Sarimin dan Wayang Listrik

Teater Wayang Listrik pimpinan seniman I Made Sidia asal Pulau Dewata Bali tampil sebagai pembuka festival di Graha Bhakti Budaya Taman Ismail Marzuki pada awal November 2007. Dengan garapan apik Made menampilkan empat dalang sekaligus dengan menggunakan dua bahasa, Inggris dan Indonesia. Gambar-gambar proyektor menggunakan elemen pertunjukan modern yang berbeda dengan menampilkan visual dan digital yang indah dan menarik.

Made menampilkan simbolisasi tema “Perjalanan Tualen.” Dia mengawali dengan adegan perasaan khawatir atas kondisi lingkungan khususnya hutan yang semakin rusak akibat ulah manusia. Secara tiba-tiba keceriaan para penguni hutan seperti harimau, buaya, jerapah dan sebagainya yang asyik bermain sirna. Mereka menjadi takut ketika mesin-mesin dan manusia menebangi dan menjarah hutan tanpa kenal ampun. Hal ini mengekspresikan kegelisahannya melihat tabiat manusia di masa kini ternyata belum beranjak dari primata.

Kemudian, Tualen melanjutkan perjalanannya ke kota. Disinilah akhirnya petualangan Tualen yang dalam pewayangan Bali dikenal sebagai tokoh punakawan dimulai. Tualen mendampingi putra mahkota kerajaaan Ayodya bernama Rama untuk mencari istrinya Sinta yang diculik Raja Alengka, Rahwana. Cerita yang berdasarkan pada epik Ramayana ini banyak mengandung pelajaran mengenai keserakahan dan kesombongan.

Wayang ini ditampilkan secara modern berbalut harmonisasi gamelan, keyboard, gitar, dan drum, tidak lazim seperti penampilan wayang tradisional pada umumnya.

Sementara, Monolog Sarimin ala Butet Kartaredjasa menampilkan lakon dan sekaligus pelajaran yang sangat berarti mengenai ketidakberdayaan wong cilik, dengan sebuah rangkaian pentas Art Summit tanggal 14-18 November 2007 di Graha Bakti Budaya Taman Ismail Marzuki.

Sarimin, pria tua berusia 54 tahun, berprofesi sebagai tukang topeng monyet keliling. Suatu ketika dia menemukan kartu tanda penduduk (KTP). Dia tidak tahu apa yang tertera dalam KTP itu karena dia buta huruf, akhirnya ia memutuskan untuk menyerahkannya pada Polisi.

Apa hendak dikata. Sarimin yang berniat baik menyerahkan KTP, ternyata malah dituduh mencuri dan hendak melakukan pemerasan. Sebab KTP tersebut ternyata milik seorang hakim agung. Sang polisi dengan lantangnya berkata, “Kamu bisa dikenai Pasal 322 dan Pasal 368, mengenai pencurian dan pemerasan.”

Dengan sekuat tenaga Sarimin menolak mati-matian tuduhan tersebut. Tapi semuanya sia-sia belaka. Dia tetap dijerumuskan dalam penjara. Sarimin hanya bisa pasrah tanpa bisa berbuat apa-apa. Binsar, seorang pengacara yang membelanya malah menyarankannya untuk mengaku bersalah.

Butet Kartaredjasa menampilkan monolog Sarimin secara cermat, cerdas dan pas. Dia secara berganti-ganti menjadi Sarimin yang tidakberdaya, polisi yang arogan dan pengacara Binsar yang mencari pembenaran untuk dirinya sendiri.

Pagelaran selama hampir dua jam itu membuat penonton menikmati banyolan dan celetukan-celetukan khas Raja Monolog Butet. Musik garapan Djaduk Ferianto yang dikemas secara apik dan indah turut serta menghidupkan suasana pementasan yang berlangsung 14-18 November 2007 itu. Skenarionya khusus ditulis Agus Noor, yang lahir dari hasil sebuah diskusi panjang bersama praktisi hukum, Pradjoto SH.

Pertunjukan yang dipersiapkan selama dua bulan ini terhitung sukses. Bahkan pementasannya diperpanjang. Sedianya pementasannya hanya berlangsung tanggal 13-14 November. Namun akhirnya berlanjut sampai 18 November. Sarimin juga manggung di Yogyakarta pada 26-27 November di Purna Budaya, Bulaksumur.

Festival seni kontemporer Art Summit Indonesia 2007 (ASI) ini menampilkan berbagai karya seniman dari berbagai negara, tak kurang 29 pertunjukan seni kontemporer baik bidang tari, teater, maupun musik. Diikuti oleh 11 negara baik dari Asia dan Eropa. ASI berlangsung sepanjang 1-30 November dengan menampilkan pertunjukan di tiga tempat berbeda, Gedung Kesenian Jakarta, Taman Ismail Marzuki, dan Goethe Institut. ZAH (BI 51)

-

Arsip Blog

Recent Posts