Langkat- Asyik. Setelah 3 jam terombang-ambing dalam jeep menempuh jarak sekitar 88 km, akhirnya saya bersama 4 orang LSM dari Swedia dan Amerika, sampai juga di Bukit Lawang. Kelelahan selama perjalanan langsung terbayar begitu memasuki kawasan hijau asri dengan aliran sungai yang jernih di wilayah Bohorok itu.
Bukit Lawang (BL) tidak pernah sepi. Hampir tiap hari, ada saja orang yang datang. Ada yang sekadar menikmati pemandangan, ada pula yang melakukan petualangan. Tidak hanya wisatawan dalam negeri, tapi juga mancanegara.
Seperti siang itu, banyak wisatawan Belanda dengan pakaian santai plus ransel yang biasa digunakan untuk naik gunung berjajar di ruang makan. "Mereka baru saja, menelusuri Bukit Lawang," tutur Khairuddin, Koordinator Program Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bohorok.
Wisatawan mancanegara yang akrab disebut backpacker ini memang senang memilih perjalanan mengelilingi BL. Tak jarang ada yang rela menghabiskan berminggu-minggu untuk melakukan petualangan tersebut. Padahal aktivitas yang bisa dilakukan di BL tidak semata untuk petualangan saja, tapi bisa pula melihat aktivitas orangutan lewat pusat pengamatan.
Konservasi Orangutan
Sayangnya, karena waktu kedatangan saya sudah terlalu siang, sekitar pukul 13.00, maka saya tidak berkesempatan mengamati tingkahlaku orangutan di BL. Memang kalau tujuan Anda ingin melihat orangutan makan di tengah hutan, pagi hari adalah waktu yang sangat tepat.
Menurut Suherry Aprianto, Direktur Program Konservasi Orangutan Sumatera (PKOS) PanEco-Yayasan Ekosistem Lestari, pusat pengamatan BL tersebut merupakan transformasi stasiun rehabilitasi yang lama menjadi pusat pengamatan orangutan. Jadi selain sebagai objek wisata, BL juga kerap dijadikan sarana penelitian.
Populasi orangutan di tempat itu sekitar 28 ekor. Namun secara keseluruhan, populasi orangutan yang ada di kawasan Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) ini ada sekitar 5000 ekor. Sebagai catatan, BL tersebut masih berada di wilayah TNGL.
Sebelumnya, pusat pengamatan tersebut memang berfungsi sebagai pusat rehabilitasi atau karantina. Namun dalam perkembangannya pusat karantina orangutan lantas dipindahkan ke daerah Batumbelin Sibolangit. Sayangnya tempat tersebut masih belum dipublikasikan dan diperuntukkan bagi umum.
Meski begitu saya bersama Danielle, seorang rekan dari Organisasi Ashoka Amerika, sempat mengunjungi karantina tersebut. Dan menurut Dr. Sofyan Tan, Ketua Yayasan Ekosistem Lestari yang juga mengurusi karantina tersebut, saya adalah wartawan pertama yang bisa masuk ke karantina orangutan tersebut.
Saya sempat terkejut saat dibilang bahwa Desy Ratnasari juga dikarantina di sini. "Bukan Desy yang artis itu, tapi ini Desy orangutan," tukas Ian Singleton, Ph.D., doktor asal Inggris yang banyak mengurusi orangutan di pusat karantina tersebut.
Saat di karantina tersebut, saya tidak diizinkan masuk. Diperlukan tes kesehatan secara menyeluruh bila ingin melihat orangutan dari dekat. Hal ini menurut Ian Singleton, supaya penyakit yang diidap manusia tidak menulari orangutan yang masih dalam perawatan itu.
Pangan Organik
Kemudian, dengan dipandu oleh Khairuddin, saya bersama rekan dari LSM mengelilingi areal yang dikembangkan oleh PPLH ini. Mulai dari ecolodge, tempat pengomposan, sampai lahan yang digunakan untuk pertanian organik. Jadi semacam tur wisata.
Ecolodge adalah pondok wisata yang bersifat ekologis. "Sesuai dengan namanya, kami mencoba untuk mengemas ecolodge dengan nuansa lingkungan. Mulai dari penginapan, desain bangunan, makanan yang ada di restoran sampai sampahnya mempunyai muatan pendidikan lingkungan hidup," terang Suherry.
Makanan maupun minuman yang disajikan benar-benar alami. Harapannya bahwa makanan yang dihidangkan nantinya berasal dari bahan alam yang organik. Untuk itu, saat ini PPLH juga melakukan pengomposan atas sampah organik.
Di kawasan tersebut, memang terlihat berbagai tempat sampah yang terbuat dari ban bekas. Ada yang ditulisi organik dan anorganik. Maksudnya tentu saja untuk memilah sampah yang bisa didaurulang dan yang tidak. Sampah organik akan didaur menjadi kompos yang digunakan sebagai pupuk bagi lahan pertanian. Sedangkan sampah anorganik, seperti plastik, akan dikumpulkan kemudian dijual ke penampungan.
Intinya, setiap bagian yang ada di sekitar pasti akan dimanfaatkan. Program tersebut, menurut Dr. Sofyan juga biasa diberikan kepada anak-anak sekolah yang datang berkunjung ke BL. Jadi siapa saja bisa datang berkunjung ke sini. Selain berwisata, pengunjung juga mendapat pengetahuan.
Untuk mencapai BL, Anda bisa naik kendaraan pribadi atau kendaraan umum. Bila ingin naik bus, Anda bisa menggunakan bis Pembangunan Semesta atau minibus jurusan Medan - Bukit Lawang dari terminal Pinang Baris Medan. (SENIOR/Diana Yunita Sari)
Sumber: www.kompas.com (22 April 08)