Oleh menthokz
Sambil menyelam minum air….. yang penting nggak “megap-megap dan kelelep”, …… prinsip itu yang saya lakukan, yakni ngantarkan anak-anak mengisi hari liburannya sambil menggali lebih dalam beberapa kajian menarik yang dapat digunakan untuk menambahkan materi di e-book nusantara (proyek hibah strategis…….hehehehe). Saat berkesempatan jalan-jalan mengunjungi Kraton Jogjakarta (walaupun sudah sering banget kesanana), kebetulan kami ditemani seorang “guide” yang juga menjadi mahasiswa di salah satu PT di Jogja, saya sempat berdiskusi dengan beliau tentang bagaimana peran kraton saat akulturasi kebudayaan di wilayah Jogjakarta.
Hasil penelitian sejarawan Nusantara (HJ. Benda, 1972), mengungkapkan bahwa sejak abad ke-13 Masehi, konsep Islam (bukan dalam konteks “keagamaan” tetapi lebih pada konteks nilai-nilai perdagangan dan hubungan kemanusiaan/pergaulan masyarakat) telah mulai berpengaruh dan menjadi pedoman nilai-nilai kehidupan masyarakat pada beberapa kota pelabuhan di kerajaan-kerajaan kecil wilayah ujung utara pulau Sumatera (Aceh). Menurut catatan sejarah baru semenjak abad 15 dan 16 Masehi, Islam menjadi satu kekuatan kebudayaan yang menonjol di wilayah Nusantara. Hal yang menarik dari perkembangan kebudayaan Islam di Nusantara ini adalah bermunculannya hasil karya para kaum sufi dalam berbagai karya sastra, yang mendorong timbulnya karya sastra ke Islam-an yang dipenuhi dengan warna “sufistik” dan “tasawuf”.
Salah satu pujangga yang tercatat menghasilkan syair sastra Melayu yang bernafaskan Islam pada akhir abad ke- 16 Masehi adalah Hamzah Fansuhri, yang dikenal sebagai ulama sufi, yang beraliran Melayu Islam. Kondisi ini menggambarkan proses akulturasi yang luar biasa antara kebudayaan lokal Nusantara yang sarat dengan nilai-nilai Hindu-Budha di berbagai kerajaan Nusantara dengan budaya Islam yang dibawa oleh para saudagar. Persentuhan dan perkawinan dua kebudayaan dan tradisi ini juga terjadi di pulau Jawa. Di pulau Jawa, Islam banyak mengalami pribumisasi sebagai wujud perkawinan kultural yang biasa dialami oleh dua entitas yang masing-masing saling membutuhkan dukungan untuk meneguhkan eksistensinya. Perkawinan Islam dan tradisi lokal di Jawa banyak di dimulai dan dikembangkan oleh kraton sebagai pusat kebudayaan masyarakat Jawa.
Salah satu keraton yang paling menonjol perannya dalam melakukan Islamisasi kebudayaan Jawa atau Jawanisasi Islam adalah keraton Jogjakarta yang keberadaannya secara historis-politis mulai ada setelah ditandatangani Perjanjian Giyanti (Giyanti agreemant) pada zaman Belanda, yang mengungkapkan pembagian daerah Mataram menjadi dua kawasan pemerintahan, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Jogjakarta. Kraton diartikan sebagai tempat bersemayamnya para ratu dan raja, yang diterjemahkan sebagai istana dengan sekumpulan konsep kebudayaan, filsafat, nilai-nilai kemasyarakatan dan keagamaan yang berkembang sesuai dengan kebijakan politis dan konsepsi yang dianut atau dilestarikan oleh pimpinan/rajanya.
Sampai saat ini, kraton Jogjakarta mempunyai peranan yang sangat penting sebagai faktor menentu dalam dinamika kehidupan masyarakat Jogjakarta. Kraton Jogjakarta menjadi salah satu sistem simbol identitas masyarakat Jawa pada umumnya dan masyarakat Jogjakarta pada khususnya, yang meliputi: metode aktualisasi diri dan representasi masyarakat, penerapan nilai-nilai kebudayaan, pemaknaan dan penghayatan hidup, cara pandang hidup, dan nuansa kehidupan batin. Sehingga keseimbangan dan hubungan yang berkembang antara Kraton Jogjakarta dan masyarakat di wilayah DIY adalah merupakan sistem politik dan kehidupan di Jawa yang menggunakan dan mengembangkan perpaduan antara Islam dan budaya Jawa.
Kraton Jogjakarta, sebagaimana kerajaan-kerajaan di Jawa dan di kawasan Timur pada umumnya, menganut konsep keselarasan dalam berbagai bidang yang saling berpengaruh terhadap masyarakatnya, yaitu bidang politik, ekonomi, sosial dan agama. Implementasi akulturasi dan keselarasan kebudayaan Islam dan Jawa (terutama Jogjakarta) di dalam wilayah kraton Jogjakarta, itu diwujudkan dengan pemberian gelar yang secara tradisional selalu dipakai oleh raja-raja Jogjakarta, yaitu “Senopati ing Alogo Abdurrahman Sayyidin Panotogomo Khalifatullah”. Konsepsi dan penjabaran gelar tersebut adalah sultan yang berperan sebagai pemimpin yang diakui dan sah berkuasa di Kraton Jogjakarta, bertugas untuk menentukan perdamaian dan peperangan, karena kedudukan dan perannya sebagai panglima perang tertinggi sekaligus sebagai pemuka dan pelindung agama Islam, yang dicerminkan dengan posisinya sebagai khalifatulah, yakni penerus Nabi Muhammad SAW.
Benang merah kondisi dan situasi yang terekam di kraton tersebut menunjukkan bahwa kraton Jogjakarta berperan sebagai media dan fasilitator dalam pencapaian “persinggungan” kehidupan kebudayaan masyarakat lokal dan kebudayaan Islam. Perpaduan dan akulturasi ini dalam perkembangannya akan menghasilkan suatu sosok budaya yang mencerminkan kehidupan religius dalam kehidupan masyarakat Jawa. (terutama Jogjakarta dan sekitarnya). Implementasi dan akulturasi serta titik singgung antara kebudayaan Jawa dan kebudayaan Islam yang juga telah banyak dilakukan oleh kraton Jogjakarta sebagai center of excelance dan center of knowledge bagi munculnya kebudayaan Islam - Jawa yang lebih bersifat filosofis dan sufistik adalah adanya upaya kraton untuk selalu concern terhadap wacana moralitas Islam dan mengagungkan (ngugemi) ajaran agama Islam. Beberapa karya sastra yang memiliki makna sufistik dan filosofis yang sampai sekarang masih tersimpan dan tersusun rapi adalah kitab serat-serat, seperti: Serat Suryo Rojo, Serat Menak Malebari, Serat Puji I, Serat Puji II Warna Warni, dan sebagainya. Karya-karya intelektual klasik itu menjadi warisan budaya yang sangat berguna untuk mengungkap religiusitas dalam tradisi keraton Jogjakarta khususnya dan masyarakat Jawa saat itu umumnya.