedua setelah raja di masyarakat Jawa adalah patih. Masyarakat Melayu tidak mengenal patih. Karena itu, istilah patih jarang digunakan di dalam teks wayang Melayu. Istilah ini dapat ditemukan dalam Hikayat Agung Sakti sebagai pati. Pengertian istilah ini menimbulkan kerancuan dan istilah Patih Narada adalah istilah yang tidak tepat karena Batara Guru dikenal tidak memiliki patih. Istilah pati juga dapat bermakna sebagai pemimpin. Dengan demikian, istilah patih di dalam wayang Melayu digunakan secara tidak tepat dan tidak digunakan secara efektif. Istilah lain di sekitar raja adalah temenggung, lurah dan demang. Istilah-istilah tersebut tidak jelas benar makna hierarkisnya.

Medan Makna Hal-hal Berkaitan dengan Peperangan
Beberapa kata-kata erat kaitannya dengan peperangan atau alat-alat untuk perang. Alat-alat untuk peperangan berupa senjata tradisionil seperti keris, tombak, dan sebagainya. Dalam teks Melayu, senjata-senjata tersebut dilapis dengan pamor yang dikenal dengan besi kuning yang merupakan campuran antara tembaga dan emas. Hal ini berbeda dengan konsep pamor dalam tradisi Jawa yang dibuat dari logam-logam meteorit.

Peperangan dalam teks wayang adalah model perang tanding. Perang ini dilakukan di dalam tempat khusus yang dikenal dengan nama blabar kawat (arena berkawat). Kadang-kadang deskripsi perang juga dilakukan dengan berkelompok. Pada umumnya perang berkelompok ini digambarkan secara hiperbolis dengan jumlah prajurit yang sangat banyak. Beberapa teks menunjukkan model-model ikat perang yang diadopsi dari model-model ikat perang dari India.

Medan Makna Hal-hal Berkaitan dengan Tokoh-tokoh Spiritual
Di dalam teks-teks wayang Melayu terdapat kata-kata yang berhubungan dengan kedudukan spiritual. Kata-kata tersebut berasal dari bahasa Sanskerta, namun memiliki makna tersendiri. Kata-kata tersebut ialah pertapa, pandita, dan maharsi.

Hikayat Agung Sakti memberikan indikasi tentang makna tokoh-tokoh spiritual tersebut. Pertapa adalah orang yang sedang menjalani tapa dengan cara duduk di suatu tempat untuk memperoleh ilmu dan kesaktian. Secara fisik tokoh ini digambarkan berjenggot tua, dan diliputi akar-akar karena lama tapanya. Pertapa ini dalam teks wayang Melayu sering disebut juga sebagai wong atapa (orang yang bertapa). Pandita adalah tokoh spiritual yang sudah matang ilmunya serta mengamalkan ilmunya di masyarakat. Maharsi adalah seorang tokoh spiritual yang sakti atau memiliki kekuatan luar biasa. Secara fisik, tokoh ini digambarkan dengan kucir dan surban.

Kontaminasi
Di dalam teks wayang Melayu ditemukan kata yang seringkali muncul. Kata tersebut adalah istilah "jogan istana". Istilah ini sepintas tampak berasal dari bahasa Jawa yang bermakna "lantai istana". Namun, kata jogan yang di dalam bahasa Jawa bermakna lantai rumah ternyata memiliki makna yang lain di dalam bahasa Melayu. Dalam bahasa Melayu, jogan memiliki makna sebagai "tombak kebesaran raja" (Alwi, 2001: 476). Dengan demikian, istilah "jogan istana" mengalami kontaminasi makna antara bahasa Melayu dan Jawa.

Ungkapan-ungkapan Bahasa Jawa yang Diambil Langsung
Teks wayang Melayu kadang-kadang secara langsung mengambil ungkapan-ungkapan dari bahasa Jawa. Pengambilan tersebut dapat dibagi, yaitu (1) diambil langsung dan (2) diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Beberapa contoh pengambilan tersebut adalah sebagai berikut.
a. Contoh Pengambilan Langsung
b. Contoh Pengambilan Langsung/ Disesuaikan

Fungsi Penggunaan Kata-kata Bahasa Jawa di Dalam Teks Wayang Melayu Dipakainya kata-kata bahasa Jawa di dalam teks wayang Melayu bukanlah tanpa alasan. Beberapa hal yang menjadi alasan masuknya kata-kata bahasa Jawa tersebut adalah sebagai berikut.

