Sijunjung, Sumbar - Perkampungan adat Nagari Sijunjung Koto Padang Ranah Dan Tanah Bato merupakan sebuah kawasan yang eksotis. Kawasan ini merupakan salah satu wujud untuk melihat sistem Matrilineal di Minangkabau dengan prosesi adat dan budaya yang masih sangat kental dengan kelestarian yang masih terjaga dengan baik ditengah pergulatan transformasi informasi dan teknologi yang semakin deras. Disamping sebagai tempat hunian warga, Rumah gadang dengan arsitektur bangunan yang masih asli dan dibuat pada abad 14 Masehi dikawasan perkampungan adat Koto Padang Ranah Dan Tanah Bato ini juga berfungsi sebagai tempat prosesi adat budaya masyarakat Nagari Sijunjung.
Sedikitnya terdapat 251 Kepala keluarga dengan total 705 warga dari berbagai suku seperti Suku Caniago sembilan sapuluah jo Patopang, Piliang, Panai, Malayu, Melayu Tak Timbago dan Tobo yang bermukim di perkampungan adat Nagari Sijunjung Koto Padang Ranah Dan Tanah Bato ini hidup berdampingan dengan rukun. Mereka dengan konsisten mempertahankan kearifan lokal peninggalan nenek moyang. Inilah yang membuat kawasan ini merupakan sebuah kawasan yang menjadi refleksi kehidupan masyarakat Nagari Sijunjung dalam bidang sosial kemasyarakatan, Ekonomi, Seni dan Budaya yang kemudian diwujudkan kedalam bentuk aktivitas rutin seperti batagak Gala, Nikah kawin, Basiriah Tando, mambantai adat, Batobo Kongsi, Marancah, Bakua Adat.
Bertitik tolak dari keunggulan dan keunikan yang dimiliki Perkampungan adat Nagari Sijunjung Koto Padang Ranah Dan Tanah Bato, Pemerintah Daerah Kabupaten Sijunjung bersama dengan Pemerintah Provinsi Sumbar melalui Kemendikbud mengusulkan di tahun 2014 ini, kawasan tersebut diusulkan ke UNESCO agar dapat dijadikan warisan dunia. Sebab, banyak keunggulan yang dimiliki Perkampungan adat Nagari Sijunjung Koto Padang Ranah Dan Tanah Bato, antara lain Landscape bangunan yang mana rumah gadang dengan total jumlah sebanyak 76 buah dibangun berdampingan baik disisi kiri maupun kanan ruas jalan, sosial kemasyarakatan yang selalu mengedepankan kehidupan yang rukun dan harmonis dalam semangat persatuan dan kesatuan yang dibuktikan dengan rumah gadang yang dibangun dengan tidak mengelompokkan menurut suku, sebagai pusat aktivitas dan adat budaya.
"Kita masih mengupayakan perkampungan Adat Nagari Sijunjung ini sebagai World Heritage dengan representasi budaya matrilineal yang belum ada padanan atau bandingan, baik di Indonesia maupun dunia. Untuk ketetapan, melalui keputusan Bupati Sijunjung nomor:188.45/ /KPTS-BPT-2014, perkampungan ini sudah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya,"sebut, Aprizal, Kadis Parsenibudpora, Kabupaten Sijunjung, Kamis (24/4).
Disamping memiliki rumah gadang dengan arsitektur yang khas dan beragam tradisi budaya, ada satu kebiasaan masyarakat di perkampungan itu yang hingga kini masih dilestarikan, kebiasaan itu disebut dengan istilah Batobo Kongsi atau semacam arisan giliran. Namun tradisi batobo kongsi bukanlah merupakan arisan giliran berupa uang atau barang, melainkan arisan menggarap lahan perkebunan milik warga atau kelompok. Terdapat 25 kelompok yang terdiri dari 20 hingga 60 orang untuk tiap kelompoknya, masing-masing kelompok akan menggarap lahan milik warga atau kelompok lainnya sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan bersama, begitupun sebaliknya. Jika ada warga atau kelompok yang berhalangan menggarap lahan, maka akan membayar sejumlah uang sebagai gantinya sesuai besaran iuran yang telah ditetapkan bersama, "Yang jelas tradisi ini merupakan hal yang luar biasa, tak ada perbedaan suku, yang ada hanya bentuk kerjasama, gotong royong dan saling membantu satu satu sama lainnya," tambah Aprizal.
Walau sudah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya, bahkan sudah diupayakan sebagai warisan Dunia ke UNESCO, namun tetap tidak merubah bentuk struktur bangunan dan kearifan lokal yang ada. Hal ini sudah disepakati secara bersama dengan melibatkan semua unsur terkait, pemerintah dan pemangku adat serta ninik mamak Nagari Sijunjung. Sebanyak 35 ninik mamak, secara sepakat menandatangani nota kesepakatan bersama tentang penetapan kawasan ini sebagai cagar budaya pada 28 September tahun lalu, dengan isi kesepakatan antara lain, tidak ada penambahan bangunan permanen serta merubah bentuk dan fungsi rumah gadang dilokasi perkampungan adat tersebut, melestarikan nilai adat dan budaya lama dalam kehidupan bermasyarakat dan bernagari sebagai wujud perkampungan tradisi matrilineal Minangkabau, berpartisipasi dalam memelihara, mengelola dan mengembangkan kawasan tersebut sebagai kawasan wisata unggulan Kabupaten Sijunjung sesuai dengan keasliannya, menyepakati berpakaian tradisional selama berada dalam kawasan perkampungan adat.
Dengan konsentrasi rumah gadang terbanyak, berderetan serta tata kelola lingkungan yang baik di perkampungan ini sudah sepantasnya dijadikan sebagai salah satu warisan dunia, usia bangunan ratusan tahun yang tertata rapi serta pola jarak antara bangunan dan perkarangan (halaman rumah-red) serta tata guna tanah dan air yang diatur berdasarkan musyawarah seluruh suku yang ada juga membuat keseimbangan ekologis kawasan ini tetap terjaga dengan baik.
Jika wisatawan lokal maupun asing hendak berkunjung ke lokasi ini, sebaiknya memilih waktu menjelang bulan puasa, pasalnya di bulan itu akan ada prosesi bantai adat, belasan hingga puluhan ekor kerbau akan dibantai sebagai bentuk rasa kebersamaan dan rasa syukur menyambut bulan suci Ramadhan. Tak hanya itu saja, di awal musim tanam padi disawah, pengunjung juga dapat menyaksikan prosesi Baombai, dimana kaum ibu-ibu akan beramai-ramai turun kesawah, membajak sawah dengan cangkul, diiringi dengan nyanyian, pantun serta musik talempong dan saluang.
Yang jelas, dengan banyaknya tradisi yang masih kental serta bangunan rumah gadang yang masih kokoh walau sudah berusia ratusan tahun di perkampungan adat Nagari Sijunjung Koto Padang Ranah Dan Tanah Bato ini, maka sudah seharusnya baik kondisi dan kearifan lokal tetap harus dilestarikan dan dipertahankan, sudah merupakan tanggung jawab bersama agar sejarah yang dititipkan leluhur terdahulu hingga kapan pun tetap ada seperti halnya pepatah Minangkabau,"indak lakang dek paneh, indak lapuak dek hujan, diasak indak layua, dibubuik indak mati".
Sumber: http://padangekspres.co.id