Oleh Muhammad Nur
A. Pendahuluan
Dalam arkeologi, pengertian megalitik telah banyak dikemukakan oleh para ahli yang pada awalnya mengacu kepada pengertian secara etimologis, yaitu mega berarti besar dan lithos berarti batu (Soejono, 1984:205). Dengan demikian pengertian secara etimologis mencakup suatu budaya yang terbuat dari batu-batu besar. R. von Heine Geldern (1945:149) dalam penelitiannya terhadap budaya megalitik di Asia Tenggara, mengemukakan suatu pengertian bahwa budaya megalitik selalu berkaitan dengan pemujaan terhadap arwah leluhur (ancestor worship). Pengertian ini merujuk pada bangunan megalitik yang selalu dihubungkan dengan maksud tertentu yang berkaitan dengan alam kubur.
Pendapat Geldern (1945:149) meluaskan pengertian kebudayaan megalitik pada bentuk dan fungsinya. Dalam perkembangan kajiannya, pengertian megalitik yang berdasarkan pada bentuk dan fungsi (batu-batu besar sebagai sarana pemujaan), tampaknya tidak merepresentasikan keadaan yang sesungguhnya. Akhirnya F.A. Wagner (1962 :72) memberikan pendapat yang kemudian dipakai sampai sekarang yaitu konsep megalitik sebenarnya bukan hanya mengacu pada batu-batu besar, karena batu kecil bahkan tanpa monumen sekalipun, sesuatu dapat dikatakan berciri megalitik apabila hal tersebut didasarkan pada maksud dan tujuannya berkaitan dengan pemujaan arwah leluhur. Pengertian tersebut memperluas cakupan bahasan tentang kebudayaan megalitik yang diarahkan pada sistem kepercayaan.
Di Indonesia, dari hasil penelitian dapat diketahui beberapa bentuk peninggalan megalitik seperti dolmen, menhir, teras berundak, arca megalitik, tahta batu, altar batu, lumpang batu, batu dakon, batu bergores, susunan temu gelang dan berbagai bentuk penguburan seperti peti batu, bilik batu, waruga, kalamba, sarkopagus, liang batu, batu pahat (Soejono, 1984:205-238). Hal yang membuat kebudayaan ini menarik karena bentuk-bentuk monumen tersebut selalu menunjukkan perbedaan bentuk dan fungsi pada setiap culture area.
Salah satu daerah di Indonesia yang masih melanjutkan tradisi megalitik adalah suku Toraja (Heine Geldern, 1945:129, Soejono, 1984:304-312) di Sulawesi selatan. Daerah ini kurang populer sebagai ladang penelitian arkeologi sehingga informasi tentang peninggalan budayanya kurang diketahui. Penelitian arkeologi pada tahap awal dan bersifat deskriptif telah dilakukan oleh A.C. Kruyt (1938), Eric Cristal (1974), Harun Kadir (1977), Santoso Soegondo dan kawan-kawan (1996), Akin Duli (1999), Lenggo dan Nur (2003). Hasil dari penelitian awal tersebut dapat memberikan gambaran bahwa daerah Tana Toraja sangat potensial secara arkeologis untuk diteliti lebih mendalam, terutama yang berkaitan dengan budaya megalitik dengan ditemukannya berbagai bentuk peninggalan seperti menhir, keranda mayat serta tradisi yang masih bertahan sampai sekarang.
B. Studi Etnoarkeologi
Studi etnoarkeologi yang dikembangkan dalam arkeologi bertujuan memecahkan permasalahan arkeologi melalui analogi etnografi. Dalam studi ini, material masa lalu dipelajari melalui dua model pendekatan, yaitu : 1) pendekatan kesinambungan sejarah budaya (direct historical approach). Pendekatan ini didasari pandangan bahwa budaya yang ada sekarang merupakan perkembangan dari budaya masa lampau, sehingga ciri-ciri budaya yang ada sekarang merupakan warisan dari budaya yang telah berkembang sebelumnya. Oleh karena itu, perbandingan akan cukup bernilai apabila dilakukan antara data arkelogi dengan data etnografi yang masing-masing saling berkesinambungan sejarahnya. Untuk itu penelitian etnohistori sangat diperlukan untuk menunjang model penelitian tersebut. 2) Pendekatan perbandingan umum (general comparative approach), yang didasari oleh adanya pandangan bahwa hubungan antara budaya materi yang pendukungnya telah punah dengan budaya yang masih hidup yang mempunyai persamaan bentuk, dapat dilakukan meskipun tidak mempunyai kaitan sejarah, ruang, maupun waktu. Data etnografi yang dikumpulkan tidak perlu dibatasi pada wilayah geografis yang sama, namun tetap memperhitungkan faktor adanya kesamaan lingkungan (Ascher, 1971: 264-265). Dalam model ini, antara lain berlaku syarat bahwa semakin dekat jarak waktunya dan makin konservatif sifat masyarakat pembandingnya, semakin kuat pula hasil analogi yang diperoleh.