1. Memberi nuansa Jawa karena cerita diambil dari bahasa Jawa;
2. Kata-kata memiliki makna khusus sehingga sukar diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu.
3. Kata-kata khas dalam dunia pewayangan sehingga makin menunjukkan ciri khas cerita wayang.
4. Tidak ditemukan padanan dalam bahasa Melayu.
5. Merupakan kebanggaan para penulis naskah Melayu bahwa mereka dapat menggunakan bahasa Jawa sehingga menambah harga diri mereka di hadapan para pembacanya.
6. Merupakan tradisi pada masa itu bahwa untuk cerita-cerita wayang harus disisipi kata-kata bahasa Jawa.

Simpulan
Demikian sekelumit kajian tentang kata-kata dari bahasa Jawa di dalam teks wayang Melayu. Kajian ini masih sangat sederhana dan perlu dikembangkan lebih Linguistika Jawa Tahun ke 2, No. 2, Agustus 2006 luas. Hanya saja perlu ditekankan di sini bahwa penelitian tentang teks wayang Melayu memerlukan pemahaman tentang etimologi dan medan makna kata-kata berbahasa Jawa karena banyaknya kata-kata berbahasa Jawa yang diserap di dalam teks Melayu. Hal ini memerlukan kajian interdisiplin, khususnya bidang studi sastra, filologi, dan linguistik.

Daftar Pustaka
Ahmad, Jamilah Haji. 1981. Hikayat Sempurna Jaya. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajaran Malaysia.
Alwi, Hasan dkk. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi Ketiga. Jakarta: Balai Pustaka.
Brandon, James R. 1967. Theatre in Southeast Asia. Cambridge, Massachusetts: Harvard University Press.
Djamaris, Edwar dkk. 1981. "Penelitian Naskah Sastra Indonesia Lama Empat Judul Cerita". Jakarta: Proyek Penelitian Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Fang, Liaw Yock. 1975. Sejarah Kesusastraan Melayu Klassik. Singapura: Pustaka Nasional.
Haryanto, S. 1995. Bayang-bayang Adiluhung. Filsafat, Simbolis dan Mistik dalam wayang. Semarang: Dahara Prize.
Hikayat Agung Sakti, Ml.260 (Naskah di Perpustakaan Nasional, Jakarta)
Hikayat Pandu, Ml.241 (Naskah di Perpustakaan Nasional, Jakarta)
Hikayat Gelaran Pandu Turunan Arjuna, Ml.253 (Naskah di Perpustakaan Nasional, Jakarta)
Hikayat Purasara Ml.178 (Naskah di Perpustakaan Nasional, Jakarta)
Hikayat Sang Boma Ml.215 (Naskah di Perpustakaan Nasional, Jakarta)
Hikayat Sri Rama Ml.209 215 (Naskah di Perpustakaan Nasional, Jakarta)
Hikayat Wayang Arjuna Ml.244 (Naskah di Perpustakaan Nasional, Jakarta)
Hussain, Khalid. 1964. Hikayat Pandawa Lima. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementerian Pelajaran.
Ikram, A. 1975. "Memperkenalkan Naskah-naskah Wayang dalam Bahasa Melayu" dalam Bahasa dan Sastra. Tahun I No: 2.
Ismunandar. 1994. Wayang: Asal-usul dan Jenisnya. Semarang: Dahara Prize.
Kramadibrata, Dewaki. 1982. Lakon Jaka Sukara. Jakarta: Proyek Penerbitan Buku Sastra Indonesia dan Daerah.
Robson, S.O. 1969. Hikajat Andaken Penurat. The Hague: Martinus Nijhoff.
Sudibyo. 1986. "Hikayat Darmawangsa: Suntingan Naskah dan Sebuah Tinjauan Reseptif". Skripsi. Yogyakarta: Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada.
Sunardjo, Nikmah dan Hani'ah. 1996. Hikayat Pandu. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta.
Sunardjo, Nikmah dkk. 1991. Hikayat Wayang Arjuna dan Purusara. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Sunardjo, Nikmah. 1989. Hikayat Maharaja Garebag Jagat. Jakarta: Balai Pustaka.
Sweeney, Amin. 1980. Author and Audiences in Traditional Malay Literature. Berkeley: University of California.

-

Arsip Blog

Recent Posts