Kompleks Sengayau Penuh Goa Karst

Sungai Manau, Merangin, Jambi - Meskipun medan yang harus ditempuh untuk mencapai puluhan goa karst di kompleks Sengayau relatif cukup sulit, namun tidak berat bagi yang biasa mendaki. Puncak-puncak bukit itu dapat dicapai dengan pendakian rata-rata satu jam lamanya. Namun, hal yang perlu dikhawatirkan, berhati-hatilah dengan pacet yang dengan cepat menyambar kaki.

Ketika menelusuri kompleks karst Sengayau, Desa Sungai Pinang, Kecamatan Sungai Manau, Kabupaten Merangin, Provinsi Jambi, akhir Desember lalu, terlihat wajah goa-goa di kompleks Sengayau tidak jauh berbeda dengan goa karst di daerah lain. Goa yang ada memiliki ornamen yang tercipta sebagai hasil aktivitas air purba. Masyarakat di daerah tersebut masih melestarikan tradisi adat.

Hotobri (32), warga setempat, membawa kami masuk ke Goa Masjid, salah satu goa di kompleks Sengayau, yang menurutnya tidak terlalu sulit dijelajahi dan memiliki jenis batuan yang beragam. Goa Masjid memiliki setidaknya lima mulut atau pintu masuk. Sebagian pintu mesti dilalui dengan jalur vertikal yang membutuhkan single rope technique (SRT) untuk dapat mencapai pijakan.

Karena tidak memiliki kelengkapan tali, Tobri, demikian pria ini akrab dipanggil, memilih jalur menuruni bebatuan labil sehingga kami harus melipir dengan hati-hati untuk mencapai pijakan baru di kedalaman sekitar 20 meter dari mulut goa.

Hamparan pijakan dekat mulut goa itu dipenuhi lumut dan tumbuhan pakis karena sinar matahari masih dapat menembus. Namun, berjalan ke dalam sedikit saja, gelap gulita mulai menyelimuti sepanjang perjalanan kalau saja kami tidak membawa senter dan lampu minyak.

Dalam perjalanan itu kami dapat menikmati rangkaian bebatuan stalaktit (batangan batu kapur yang meruncing ke bawah dari langit-langit goa), stalakmit (susunan batu kapur berbentuk kerucut berdiri tegak di lantai goa), pilar-pilar (stalaktit dan stalakmit yang menyatu), serta draperies (salah satu ornamen dari keluarga flowstone yang bentuknya berlipit-lipit).

Cukup banyak rongga besar yang beberapa di antaranya saling terhubung atau bercabang dalam Goa Masjid. Hari itu kami menemukan lima ruang yang luasnya hampir setengah lapangan futsal, dengan ketinggian 30-40 meter.

Menurut Tobri, salah satu alasan goa ini disebut masjid, karena ruang-ruang besarnya menyerupai masjid. Salah satu ornamen di sana juga ada yang mirip dengan posisi orang sedang shalat.

Dari Goa Masjid, perjalanan dapat dilanjutkan ke Goa Ujung, Goa Hasan, Goa Lapangan, dan Goa Batang, tanpa harus keluar goa. Goa-goa ini rupanya saling terhubung dan masing-masing memiliki percabangan sendiri. Pada salah satu sudut di Goa Masjid, apabila didaki setinggi 15 meter dari pijakan dasar goa itu, kita akan menemukan rongga besar lainnya yang juga bercabang.

Kondisi ini sangat memungkinkan, mengingat goa-goa karst ribuan tahun yang lalu merupakan jaringan air yang berongga-rongga mirip terowongan. Batu kapur tersusun atas mineral yang bersifat reaktan terhadap larutan asam, terkikis, lalu terbentuklah bebatuan yang ada di dalam Goa Masjid sekarang. Dalam goa ini juga masih mengalir sungai bawah tanah, tetapi berdebit kecil.

Bagi yang baru pertama kali datang, penelusuran akan cukup membingungkan sehingga ada baiknya mengajak penduduk setempat yang sudah sering memasukinya.

”Kalau tidak dibantu guide dari warga sini, orang bakal cepat kesasar karena ruang-ruang dalam goa ini cukup banyak,” tutur Tobri.

Eksploitasi
Dari segi pariwisata dan ilmu pengetahuan, kompleks Goa Sengayau berpotensi dikembangkan. Sejauh ini baru kelompok pencinta alam lokal yang memanfaatkan goa itu sebagai ajang berlatih SRT.

Selebihnya, goa-goa ini hanya menjadi korban vandalisme dan eksploitasi sarang guano, misalnya Goa Masjid. Coretan-coretan tangan memenuhi hampir sepanjang dinding dekat mulut goa. Anak-anak muda yang menunggui sarang guano, untuk dipanen setiap dua bulan sekali, terkadang menginap di dalam goa. Pada saat itulah muncul keisengan untuk merusak kealamian goa.

Pengambilan sarang burung walet di langit-langit goa sudah menjadi pekerjaan masyarakat setempat dan berlangsung turun-temurun. Dulu, dari seluruh goa di kompleks Sengayau, masyarakat bisa mendapatkan satu ton sarang burung walet setiap kali panen dalam rentang enam bulan. Sarang walet dijual ke Padang dan hasilnya dinikmati bersama oleh masyarakat desa.

Akan tetapi, menurut Camat Sungai Manau Syahrial Ilias, stok sarang walet menipis dalam dua tahun terakhir ini. ”Sekarang hasil panen paling-paling 10-15 kg per goa setiap dua bulan,” tuturnya.

Pemandangan goa tidak menarik lagi akibat eksploitasi guano. Kami menemui bekas bakaran kayu dalam goa serta serakan sampah. ”Goa ini habis dipanen sarang waletnya. Ini bekas penunggu yang menginap berhari-hari di dalam goa,” ujar salah seorang teman.

Dari segi ekonomi, pendapatan mengeksploitasi sarang walet dalam goa tidak besar. Meski harga jual cukup tinggi, Rp 2,5 juta per kg, penghasilan setiap warga yang turut mengelola maksimal Rp 1 juta per satu kali panen (dua bulan). Ini disebabkan desa masih harus menyetor Rp 20 juta per tahun ke pemkab untuk PAD.

Dinas Pariwisata Kabupaten Merangin sejak beberapa tahun terakhir ini menyosialisasikan goa-goa di kompleks Sengayau sebagai tujuan wisata, lewat brosur-brosur.

Untuk mencapai kompleks Sengayau, pengunjung dari Jambi masih harus berkendara enam jam hingga mencapai Kecamatan Sungai Manau. Setelah itu, kendaraan roda dua umumnya dipakai menelusuri perbukitan hingga kompleks goa. Jalan aspal sepanjang empat kilometer ke arah kompleks goa baru satu bulan lalu selesai dibangun meski setelah itu kita masih harus melewati jalan tanah dan berbatu hampir sepanjang delapan kilometer. ”Sebenarnya kami ingin serius mengembangkan wisata goa di sini, tapi selalu terbentur masalah dana,” tutur Syahrial.

Dengan perjalanan yang menghabiskan tenaga dan waktu khusus, wisata goa-goa karst Sengayau semestinya tidak setengah-setengah disuguhkan bagi kalangan minat khusus ini supaya mereka jangan pulang dalam ketidakpuasan. (Irma Tambunan)

Sumber: www.kompas.com (19 Maret 2008)

Related Posts:

-