Contoh dari penelitian yang mempergunakan pendekatan etnografi, telah dilakukan oleh Binford pada dekade 1960-an pada kelompok masyarakat berburu dan meramu dari suku Nunamiut Eskimo di Alaska, untuk mempelajari situs-situs arkeologi pada masa paleolitik tengah di Perancis (100.000 – 40.000 SM.) dan hasilnya memuaskan. Demikian juga oleh Ian Hodder, telah melakukan kajian tentang perhiasan telinga wanita yang digunakan oleh suku Bringo di Kenya. Hasilnya memberikan gambaran bahwa perbedaan pola hias anting-anting wanita dapat menggambarkan perbedaan identitas suku bangsa tersebut (Renfrew dan Bahn, 1991: 166-168).
Model penelitian dalam arkeologi dengan analogi etnografi (etnoarkeologi) hanyalah merupakan salah satu alternatif, dan tentunya juga bobot kajiannya mempunyai kelemahan. Kelemahan tersebut berdasarkan pertimbangan : 1) jarak waktu yang panjang antara masa lalu (konteks sistem) dengan masa ditemukannya peninggalan budaya (konteks arkeologi), yang dapat memungkinkan terjadinya pergeseran-pergeseran nilai di dalamnya; 2) satuan populasi pendukung tinggalan budaya tersebut sudah tidak ada lagi; 3) walaupun berada pada suatu lokasi dan tradisi yang sama, namun pemaknaannya belum tentu sama; 4) bahwa satu kebudayaan materi yang ditemukan merupakan akibat suatu tindakan dari manusia masa lalu. Untuk itu, penggunaan analogi etnografi hendaknya diterapkan dalam penelitian arkeologi secara hati-hati, harus selalu didasari dengan pertimbangan-pertimbangan secara metodologis.
Model yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kesinambungan sejarah-budaya (direct historical approach). Pemilihan pendekatan tersebut, berdasarkan pada pertimbangan : 1) adanya kesinambungan sejarah-budaya antara peninggalan budaya fisik dengan sistem sosio-kultural masyarakat pembandingnya; 2) adanya kesamaan bentuk budaya dan lingkungan fisik; 3) sikap konservatif masyarakat pembandingnya akibat keterisolasian secara geografis; 4) secara historis pengaruh agama Islam dan Kristen tidak terlalu mengakar dalam masyarakat, sehingga sistem kepercayaan lokal tetap kuat berperan dalam masyarakat sebagai pendukung kelanjutan tradisi megalitik.
Dalam pengumpulan data etnografi dipergunakan metode observasi, yaitu pengamatan secara langsung dan wawancara. Untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam secara internal, dipergunakan pendekatan emik dan empati (peneliti adalah bagian dari komunitas tersebut) sehingga dapat diketahui aspek-aspek kognitif dan elemen-elemen spiritualnya.
C. Data Arkeologi
Situs Arkeologi di Tana Toraja sangat banyak, suatu gambaran besar dan lamanya komunitas ini mendiami wilayah dataran tinggi di Sulawesi Selatan. Daerah atau situs yang dijadikan sampel di sini adalah situs Sillanan yang terletak di Desa Sillanan, Kecamatan Mengkendek, Kabupaten Tana Toraja.
Terdapat enam lokasi megalitik dalam situs Sillanan yaitu lokasi Tongkonan Layuk, lokasi Pakpuangan, lokasi Rante Simbuang, lokasi Bubun, lokasi Rante Sarapuk, dan lokasi Liang. Bentuk-bentuk peninggalan budaya megalitik yang terdapat pada situs-situs tersebut antara lain menhir (kelompok dan tunggal), lumpang batu, karopik, pagar batu, altar batu, tahta batu, umpak-umpak batu, kubur batu (liang), fragmen gerabah, dan teras berundak, dengan distribusi temuan secara terpola. Salah satu hal yang menarik dari peninggalan budaya megalitik pada beberapa lokasi tersebut adalah adanya indikasi pemukiman (tempat hunian) berupa umpak dan pagar batu yang berasosiasi dengan fragmen tembikar. Indikasi pemukiman tersebut, tampaknya masih ada kesamaan dengan pemukiman tradisional yang masih hidup dalam masyarakat yang berpusat pada Tongkonan.
D. Pembahasan
1. Kepercayaan Terhadap Alam Kehidupan Setelah Mati
Ajaran Aluk Todolo menurut orang Toraja berisi konsep kepercayaan terhadap alam kehidupan setelah mati. Ajaran ini menganggap bahwa arwah seseorang setelah mati tidak hilang begitu saja melainkan kembali ke suatu tempat yang dianggap sebagai alam arwah atau sebagai tempat asal-usul leluhur mereka. Konsep kepercayaan ini kemudian diimplementasikan dalam sistem upacara terutama upacara yang berkaitan dengan kematian (Rambu Solok) dan sistem penguburan.
