Jakarta - Di pelataran SD Muhammadiyah Gantong, yang bangunannya reot dan nyaris roboh, sembilan murid berkumpul dengan wajah murung. Sementara itu, ibu guru Muslimah tampak menggenggam sepucuk surat dari salah seorang murid kesayangannya yang tak hadir: Lintang.
Surat perpisahan itu mulai dibaca. Tokoh Lintang melantunkan aria di sudut panggung berterap tinggi, yang tertutup oleh ornamen rumput kering. Alkisah, ayah Lintang meninggal. Karena itu, ia terpaksa rela kehilangan sekolah, sahabat, dan tempat bermainnya untuk bekerja menghidupi kedua adiknya.
Kesedihan seketika meruap di wajah anak-anak itu. Kepergian Lintang--anak yang jenius itu--menumbuhkan keputusasaan. Ikal setengah berlari mengejar kepergiannya. Memanggil nama sahabatnya itu dengan pilu. Perpisahan murung yang tak terelakkan.
Sepanjang tiga pekan ke depan, Teater Jakarta di Taman Ismail Marzuki bakal dipenuhi celoteh suka-duka dan merdunya aria dari para pemain musikal Laskar Pelangi. "Ini pengalaman pertama kali membuat pertunjukan musikal yang cukup besar. Mumpung ada venue yang memadai," ujar produser, penulis naskah, dan lirik Mira Lesmana.
Pertunjukan semegah itu melibatkan banyak pemain. Bahkan masing-masing pendendang utama sampai dipersiapkan tiga lapis. Audisi memang diprioritaskan pada kemampuan menyanyi. Baru kemudian disusul olah tubuh dan olah peran. "Yang paling penting adalah vokal. Maka kami berusaha jemput bola mengadakan audisi di kantong-kantong sekolah musik," kata Mira. Boleh dibilang, ini sebuah proyek yang berani karena Mira menjaring pemain-pemainnya bukan dari kalangan profesional.
Lakon yang diadaptasi dari novel laris karya Andrea Hirata ini melejit saat diproduksi dalam bentuk film berjudul Laskar Pelangi arahan sutradara Riri Riza. Menurut Mira, ada sedikit perbedaan antara film dan bentuk musikalnya. Kehidupan masyarakat kampung Gantong, Belitong, dan kuli-kuli PN Timah, yang hanya disinggung sedikit dalam film, ditampilkan dengan porsi lebih banyak. "Konteks sosial seperti keadaan ekonomi di Belitong saat itu akan lebih dikemukakan. Tapi spirit Laskar Pelangi yang pantang menyerah tetap ada," Mira menjelaskan.
Memang menggarap perhelatan panggung dan film sangat berbeda. Ini dirasakan oleh sutradara Riri Riza sebagai tantangan. Bentuk musikal mau tidak mau berkiblat pada gaya Broadway, New York, Amerika Serikat. "Tapi di sini kami harus mencari kelebihan kami. Local content sebagai budaya Melayu harus dimunculkan," kata Riri.
Content budaya Melayu ini terlihat jelas dalam beberapa koreografi yang diciptakan oleh Hartati. Lalu Erwin Gutawa sebagai komposer lagu juga memberi sentuhan warna musik Melayu dalam orkestrasinya.
Hampir semua dialog diucapkan dalam bentuk libretto. "Dialog yang diucapkan hanya 5 persen," ujar Mira. Ia yakin komunikasi dalam bahasa Indonesia masih cukup pantas untuk di-libretto-kan karena dialog lagu adalah ungkapan perasaan dan ekspresi pada saat itu.
Yang menarik adalah penggunaan orchestra pit di dasar panggung. Para pemain orkestra ditempatkan di bawah panggung. Sedangkan dirigen, Erwin Gutawa dan Susanto Sonyol, yang memimpin orkestra bergantian, berada di depan panggung, badannya tepat terlihat oleh pemain drama dan orkes, tapi tak mengganggu penonton. Ruang ini cukup membantu produksi musik lebih terkumpul, sehingga tak mengganggu penonton yang berada di depan.
Garapan Jay Subyakto sebagai penata panggung juga sangat luar biasa. Properti dan ornamen panggung didesain dengan sangat realis. Suasana pabrik PN Timah lengkap dengan warung di kanan-kiri serta pagar besi yang bisa ditutup-buka. Atau gambaran padang rumput dengan dua terap lapis yang bisa dengan mudah dilalui sepeda dengan bebas. "Seluruhnya ada 12 set panggung," kata Jay.
Setting panggung paling rumit, tutur Jay, adalah ketika lagu Sahabat Alam diperdengarkan. Hanya dalam waktu 8 menit, 5 setting panggung diperlihatkan. Pergantian yang sangat cepat membutuhkan ketepatan waktu yang cukup rumit. Ada pantai, padang rumput, perumahan, sekolah, bahkan hujan. Ya, Jay membuat hujan dengan air sungguhan yang keluar dari pipa. Di bawahnya, ia membikin got buatan untuk menampung air tersebut.
Sayangnya, secara pengadeganan, musikal ini terkesan hanya memindahkan garapan film ke atas panggung. Tak banyak tafsir ulang dari film yang sudah dibuat. Meski begitu, koreografi, kemampuan vokal pemain, dan visualisasi artistik yang luar biasa mampu menutupi kekurangan itu.
Komposisi dalam Warna Melayu
Satu yang penting dan akan terus melekat dari sebuah pertunjukan musikal, tentu saja, unsur musiknya. Ia mampu membangkitkan ingatan kita akan adegan cerita yang dibangun dalam drama musikal tersebut. Untuk itu, komposer Erwin Gutawa sangat berhati-hati dalam penciptaan lagu untuk musikal Laskar Pelangi. "Lagu harus bisa mengekspresikan adegan pada saat dinyanyikan," ujar Erwin.
Menurut Erwin, ia harus membuat lagu dan mencari nada dasar yang sama untuk tiga lapis pemain. "Saya sangat beruntung, prioritas audisi pemain ada di vokal," katanya.
Meski berbasis musik Barat, dalam garapan musikal Laskar Pelangi, Erwin memasukkan warna musik Melayu dengan tambahan alat perkusi tradisional maupun akordeon. Untuk melatih vokal dengan gaya cengkok Melayu, Erwin dibantu oleh Nyak Ina Raseuki atau akrab disapa Ubiet.
Bagi Erwin, penggarapan musikal ini menjadi sebuah tantangan tersendiri. Dan ini pengalaman pertamanya mengkomposisi lagu musikal dalam jumlah yang sangat besar. Lagu aria termasuk score berjumlah 19 karya. "Ini gila," ujarnya.
Sumber: http://www.tempointeraktif.com