Oleh : HR. M. Agoes Soeryanto
Sejarah di Dana Dompu (NTB, Indonesia) mencatat, ketika Syekh Nurdin seorang ulama terkemuka keturunan Arab Magribi menginjakkan kakinya di Bumi Dompu sekitar 1528 untuk menyebarkan Islam sambil berdagang, saat itu Dompu di bawah Pemerintahan Raja Bumi Luma Na‘e yang bergelar Dewa Mawa‘a Taho (kala itu Dompu belum mengenal Islam/masih menganut ajaran Hindu) sebab saat itu Kerajaan Dompu masih di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit (Raja Hayam Wuruk) dengan Mahapatih Sang Gajah Mada Amurwa Bumi.
Kehadiran syekh Nurdin di Kerajaan Dompu tampaknya mendapat simpatik dari rakyat Dompu terutama Raja Dompu saat itu. Bahkan lambat laun ajaran Islam yang dibawa oleh Syekh Nurdin dengan cepat dapat diterima oleh rakyat Kerajaan Dompu termasuk dari kalangan Istana (bangsawan).
Konon cerita, salah seorang putri dari keluarga Kerajaan Dompu tertarik terhadap ajaran Islam yang dibawa oleh Syekh Nurdin. Sang Putripun akhirnya belajar dan memeluk Islam di hadapan syekh Nurdin. Bukan itu saja, sang putri Raja itupun akhirnya menaruh hati dan menikah dengan Sang Ulama.
Putri Raja yang tidak diketahui nama aslinya itupun akhirnya mengganti namanya setelah menikah dengan Syekh Nurdin dengan Islam yakni ST. Hadijah. Dari pernikahan dengan Syekh Nurdin tersebut ia dikaruniai 3 orang anak, 2 putra dan 1 putri. Masing-masing bernama Syekh Abdul Salam, Syekh Abdullah dan Joharmani.
Pada saat Syekh Nurdin dan keluarganya berangkat ibadah haji ke tanah suci Makkah untuk memperdalam ilmu agama Islam, Syekh Nurdin dan salah seorang putranya yakni Syekh Abdullah, tidak kembali ke Dompu karena meninggal di Makkah . Hanya Syekh Abdul Salam dan ibundanya ST. Hadijah serta adik perempuannya, Joharmani, yang kembali ke Dompu. Isteri Syekh Nurdin dan kedua anaknya yang sudah menyandang gelar Haji akhirnya pulang ke Dompu dengan membawa oleh-oleh berupa kitab suci Al Qur‘an sebanyak 7 buah (di Dompu dikenal dengan istilah Karo‘a Pidu). Konon ketujuh buah kitab suci Al Qur‘an yang dibawa dari Makkah oleh keluarga Syekh Nurdin tersebut saat ini masih tersimpan dengan baik di asi mpasa (istana lama) uma siwe (rumah perempuan), Hj. ST Hadijah (isteri Almarhum Sultan Muhammad Tajul Arifin Siradjuddindin, Sultan Dompu terakhir).
Islam menjadi agama resmi Kerajaan Dompu ketika putra pertama Raja Dompu yakni La Bata Na‘e naik tahta menggantikan Ayahandanya. Untuk memperdalam agama Islam, La Bata Na‘e pergi meninggalkan Dompu untuk menimba Ilmu di Kerajaan Bima, Kerajaan Gowa Makassar bahkan sampai ke tanah Jawa. Setelah menguasai berbagai macam ilmu agama Islam, La Bata Na‘e akhirnya kembali ke Kerajaan Dompu untuk meneruskan memimpin pemerintahan warisan ayahandanya, Raja Dompu, Bumi Luwu Na‘e. Pada tahun 1545, La Bata Na‘e resmi naik tahta. La Bata Na‘e selanjutnya mengubah sistim pemerintahaan di Dompu dari Kerajaan menjadi Kesultanan dan bergelar Sultan Syamsuddin.
La Bata Na‘e atau Sultan Syamsuddin merupakan sultan Dompu pertama sekaligus salah satu sultan Dompu yang pertama kali memeluk Islam. Selanjutnya agama Islam saat itu resmi menjadi agama di wilayah Kesultanan Dompu.
Untuk mendampinginya dalam memerintah di Kesultanan Dompu, Sultan Syamsuddin akhirnya menikah dengan Joharmani saudara kandung Syekh Abdul Salam pada tahun 1545. Syeh Abdul Salam diangkat oleh Sultan Syamsuddin sebagai Ulama di Istana Kesultanan Dompu. Makam Syekh Abdul Salam terletak di Kampung Raba Laju Kelurahan Potu, kecamatan Dompu. Makam keramat tersebut saat ini oleh pemerintah telah dijadikan salah satu situs purbakala. Bahkan untuk mengenang nama Syekh Abdul Salam, di dekat makam Syekh Abdul Salam terdapat pemakaman umum yang dinamakan oleh warga Dompu Rade Sala (Kuburan Abdul Salam).
Sekitar tahun 1585, datanglah beberapa saudagar/pedagang sekaligus ulama Islam yakni Syekh Hasanuddin dari Sumatera, Syekh Abdullah dari Makassar dan Syekh Umar Al Bantani dari Madiun Jawa Timur. Selanjutnya mereka menetap di Dompu untuk membawa Syi‘ar Islam.
Kedatangan 3 Ulama dari negeri seberang tersebut rupanya mendapat simpatik yang baik dari sultan Dompu dan masyarakat di wilayah kesultanan Dompu. Untuk membuktikan rasa simpatik dan hormatnya terhadap ketiga orang ulama tersebut, Syekh Hasanuddin akhirnya mendapat kehormatan dari Sultan Syamsuddin untuk menduduki salah satu jabatan sebagai qadi (jabatan setingkat menteri agama di kesultanan) bergelar Waru Kali. Kemudian Syekh Umar Al Bantani dan Syekh Abdulah dipercaya Sultan Syamsuddin sebagai Imam Masjid di Kesultanan Dompu. Syekh Hasanuddin wafat dan dimakamkan di Kandai I. Oleh masyarakat Dompu lokasi atau komplek pemakaman tersebut kini dikenal dengan sebutan Makam Waru Kali. Pada masa pemerintahaan Bupati Dompu H.Abubakar Ahmad, SH (2000-2005) Waru Kali ditetapkan sebagai salah satu situs purbakala yang bernilai sejarah tinggi. Hal ini dilakukan berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh tim arkeologi dan purbakala pimpinan Dr. Haris Sukandar dan Dra. Ayu Kusumawati. Tim menyimpulkan bahwa lokasi Waru kali merupakan peninggalan bersejarah tinggi di Dompu ribuan tahun lalu. Situs Waru Kali berdekatan dengan komplek situs Doro Bata di Kelurahan Kandai I Kecamatan Dompu. Menurut cerita di Dana Dompu, Syekh Umar Al Bantani dan Syekh Abdullah membangun sebuah tempat ibadah (masjid/mushola) yang berukuran sekitar 4 x 4 meter, tepatnya di dekat perkampungan yang diberi nama Karijawa. Masjid tersebut konon merupakan satu-satunya Masjid Kesultanan Dompu. Menurut riwayat, bekas tempat bangunan Masjid yang dibangun oleh dua orang ulama terkenal itu kini tempatnya sudah berubah fungsi menjadi komplek kantor Kelurahan Karijawa. Sedangkan Masjid Agung Baiturahman Dompu, dahulu merupakan lokasi Istana Kesultanan Dompu.
Sumber : dompudalnet.blog.com