Secara umum tujuan dari upacara yang termasuk kelompok Rambu Solok adalah untuk keselamatan arwah leluhur di alam puya dan kesejahteraan serta keselamatan manusia di dunia. Dalam pelaksanaan jenis upacara tersebut dipergunakan berbagai sarana termasuk beberapa peninggalan budaya megalitik yang dapat tahan lama, seperti menhir, lumpang batu, dan karopik. Berdasarkan fungsinya dapat diketahui jenis peninggalan yang dipergunakan sebagai sarana pemujaan untuk keselamatan arwah leluhur di alam puya, yaitu menhir jenis pesungan banek, menhir jenis simbuang, lumpang batu, karopik, dan kandean dulang.
Aktivitas lain yang berkaitan dengan keselamatan arwah leluhur tercermin pada bentuk serta tata letak kubur dan wadah yang dipergunakan. Tujuan dari penguburan erat kaitannya dengan kepercayaan akan kehidupan setelah mati, yang menyebabkan manusia untuk menguburkan mayatnya dengan maksud untuk melestarikan arwahnya di alam baka. Latar belakang konsepsi kepercayaan tersebut telah mendorong masyarakat Toraja pada masa lampau untuk menguburkan anggota keluarga atau masyarakatnya dengan sebaik-baiknya. Pelaksanaan penguburan tersebut dilakukan dengan penguburan pada beberapa jenis kubur baik secara langsung (kubur primer) maupun secara tidak langsung (kubur sekunder), baik yang mempergunakan wadah tertentu seperti erong maupun tanpa wadah seperti pada kubur jenis Sillik.
Di Sillanan orang yang meninggal dunia dikuburkan di Liang dengan mempergunakan beberapa jenis kubur, baik yang mempergunakan wadah seperti erong maupun tanpa wadah, sesuai dengan status sosialnya masing-masing. Hal ini sesuai dengan aturan adat yang bersumber dari Aluk Todolo, demi keselamatan arwah sampai ke alam puya. Jenis Liang Sillik diperuntukkan bagi strata sosial yang berasal dari Tanak Kua-Kua (strata sosial rendah), yaitu penguburan pertama tanpa menggunakan wadah tertentu. Sedangkan strata sosial menengah dan tinggi, dikuburkan pada jenis Liang Erong, Liang Tokek, Liang Pak, dan Patane, yang mempergunakan wadah erong, baik yang berfungsi untuk penguburan pertama maupun untuk penguburan kedua. Penguburan kedua hanya berlaku bagi para bangsawan tinggi dan keluarganya.
Tata letak kubur dan wadah erong adalah utara-selatan, dimana mayat diletakkan dengan menghadap ke utara yaitu bagian kaki di utara dan kepala di selatan. Tujuan dari arah hadap ke utara, adalah adanya pandangan bahwa tempat bersemayamnya para dewa adalah di arah utara dari perkampungan mereka, sehingga asal-usul leluhur mereka adalah datang dari arah utara. Orang Toraja percaya bahwa asal-usul nenek moyang mereka berasal dari dewa, sehingga ketika mereka meninggal maka arwah leluhur akan kembali ke asalnya, yaitu menjadi dewa di alam puya. Namun untuk mencapai hal tersebut maka harus melewati tahap-tahap upacara kematian dan sistem penguburan yang telah ditentukan oleh Aluk Todolo.
Letak Liang selalu dekat dari pemukiman dan berada di tempat yang tinggi seperti di bukit, pegunungan atau tempat yang sengaja ditinggikan. Letak Liang yang dekat dengan pemukiman menunjukkan bahwa Liang merupakan salah satu unsur dari suatu pola permukiman, seperti yang dikemukakan oleh Michael B. Schiffer bahwa situs kubur merupakan bagian dari suatu daerah yang berkaitan dengan penguburan dalam lokasi permukiman (Schiffer,1985:371). Tujuan dari penempatan kubur yang dekat dengan pemukiman, dilatarbelakangi oleh suatu konsep kepercayaan akan adanya hubungan timbal-balik antara orang yang masih hidup dengan orang yang telah meninggal dunia. Penempatan lokasi penguburan yang dekat dengan tempat bermukim juga masih ditemukan pada beberapa suku bangsa lainnya di Indonesia.
Sementara letak kubur pada tempat yang lebih tinggi dari pemukiman, dilatarbelakangi oleh suatu kepercayaan bahwa alam kubur sebagai tempat bersemayamnya arwah leluhur, harus berada di tempat yang lebih tinggi dari pemukiman manusia agar mudah dalam mengawasi perilaku manusia yang masih hidup di dunia. Kepercayaan akan tempat yang tinggi seperti puncak bukit atau puncak gunung sebagai tempat bersemayamnya para arwah leluhur, terdapat pada beberapa suku bangsa di Indonesia seperti di Bali yang percaya bahwa di puncak Gunung Agung, Gunung Batur, Gunung Sangiang, dan beberap gunung lainnya sebagai tempat bersemayamnya arwah leluhur mereka (Soejono, 1977 : 269).
Penggunaan bentuk-bentuk wadah erong tertentu seperti bentuk persegi, bentuk kerbau, dan bentuk perahu dalam sistem penguburan mereka, selain berkaitan dengan stratifikasi sosial, mempunyai makna pula sebagai tanda kenderaan yang dapat membawa arwah leluhur ke alam puya, khususnya bagai masyarakat yang berasal dari startifikasi sosial tinggi (Tanak Bulaan).
Hal lain yang menjadi syarat demi keselamatan arwah leluhur sampai ke alam puya, adalah bekal bagi orang yang meninggal dalam bentuk korban yang dipersembahkan dalam berbagai upacara Rambu Solok dan bekal kubur. Setiap tahapan upacara Rambu Solok membutuhkan korban persembahan dalam jumlah yang besar, semua dianggap sebagai bekal untuk keselamatan arwah leluhur sampai ke alam puya. Sedangkan benda-benda berharga yang dimiliki simati semasa hidupnya seperti emas, perak, dan benda-benda berharga lainnya disertakan sebagai bekal kubur ketika dikubur.
2. Kepercayaan Terhadap Arwah Leluhur
Secara umum inti dari konsep kepercayaan terhadap arwah leluhur adalah kepercayaan akan pengaruh kuat dari arwah leluhur terhadap kesuburan tanaman dan keberhasilan panen serta kesejahteraan manusia di dunia. Kepercayaan tersebut telah dikenal dan dianut secara luas oleh masyarakat pada berbagai suku bangsa di Indonesia sejak akhir masa bercocok tanam. Sebagai sarana penghubung antara orang atau masyarakat yang masih hidup dengan arwah leluhurnya, maka didirikanlah bangunan-bangunan megalitik. Melalui upacara-upacara tertentu, arwah leluhur dianggap dapat hadir ke dalam bangunan megalitik tersebut untuk dimintai pertolongan misalnya dapat membantu menolak bala dan mengusir roh-roh jahat yang dapat mengganggu kehidupan manusia, menyuburkan tanaman dan meningkatkan keberhasilan panen, menjaga keselamatan, meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan sebagainya.
Hubungan antara orang hidup dengan orang yang telah meninggal tidak hanya bersifat searah akan tetapi bersifat timbal-balik karena keselamatan arwah para leluhur juga sangat ditentukan oleh perlakuan dari kerabat atau masyarakat yang ditinggalkannya. Keselamatan arwah leluhur di alam puya sangat tergantung kepada pemenuhan syarat-syarat yang dibutuhkan sesuai dengan ketentuan adat, seperti berbagai tahapan upacara, bekal berupa korban persembahan dan bekal kubur dan perlakuan-perlakuan lainnya setelah seseorang meninggal.
Berdasarkan konsep kepercayaan tersebut, maka dalam menjalankan berbagai upacara ritual dibutuhkan sarana seperti bangunan-bangunan megalitik yang berfungsi sebagai media penghubung di antara kedua belah pihak. Sarana-sarana tersebut sebagai suatu peninggalan, dapat mencerminkan sistem kepercayaan masyarakat masa lampau, termasuk di dalamnya adalah yang berkaitan dengan obyek (oknum) yang dipuja. Dari hasil penelitian para ahli tentang peninggalan megalitik, dapat diketahui bahwa yang menjadi obyek sebagai adhi kodrati dalam kepercayaan tersebut adalah arwah leluhur.
Di Sillanan terdapat beberapa peninggalan megalitik yang erat kaitannya dengan kepercayaan terhadap arwah leluhur yaitu menhir yang terdiri dari beberapa jenis (basse, tumpuang, pesungan banek, simbuang), karopik, susunan batu temu gelang, altar batu, lumpang batu, tahta batu, teras berundak, dan kandean dulang. Berdasarkan fungsi masing-masing temuan tersebut seperti telah diuraikan di atas, dapat diketahui peranannya masing-masing yaitu kesemuanya berkenaan dengan pemujaan terhadap arawah leluhur.
Peninggalan budaya megalitik di Sillanan yang erat kaitannya dengan pemujaan leluhur, secara fungsinal dapat kategorikan sebagai berikut : sebagai medium dalam pemujaan terhadap arwah leluhur, seperti menhir jenis basse dan menhir jenis pesungan banek; sebagai sarana dalam pemujaan terhadap arwah leluhur, seperti lumpang batu, altar batu, kandean dulang, dan teras berundak; sebagai batas antara daerah sakral dan profan seperti pagar batu dan susunan batu temu gelang; sebagai simbol dari seorang tokoh dan tanda orang meninggal seperti menhir jenis simbuang dan karopik; sebagai tanda penolak bala seperti menhir jenis tumpuang.
