Jakarta - Pariwisata sebagai ilmu mandiri punya potensi berkembang, karena dari perspektif filsafat ilmu, pariwisata memiliki basis yang kuat dan syarat-syarat ontologis, epistemologis, serta aksiologis sudah terpenuhi. Dari segi aplikasi pun, ilmu pariwisata sangat bermanfaat seiring dengan meningkatnya jumlah wisatawan dunia dari 25 juta orang pada tahun 1950 menjadi 800 juta pada saat ini.
”Karena itu, keraguan atas status keilmuan dari ilmu pariwisata sudah saatnya ditinggalkan dan pariwisata hendaknya semakin ditumbuhkembangkan dalam sistem pendidikan tinggi,” kata Kepala Badan Pengembangan Sumberdaya Budpar, Departemen Budaya dan Pariwisata I Gusti Putu Laksaguna, Rabu (2/4). Dia mengatakan hal itu dalam seminar nasional Sosialisasi Ilmu Pariwisata dan Pembukaan Program S-1, S-2, dan S-3 Pariwisata Secara Mandiri di Jakarta. Pembicara lain yang tampil adalah Direktur Akademik Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional Tresna Dermawan K.
Tresna mengatakan, pendidikan kepariwisataan berkembang di seluruh dunia. Bahkan di beberapa negara maju, seperti Inggris dan Kanada, telah ada pendidikan kepariwisataan tingkat magister, yaitu manajemen kepariwisataan di University of Westminster.
Menurut dia, sebagai bidang ilmu, kepariwisataan harus memiliki cakupan formal dan material kepariwisataan. Dapat dijabarkan secara jelas kaitan antara manusia, alam, dan sumber daya lainnya dalam cakupan kepariwisataan.
IG Putu Laksaguna mengutarakan, untuk dapat melakukan analisis yang menyeluruh, diperlukan adanya pengembangan pariwisata sebagai suatu ilmu yang mandiri, sejajar dengan disiplin-disiplin ilmu lainnya.
Sumber: www.kompas.com (3 April 2008)