Nasi Goreng: Gambaran Kebudayaan Indonesia Tunggal

“ Geef mij maar nasi goreng, met en gebaken ei. Met sambal en met krupuk, met en goed glaas beer erbij.“

“Beri aku sepiring nasi goreng, dengan satu telur goreng. Pakai sambal dan kerupuk, dan segelas bir yang enak”. Penggalan lagu ini merupakan bentuk apresiasi yang bercerita tentang salah satu jenis makanan yang dianggap merepresentasikan Indonesia, yaitu: nasi goreng.

Nasi goreng merupakan makanan yang sudah tidak asing di telinga masyarakat Indonesia. Warga asing yang menetap di Indonesia pun, mengenal nasi goreng sebagai salah satu makanan khas selain misalnya; gado-gado. Sebagian besar restoran khususnya di Jakarta, memasukkan nasi goreng di dalam daftar menu, dibawah headline “Makanan Indonesia”. Dari beberapa informasi di situs internet, didapati bahwa nasi goreng juga menjadi salah satu menu makanan di restoran Indonesia yang berada di luar negeri. Nasi goreng memiliki relasi yang dekat dengan keseharian masyarakat karena banyak dijajakan di sekitar tempat tinggal dan dinikmati oleh hampir seluruh lapisan masyarakat. Hal ini berangkat dari sistem budaya agraris Indonesia yang tidak bisa memisahkan pola budaya makan dengan konsumsi nasi. Nasi goreng secara tidak langsung disepakati sebagai makanan yang kental keindonesiaannya, dan diintrepretasikan oleh tiap kelompok etnis di Indonesia dengan “resep” yang berbeda-beda.

Varian nasi goreng sangat beragam di Indonesia, mulai dari nasi goreng kambing yang diadaptasi dari Timur Tengah, nasi goreng yeung chouw[1] dari Cina, nasi goreng Makasar, nasi goreng Padang, nasi goreng Jawa, nasi goreng kampung dan masih banyak lagi. Keragaman menu yang ada menunjukkan bahwa setiap kultur atau etnis di Indonesia berusaha mengartikulasikan budaya masing-masing ke dalam makanan sebagai artefak budaya. Rasa dan bentuk visual nasi goreng merupakan media yang menterjemahkan identitas etnis, yang berangkat dari hasrat tiap kultur untuk merepresentasikan perbedaan identitas budaya mereka dengan yang lain.[2]

Berangkat dari pemikiran makanan sebagai media terjemahan identitas budaya etnis tertentu, nasi goreng secara konsensus disepakati sebagai makanan “tradisional Indonesia”. Dengan kata lain, nasi goreng dianggap sebagai bentuk yang merepresentasikan identitas Indonesia. Pada kenyataannya, identitas kultural nasi goreng itu sendiri merupakan hasil adaptasi dan hybriditas berbagai kultur dan tradisi yang dapat disejajarkan dengan konsep Indonesia sebagai negara.

Indonesia, dalam konteks tataran negara mengambil bentuk sebagai satu nation, satu “kesatuan” bangsa. Istilah kesatuan dapat diartikan sebagai himpunan antara suku-suku bangsa di Indonesia yang disatukan oleh acuan sejarah, nilai-nilai dasar dan persamaan kepentingan, yang bergabung menjadi satu di bawah bendera Indonesia. Penggabungan beragam etnis, tradisi dan budaya seharusnya dapat memberikan gambaran mengenai Indonesia sebagai negara yang multikultural. Adaptasi berbagai kultur di Indonesia bersifat multi-dimensional, mencakup dan mempengaruhi berbagai aspek kehidupan bangsa seperti pola keseharian, nilai, cara pandang (ideologi), kesenian, busana, bahasa, makanan dan sebagainya.

Dalam pembahasan media representasi identitas, nasi goreng kambing, yeung chow, nasi goreng kampung, nasi goreng Padang dan berbagai variasi lain diposisikan sebagai representasi identitas Indonesia yang tunggal, dan bukan identitas etnis terkait. Kontradiksi ini muncul dari konsep penggabungan multikultural di Indonesia, dimana “kebudayaan suku bangsa” yang merupakan representasi budaya dan identitas etnis dianggap sebagai “kebudayaan nasional”. Restoran, nasi goreng sebagai salah satu variabel di dalamnya, juga merupakan media aplikasi “kebudayaan suku bangsa” yang diposisikan sebagai “kebudayaan nasional”. Tampilan visual sebagian besar restoran tradisional Indonesia, mengambil bentuk dan elemen arsitektur, nama, dan menu yang diadaptasi dari kebudayaan suku bangsa tertentu. Restoran “tradisional khas Indonesia”, sebagian besar menampilkan bangunan rumah kampung Jawa Tengah, dengan pendopo, pintu gebyok,[3] pernak-pernik seperti patung loro blonyo[4], lukisan kaca dari Jepara, dan penataan interior yang di dominasi oleh kayu dan warna-warna tanah. Elemen-elemen ini sesungguhnya merupakan representasi tradisi dan kebudayaan suku bangsa Jawa Tengah, yang kemudian di konstruksi oleh pemilik dengan dukungan institusi ekonomi, untuk konsumsi publik agar di terima, dan di lihat sebagai salah satu bentuk tradisi dan budaya nasional Indonesia.

Contoh aplikasi di atas merupakan bentuk-bentuk usaha legitimasi terhadap pandangan bahwa Indonesia memiliki tradisi dan kebudayaan yang tunggal. Pada kenyataannya, kebudayaan nasional Indonesia merupakan gabungan dari berbagai kultur dan sub-kultur. Konsepsi akan kebudayaan Indonesia tunggal ini, menjadi common sense atau pemikiran dasar yang diterima dan dianggap benar oleh masyarakat. Menurut Gramsci[5], common sense dapat terbentuk melalui pengaruh dari kebudayaan dan tradisi itu sendiri (folklore, film, sastra, media). Dari intelektual tradisional (sejarawan, ilmuwan, penulis, seniman), dan institusi (pendidikan, agama, ekonomi). Ketiga faktor diatas memiliki kontribusi dalam tumbuhnya nilai-nilai dominan yang membentuk “nilai keindonesiaan”. “Nilai keindonesiaan” tersebut membentuk pemahaman bahwa nasi goreng Makasar adalah nasi goreng Indonesia, restoran Jawa tengah adalah restoran tradisional khas Indonesia, dan nilai tradisi budaya suku bangsa adalah nilai nasional Indonesia.[6] Pemahaman bahwa nasi goreng, terlepas dari fungsi sebagai representasi kebudayaan dan identitas etnis tertentu dan dianggap sebagai kebudayaan nasional Indonesia, menjadi fakta yang diterima dan dianggap benar oleh masyarakat Indonesia sendiri[7] dan oleh masyarakat luar. Hal ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa menu nasi goreng terdapat di bawah headline “makanan Indonesia” di hampir seluruh restoran baik di Indonesia maupun di luar negeri.

Pembenaran dan penerimaan (consent) publik terhadap pemahaman masyarakat luar negeri bahwa nasi goreng adalah makanan yang merepresentasikan Indonesia, mendeskripsikan hegemoni[8] yang terjadi. Gramsci (1929 membuat analisa berdasarkan teori Marx yang mengatakan bahwa kesadaran yang di infiltrasi oleh kapitalisme, tidak hanya melalui koersi ekonomi dan politik, Teori Gramsci mengatakan bahwa kelompok subordinat menerima pemikiran, nilai dan kepemimpinan kelompok dominan bukan semata-mata karena pemaksaan fisik, mental ataupun doktrinasi ideologi, namun karena kelompok subordinat memiliki alasan dan kepentingan tersendiri.[9] Kekuasaan hegemonik ini terjadi pada saat pemahaman masyarakat asing akan nilai-nilai dominan (konsepsi kebudayaan Indonesia tunggal), kemudian di terima kembali sebagai kebenaran oleh masyarakat Indonesia. Dengan demikian, pencitraan bangsa Indonesia yang terbentuk disesuaikan dengan nilai dominan bangsa asing yang dianggap sebagai representasi budaya Indonesia yang bersifat tunggal.

Hegemoni nasi goreng sebagai gambaran identitas Indonesia yang bersifat tunggal, mendapat “perlawanan” dari dalam negeri. Counter hegemony yang terjadi dapat di lihat dari produk mie instant Indomie, yang pada kenyataannya juga merupakan produk hasil adaptasi dan hybriditas berbagai kultur dan tradisi, yang berusaha menampilkan berbagai jenis pilihan rasa. Variasi pilihan seperti indomie rasa soto, kari ayam, ayam bawang, ayam jamur, soto koya, sate ayam dan sebagainya merupakan usaha penggambaran berbagai varian identitas budaya suku bangsa yang terdapat di Indonesia. Berbagai jenis identitas suku bangsa yang ditampilkan, seolah ingin mematahkan pemahaman kebudayaan nasional Indonesia yang bersifat tunggal, dan menampilkan keberagaman budaya Indonesia tersebut.

Identifikasi konflik yang terjadi dalam hegemoni kebudayaan ini adalah tipisnya garis perbedaan antara bentuk, posisi dan nilai “kebudayaan suku bangsa” dengan “ kebudayaan nasional Indonesia”. Keduanya saling terkait dan tidak bisa dipisahkan, namun tidak memiliki perbedaan bentuk yang signifikan. Hal ini dapat berdampak pada keterbatasan ruang gerak dalam menganalisa dinamika “kebudayaan suku bangsa” dan “kebudayaan nasional Indonesia” karena kurang ada perbedaan yang jelas diantara keduanya.

Daftar Acuan
Sutrisno, Mudji dan Putranto, Hendar. Teori-teori Kebudayaan, Penerbit Kanisius, Jakarta, Indonesia, 2005.

Sedyawati, Edi, Keindonesiaan dalam Budaya. Penerbit: Wedatama Widya Sastra, Jakarta, Indonesia, 2008.
Rosengarten, Frank. “An Introduction to Gramsci’s Life and Thought” http://www.marxists.org/archive/gramsci/intro.htm, (October 18, 2008), 16:25pm.

Negoro, Suryo S. “Traditional Javanese Wedding Ceremony” http://home.wanadoo.nl/javas/Cultuur/Joglosemar Wedding/WeddingCeremony.htm, (October
22, 2008), 24:11 pm.

Stillo, Monica.”Antonio Gramsci’s Concept of hegemony” http://www.theory.org.uk/ctr-gram.htm, (October 20, 2008), 19:12 pm.

-

Arsip Blog

Recent Posts