Secara umum peninggalan-peninggalan megalitik tersebut memiliki fungsi yang berbeda-beda, namun semuanya itu dilatarbelakangi oleh suatu keyakinan bahwa benda-benda tersebut memiliki kekuatan gaib, terutama pada waktu dipergunakan dalam upacara. Kekuatan gaib tersebut tidak lain adalah kekuatan dari arwah leluhur yang menjelma atau hadir di dalam benda-benda tersebut pada waktu dipergunakan dalam pelaksanan upacara tertentu. Hal ini dilatarbelakngi oleh suatu keyakinan bahwa arwah leluhur mempunyai suatu kekuatan sakti atau kekuatan magis, yang dapat membantu manusia yang masih hidup.
Berdasarkan pada data etnografi dapat diketahui tentang kekuatan (obyek) yang dipuja, yaitu dewa-dewa yang dapat dibagi atas tiga, yaitu : dewa tertinggi yang disebut Pong Matua, yaitu dewa yang menciptakan kehidupan manusia dan alam; dewa pada tingkat kedua yaitu Deata-Deata, bertugas sebagai pelindung manusia di dunia; dewa pada tingkat ketiga yaitu To Membali Puang, bertugas sebagai pengawas kehidupan manusia di dunia.
Pada dasarnya ketiga dewa tersebut adalah satu yaitu arwah leluhur, yang membedakannya adalah stratifikasi dari arwah leluhur tersebut, yaitu : Puang Matua, adalah pencipta dan sekaligus sebagai asal atau nenek moyang manusia yang pertama; Deata-Deata, dapat dicapai oleh arwah leluhur yang merupakan keturunan langsung dari dewa-dewa (To Manurun), yaitu golongan masyarakat bangsawan tinggi yang berasal dari Tanak Bulaan; To Membali Puang, dapat dicapai oleh golongan masyarakat yang berasal dari Tanak Bassi dan Tanak Karurung (Yusuf, dkk, 1993 : 32). Arwah leluhur lainnya yang berasal dari tanak kua-kua atau lapisan sosial tinggi yang tidak mampu melaksanakan upacara kematian sesuai dengan aturan adat, menjadi gentayangan pada alam antara alam fana (lino) dengan alam baka (puya) disebut Bombo. Bombo tidak dipuja karena belum menjadi dewa, oleh karena itu dianggap sebagai roh-roh leluhur yang membahayakan kehidupan manusia. Untuk itu manusia harus berlindung dan meminta pertolongan kepada dewa-dewa.
Media atau monumen megalitik yang dipakai untuk pemujaan kepada tiga dewa tersebut berbeda-beda, yaitu Puang Matua dipuja dengan menggunakan menhir jenis basse dan menhir jenis pesungan banek tipe silindrik sebagai medium; Deata-Deata dipuja dengan mempergunakan menhir jenis pesungan banek tipe pipih; To Membali Puang dipuja dengan menggunakan menhir jenis tumpuang sebagai medium.
3. Pengaruh Konsep Kosmologis Terhadap Pola Keletakan Temuan dan Situs
Seperti telah diuraikan pada bagian deskripsi data di atas, tampak secara jelas tentang pola keletakan temuan pada setiap situs dan pola keletakan situs. Hal yang menarik untuk dikaji adalah yang berkaitan dengan sistem gagasan/ide yang melatarbelakangi terbentuknya pola sebaran temuan dan situs tersebut. Kajian arkeologi untuk mengetahui sistem ideologi lewat peninggalan budaya fisik sangat sulit untuk mencapai tujuan. Hal ini disebabkan manusia pendukung budaya tersebut tidak didapatkan lagi. Untuk itu dalam pembahasan ini, dipergunakan analogi dengan data etnografi berupa tradisi lisan yang masih hidup dalam masyarakat setempat. Berdasarkan analogi tersebut, dapat diketahui bahwa pola sebaran temuan dan situs sangat erat kaitannya dengan konsep kosmologis yang mereka pahami.
Dalam kehidupan masyarakat Toraja selalu berusaha menciptakan keharmonisan dengan alam, masyarakat dan keluarga sesuai dengan ajaran Aluk Todolo. Alam kehidupan di dunia (kesatuan adat, Tongkonan, masyarakat, keluarga, dan individu) dianggap sebagai mikrokosmos yang harus selalu diselaraskan dengan alam jagat raya (makrosmos). Keselarasan dan keseimbangan tersebut dapat diwujudkan dalam semua aspek kehidupan dengan berpatokan kepada pengklasifikasian alam ini secara horisontal dan secara vertikal. Klasifikasi alam secara horisontal adalah klasifikasi berdasarkan timur-barat dan utara-selatan, sedangkan klasifikasi secara vertikal adalah pembagian alam atas, alam tengah, dan alam bawah.
