Memanggungkan Budaya Dayak

Oleh Defri Werdiono dan Dwi Bayu Radius

Mardy Darau (53) mengayunkan baliung kuat-kuat. Di hari yang terik, mata kapak khas Dayak dengan pahut atau ikatan rotan itu menghujam keras ke pohon takapas. Peluh bercucuran dan napas Mardy terengah-engah. Kurang dari 10 menit, pohon itu akhirnya tumbang juga.

Di hutan tepi Sungai Rungan, Kelurahan Petuk Katimpun, Kecamatan Jekan Raya, Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Selasa (7/6), Mardy bekerja. Pohon itu lalu dipotong-potong dengan panjang masing-masing sekitar 50 sentimeter (cm). