Papua - Teluk Cenderawasih yang berada di antara tanah besar Papua, Pulau Biak, dan Serui setiap saat menjadi tempat bermain fauna raksasa laut yang mengagumkan. Pulau Mioswaar, satu di antara puluhan pulau kecil di kawasan itu pun, menyimpan misteri berupa puluhan tengkorak dan rangka manusia yang teronggok dalam goa. Belum lagi wisata selam wreck pesawat Perang Dunia II di bawah laut yang seolah menunjukkan misteri yang belum banyak terungkap.
Pukul 05.30, awal November 2007, perairan di sekitar pantai dermaga perikanan Manokwari di Papua Barat belum memunculkan buih-buih ombak putih. Kapal cepat Napoleon yang ditumpangi tim LSM Internasional WWF pun melaju tenang menyusuri selatan lekuk tanah besar Papua.
Semilir angin beraroma garam dengan panorama Pegunungan Arfak seakan membius perjalanan yang baru beralih 20 menit. Tiba-tiba lamunan dipudarkan oleh penampakan belasan paus pilot (pilot-whales) yang memberi penyambutan awal bagi dimulainya perjalanan panjang kami.
Permukaan tubuh mamalia laut ini tampak licin kecoklatan. Panjang tubuh yang berkisar tiga meter asyik meliuk-liuk di permukaan laut. Seolah-olah, mereka tak mengkhawatirkan keberadaan manusia yang hanya 10 meter darinya.
Taman Nasional dengan 1,3 juta hektar kawasan laut ini menjadi tempat hidup nyaman bagi makhluk dilindungi ini dan mamalia laut lumba-lumba. Mereka dengan tenang tinggal di kawasan itu karena tak ada pemburu paus dan lumba-lumba. Lagi pula, perairan Cenderawasih masih menyediakan makanan berlimpah bagi mereka.
Pukul 09.30, kami telah memasuki kawasan Teluk Cenderawasih. Singgah sesaat di Kampung Isenebuai, Pulau Rumberpon, Kabupaten Teluk Wondama, perjalanan dilanjutkan ke Kepulauan Purup yang terdiri dari pulau-pulau kecil yang jalinannya membentuk telaga air asin dengan terumbu karang di sekitarnya yang masih sangat baik.
Pada malam hari, di dekat Kampung Yomber, tim bergabung dengan KM Teluk Cenderawasih milik WWF yang biasa berpatroli di kawasan. Kapal kayu pemberian Kerajaan Inggris ini menjadi tempat kami menginap dan mempersiapkan perjalanan ataupun memancing tenggiri dan kakap yang jadi kegiatan pengisi waktu tiap malam.
Pada hari kedua, kami mencoba menyimak keberadaan mamalia paling pemalu, Dugong dugong alias ikan duyung di dekat Yomber. Sayangnya, kami belum beruntung karena yang terlihat hanya bekas jejak makan rumput lamun yang ditinggalkan biota sapi laut ini.
Untunglah, kekecewaan itu terobati oleh pemandangan belasan ikan napoleon berukuran 1,5 meter. Biota bernilai ekonomis hingga jutaan rupiah per ekor ini bergerombol menikmati rerimbunan padang lamun.
Tengkorak manusia
Masih di Pulau Mioswaar, kapal cepat melaju ke arah selatan guna melihat tengkorak leluhur yang tersimpan di dalam goa. Setelah dua jam perjalanan, kami tiba di kampung persinggahan Bror yang menjadi tempat istirahat nelayan saat melaut. Kampung ini hanya dihuni tiga keluarga asal Yomber.
Goa penyimpanan tengkorak leluhur ini ditempuh 30 menit melintasi hutan perbukitan. Puluhan tengkorak berada di atas bukit batu terjal yang diimpit dua tebing yang membentuk goa.
Menurut Timotius Wandau (40), leluhur setempat ratusan tahun lalu memiliki adat pemakaman dengan cara meletakkan mayat di atas batu itu. Telah puluhan tahun kebiasaan itu ditinggalkan dan kini orang mati dimakamkan di tanah.
”Wreck” terumbu
Pada hari ketiga, kami mencoba menyusuri jejak bangkai pesawat yang tenggelam saat Perang Dunia II di Selat Numamurang, wilayah Distrik Teluk Umar, Nabire Provinsi Papua.
Pada kedalaman sekitar 20 meter, dalam remang-remang nuansa biru laut di kedalaman, tampak pesawat ini teronggok di antara karang-karang masif.
Sayap kiri pesawat patah dan seluruh bagian tubuh telah menjadi tempat hidup karang lunak, ascidia, sponge, dan anemon. Tutupan terumbu di permukaan pesawat ini otomatis mengundang aneka jenis ikan karang. Udang-udang anemon berukuran tiga sentimeter berwarna biru transparan yang asyik melompat-lompat mendekati lensa kamera yang membidiknya.
Di dekat wreck itu terdapat kima raksasa (Tridacna gigas) berukuran 1,8 meter. Fauna bivalve atau sejenis kerang ini biasa disebut masyarakat setempat dengan bia garu.
Cangkang bia garu ini tak lagi dapat ditutup karena telah menempel pada substrat sekitarnya. Ketika melintas di atasnya, kima merespons dengan merapatkan ”bibir”, meletupkan embusan air yang cukup kencang ke tubuh penyelam.
Hiu bodoh
Pesona Teluk Cenderawasih masih berlanjut dengan keberadaan sekawanan hiu paus (whale-shark atau Rhincodon sp) yang tiap hari menyambangi perahu bagan milik nelayan Nabire di perairan Kwatisore. Hiu berukuran hingga 10 meter ini tidak seperti hiu pada film Jaws yang kerap memangsa manusia.
Biota ini sangat jinak dan gemar menyantap ikan-ikan kecil yang dibuang dari perahu bagan. Di bagan milik Khadir yang kami singgahi, sedikitnya terdapat empat hiu paus yang dua di antaranya berukuran sangat besar dan jarang muncul di permukaan.
Hiu bertotol putih ini tampak sangat senang saat diajak bermain berenang-renang bersama manusia. Masyarakat setempat menjulukinya hiu bodoh karena sifatnya yang sangat jinak.
Di berbagai daerah, Thailan dan Galapagos, pesona hiu paus menjadi daya tarik wisata bawah laut andalan. Sensasi menyelam maupun snorkeling bersama hiu menjadi kenangan yang tak terlupakan.
Di Teluk Cenderawasih, potensi-potensi wisata alam belum tergarap dengan baik. Wisatawan masih kesulitan mendapatkan sarana-prasarana pendukung untuk mengunjungi wilayah ini.
Sumber: www.kompas.com (11 April 08)