Kehidupan dalam suatu kesatuan adat, dalam keluarga (Tongkonan) dan dalam diri individu setiap orang dianggap sebagai simbol dari kosmos (mikrokosmos). Klasifikasi mikrokosmos sebagai reflika dari makrokosmos atas timur-barat, utara-selatan, atas-bawa, dianggap berpusat di Tongkonan dalam satu kesatuan adat, dan untuk satu keluarga disimbolkan oleh Tongkonan itu sendiri yang pusatnya adalah pada tiang utama (ariri posik) dari Tongkonan tersebut dan pada diri individu dianggap berpusat pada pusar manusia.
Klasifikasi timur-barat lebih banyak dihubungkan dengan tahapan kehidupan manusia, kelahiran dianggap sama dengan arah timur (Mataallo), sebagaimana matahari mulai terbit memancarkan sinarnya dan secara perlahan-lahan naik mencapai puncak kehidupan kemudian menurun dan akhirnya mati, berarti matahari sudah terbenam di arah barat (Matampuk) dan terjadi peralihan dari terang ke gelap. Kematian seseorang dianggap sebagai suatu proses kehidupan untuk memulai kehidupan yang baru, atau suatu peralihan kehidupan dari alam fana (lino) ke alam baka (puya) yang senantiasa diharapkan menjadi suci untuk mencapai tingkat dewa. Semua tahap-tahap kehidupan berdasarkan peredaran matahari dari timur ke barat, dilalui dengan melaksanakan serangkain upacara-upacara yang dapat dikelompokkan atas dua, yaitu kelompok upacara Rambu Tukak yang diatur dalam Aluk Mataallo dan kelompok upacara Rambu Solok yang diatur dalam Aluk Matampuk. Tempat pelaksanaan upacara harus disesuaikan dengan jenis dan tujuannya, apakah harus berada di sebelah timur atau sebelah barat Tongkonan.
Klasifikasi utara-selatan berhubungan dengan hal-hal yang bersifat baik dan tidak baik, utara dianggap sebagai tempat para dewa atau tempat terhormat (kepala bumi = Ulunna Lino) sedangkan selatan dianggap tempat para Bombo atau tempat yang kotor (bagian bawah bumi = Pollokna Lino). Berbagai macam upacara yang dilakukan, jenis dan tujuannya harus selalu berpatokan pada pembagian tersebut. Sedangkan klasifikasi berdasarkan alam atas-tengah-bawah, dihubungkan dengan proses terjadinya kehidupan, yaitu pertemuan antara alam atas (langit) yang disimbolkan sebagai laki-laki (baik) dengan alam bawah (air) disimbolkan dengan wanita (buruk), kemudian melahirkan alam tengah (alam kehidupan manusia di dunia) sebagai suatu keseimbangan atau keselarasan.
Klasifikasi kosmos tersebut dimanifestasikan dalam mikrokosmos seperti diri manusia dan Tongkonan. Manusia dianggap sebagai simbol dari kosmos, yaitu kepala dianggap sebagai Ulunna Lino, bagian bawah manusia dianggap sebagai Pollokna Lino, bagian kanan manusia dianggap Mataallo dan bagian kiri dianggap sebagai Matampuk. Pembagian berdasarkan alam atas – tengah - bawah, disimbolkan pada diri manusia yaitu kepala dianggap sebagai alam atas, bagaian tengah (perut) dianggap sebagai alam tengah, dan bagian bawah (kaki) dianggap sebagai alam bawah. Dalam bangunan Tongkonan klasifikasi tersebut juga berlaku, dimana Tongkonan harus selalu menghadap ke utara. Tongkonan sebagai pusat dari mikrokosmos maka semua aktivitas manusia terutama yang berkaitan dengan upacara ritual, harus berpatokan kepada Tongkonan. Kelompok upacara Rambu Tukak tempat pelaksanaannya di sebelah timur Tongkonan, kelompk upacara Rambu Solok tempat pelaksanaannya di sebelah barat Tongkonan, upacara yang ditujukan kepada para dewa tempat pelaksanaannnya di sebelah utara Tongkonan atau tempat yang telah ditentukan secara khusus, dan upacara yang ditujukan kepada Bombo, tempat pelaksanaannya di sebelah selatan Tongkonan.
