Medan, Sumatra Utara - Sejumlah candi peninggalan agama Budha yang terdapat di Kabupaten Padang Lawas, Sumut kurang mendapat perawatan dari pihak pemerintah setempat maupun masyarakat.Kepala Badan Arkeologi (Balar) Medan, Lucas Partanda Koestoro, di Medan, Kamis, mengatakan, kawasan Padang Lawas memiliki sejarah panjang dan sangat menarik yang dimulai dari masa pemerintahan Sriwijaya, Panai, hingga Indonesia Merdeka.
Di masa kejayaan Panai pada abad ke XI-XIV, Padang Lawas berkembang menjadi pusat sebuah institusi pemerintahan sekaligus pusat penyebaran agama Hindu dan Budha. Berdasarkan beberapa literatur disebutkan bahwa Padang Lawas memiliki sisa karya budaya yang dapat dihubungkan dengan eksisitensi kerajaan berpengaruh di wilayah Asia Tenggara antara abad ke-7 sampai abad ke-11, yakni kerajaan Sriwijaya.
"Laporan tentang kawasan tersebut dicatat oleh Kerchoff pada tahun 1887, demikian pula laporan kepurbakalaan (Oudheikundig Verslag) tahun 1914, menyebutkan keberadaan tiga bangunan dari bata disebut warga setempat biaro, masing-masing menempati tepi kanan sungai Barumun, tepi kiri sungai Batang Pane," katanya. Menurut dia, bukti pendukung aktifitas tersebut adalah setelah ditemukannya Biaro Bahal I dan II, Biaro Sitopayan, maupun Si Pamutung.
Hanya saja, menurut Lucas, kondisi biaro tersebut sangat memprihatinkan. Meskipun dilakukan pemugaran, tetapi kekurangpedulian pemerintah maupun masyarakat membuat biaro tersebut terancam musnah. "Kalau ini tidak disikapi secepatnya, dikhawatirkan untuk masa yang akan datang peninggalan bersejarah tersebut tidak akan diketahui lagi oleh anak cucu kita," katanya.
Menyinggung kepedulian BALAR terhadap situs sejarah, ia mengatakan, semua situs sejarah wajib dilindungi, dipreservasi sehingga bentuk kongkrit situs dan Benda Cagar Budaya (BCB) tersebut dapat terlihat. Menurut dia, UU No. 5 Tahun 1992 tentang BCB dan juga PP No. 10 tentang benda purbakala masih sebatas undang-undang yang belum melahirkan petunjuk teknis (Juknis).
Oleh karena itu, seringkali apa yang dikatakan oleh sejarawan maupun arkeolog sebagai benda cagar budaya atau situs, dinyatakan tidak oleh ketentuan hukum. "Inilah yang menjadi persoalan dalam melestarikan situs sejarah dan budaya. Oleh karena itu, perlindungan, preservasi dan pelestarian situs sejarah dan budaya maupun BCB merupakan tanggungjawab bangsa, khusus kepada masyarakat pewaris kebudayaan itu," katanya. (Ant)
Sumber: http://oase.kompas.com 17 April 2009