Deskripsi data etnorafi sebagaimana terurai di atas, dapat dikaitkan dengan data arkeologis sebagai berikut : (1) tata letak temuan dan situs di Sillanan mengikuti konsep kosmologis orang Toraja sebagai gambaran dari klasifikasi kosmos (kosmografi), (2) kosmografi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut : lokasi Tongkonan Layuk terletak di tengah-tengah sebagai pusat dari kosmos, terutama pada petak 3 teras III sebagai tempat berdirinya bangunan rumah Tongkonan Layuk. Tongkonan Layuk sebagai simbol kosmos (mikrokosmos), sesungguhnya merepresentasikan ketua adat yang berperan sebagai pemimpin keagamaan dan bahkan pemimpin pemerintahan adat. Ketua adat sebagai pemimpin pelaksanaan berbagai macam upacara ritual, karena dialah yang dianggap simbol pusat dan bahkan sebagai mikrokosmos itu sendiri. Ketua adatlah yang dapat berkomunikasi sebagai penghubung antara mikrokosmos (alam kehidupan manusia) dengan makrokosmos (alam kehidupan leluhur). lokasi Bubun dan lokasi Rante Sarapuk berada di sebelah timur situs Tongkonan Layuk sebagai tempat melaksanakan upacara Rambu Tukak. lokasi Pakpuangan dan lokasi Liang berada di sebelah barat situs Tongkonan Layuk, masing-masing berfungsi sebagai tempat melaksanakan upacara Rambu Solok dan sebagai tempat berlangsungnya aktivitas penguburan. Lokasi Rante Simbuang tidak masuk dalam aturan klasifikasi kosmos yang berpusat di Tongkonan, karena dianggap sebagai mikrokosmos tersendiri yaitu sebagai simbol dari suatu perkampungan adat atau suatu kesatuan adat tertentu pada waktu difungsikan sebagai tempat pelaksanaan upacara kematian, sehingga penempatannya bisa di mana saja yang penting strategis dan memungkinkan untuk menampung banyak orang. lokasi bubun (sumur) terletak pada arah selatan agak ke timur (tenggara) dari situs Tongkonan Layuk karena fungsinya adalah sebagai tempat pelaksanaan upacara untuk meminta perlindungan kepada Puang Matua, agar air suci yang diambil dari tempat tersebut terhindar dari gangguan roh-roh jahat (Bombo); tata letak temuan dalam suatu situs sangat ditentukan pula oleh konsep kosmos tersebut. (3) Konsep kosmogoni diuraikan oleh Aluk Todolo, tentang kepercayaan terhadap alam kehidupan setelah mati (alam arwah), yaitu terdiri dari alam Bombo dan alam Puya.
Berdasarkan fungsi temuan situs dan fungsi situs, maka tampak bahwa tata letak situs dan temuan situs sangat dipengaruhi oleh faktor ideologis, yaitu konsep kosmologis dan stratifikasi sosial yang kesemuanya bersumber pada ajaran Aluk Todolo.
E. Penutup
Demikianlah gambaran alam pikiran dan kepercayaan masyarakat Toraja yang terefleksi secara harmonis dalam penentuan tata letak monumen dalam satu areal pemukiman. Secara garis besar, konsep kosmologi yang dikenal dengan klasifikasi kosmos yang terdiri dari pembagian timur-barat, utara-selatan, dunia atas-tengah-bawah, yang dianggap berpusat pada alam kehidupan manusia disimbolkan oleh Tongkonan. Semua aspek kehidupan manusia harus diselaraskan dengan kosmos dengan berpatokan kepada pembagian-pembagian tersebut di atas, sesuai dengan ketentuan adat yang diatur oleh Aluk Todolo.
Daftar Istilah
1. Aluk Todolo atau Alukta adalah kepercayaan asli penduduk Toraja yang intinya adalah kepercayaan terhadap dewa-dewa dan roh leluhur.
2. Basse, secara harapiah berarti sumpah atau perjanjian, dalam pengertian yang lebih luas adalah sebagai tempat mengadakan perjanjian atau sumpah yang berkaitan dengan hubungan sesama manusia maupun dengan yang adhi kodrati.
3. Bubun, yaitu suatu tempat untuk mengambil air, bisa juga berarti sumber mata air atau sumur.
4. Erong, adalah wadah kubur bagi masyarakat yang berasal dari stratifikasi sosial menengah atau bangsawan.
5. Karopik, adalah bangunan susunan batu berbentuk persegi atau empat persegi panjang yang berfungsi sebagai tempat penguburan sementara (primary burial) bagi bangsawan tinggi pada masyarakat Toraja sebelum diadakan pesta kematian tingkat akhir (rapasan) untuk selanjutnya dikuburkan di tempat penguburan permanen (Liang).
6. Liang, adalah kompleks penguburan bagi masyarakat Toraja yang terletak di gua, ceruk, dan dinding-dinding batu yang dipahat. Liang berfungsi sebagai kompleks penguburan keluarga atau suatu kelompok komunitas tertentu.
7. Liang Pak, yaitu tempat penguburan yang dipahatkan pada dinding-dinding batu.
8. Liang Tokek, yaitu kuburan gantung di langit-langit gua atau dinding ceruk.
9. Patane, yaitu tempat penguburan berupa bangunan yang kadang-kadang menyerupai bentuk rumah tradisional.
10. Pakpuangan, adalah suatu tempat peribadatan khusus untuk pemujaan kepada unsur Puang Matua.
11. Pesungan banek, berarti sesajen yang diletakkan di daun untuk dipersembahkan kepada arwah leluhur, deata atau puang matua. Dapat juga berarti sebagai batu berdiri yang dipergunakan sebagai medium dalam upacara untuk keselamatan dan kesejahteraan manusia.
12. Rante Sarapuk, berasal dari kata rante (tempat yang datar dan luas) dan kata sarapuk (altar batu tempat menyimpan sesajen dalam pemujaan syukuran terhadap deata).
13. Rante Simbuang, berasal dari kata rante (tempat datar yang luas) dan kata simbuang (batu tegak yang didirikan untuk mengikat kerbau sebelum dibantai di lapangan upacara pesta kematian bagi bangsawan tinggi).
14. Sillik, secara harfiah berarti diselipkan, namun dalam pengertian yang lebih luas adalah sebagai suatu bentuk penguburan bagi masyarakat yang berasal dari stratifikasi sosial rendah (budak), biasanya mayat dikuburkan di sela-sela gua alam atau akar/batang pohon.
15. Simbuang, adalah salah satu jenis menhir di Toraja yang didirikan di lapangan tempat melaksanakan upacara kematian bagi bangsawan tinggi, fungsinya adalah sebagai simbol dari orang yang telah mati dan sebagai tempat mengikat kerbau secara simbolis yang akan dikorbankan dalam upacara tersebut.
16. Tomanurung adalah orang yang turun dari langit atau kayangan yang kemudian menjadi pemimpin suatu masyarakat secara turun-temurun.
17. Tongkonan, adalah rumah adat atau rumah keluarga bagi masyarakat Toraja yang bentuknya seperti perahu, yang terdiri dari Tongkonan batu akriri (fungsinya semata-mata berperanan sebagai tempat bermukim suatu keluarga), Tongkonan kaparengngesan atau Tongkonan pakaindoran (berfungsi sebagai tempat penyelenggaraan pemerintahan adat), Tongkonan Pekamberan (berfungsi sebagai tempat peneyelenggaraan pemerintahan adat dan keagamaan), dan Tongkonan Layuk adalah sebagai Tongkonan yang dipercaya sebagai yang pertama kali dibangun pada masa lampau, tempat asal mula segala aturan adat masyarakat.
18. Tongkonan Layuk, rumah tradisional khas Toraja yang pertama dibangun oleh satu komunitas tertentu pada masa lalu, sebagai tempat asal mula segala aturan adat masyarakat.
19. Tumpuang, berarti penolak bala.
Daftar Pustaka
Ascher, Robert. 1971 “Analogy in Archaeological Interpretation”. Dalam James Deetz: Man’s Imprint From the Past, 262-271. Boston : Little Brown and Company.
Binford, Lewis. 1972. An Archaeological Perspective. New York : Seminar Press.
Cristal, Eric. 1974. “Man and Menhir, Contemporary Megalithic Practice of Sa’dan Toraja of Sulawesi, Indonesia”. Los Angeles : Institute of Archaeology University of California.
Duli, Akin. 1999. “Bentuk-Bentuk Penguburan Orang Toraja, Suatu Studi Etnoarkeologi”. Dibawakan pada Kongres dan Pertemuan Ilmiah Arkeologi VIII di Yogyakarta, 15-18 Pebruari 1999.
Geldern, R. von Heine. 1945. “Prehistoric Research in The Netherlands Indies”. Dalam : Sciences and Scietists in The Netherlands Indies. New York : Pieter Honing, P.H.D.
Kadir, Harun. 1980. “Aspek Megalitik di Toraja”. PIA I. Jakarta : Puslit Arkenas.
Kruyt, A. C. 1938. De West Toradjas op Midden Celebes. Nieuwe Reeks Deel XL. Amsterdam : Uitgave van de N.V. Noord Hollandsche Uitgevers-Maatschappijk, hlm. 1-6.
Lenggo, Army dan Nur, M. 2003., “Tau-tau Dalam Sistem Budaya Masyarakat Toraja” dalam Toraja Dulu dan Kini. Makassar. Pustaka Refleksi.
Renfrew, Colin and Bahn, Paul. 1991. Archaeology : Theories, Method, and Practice. London : Thames and Hudson.
Schiffer, Michael B. 1976. Behavioral Archaeology. New Yoek : Academic Press.
Soegondho, Santoso. 1995. “Penelitian Tradisi Megalitik pada Situs Kalimbuang di Bori’ Parinding, Kecamatan Sesean, Tana Toraja” Laporan Bagian Proyek Penelitian Purbakala Sulawesi Selatan. Belum terbit.
Soejono, R.P. 1977. Sistem-sistem Penguburan pada Akhir Masa Prasejarah di Bali. Disertasi Universitas Indonesia.
___________. (Ed). 1984. Sejarah Nasional Indonesia. I. Jakarta : Balai Pustaka.
Yusuf, Wiwik P., dkk. 1993. Upacara Tradisional (Upacara Kematian) Daerah Sulawesi Selatan. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Halaman 24 – 34.
Wagner, F.A. 1962. Indonesia : The Art of An Island Group. Art of The World Series.
Sumber: http://arkeologi.web.id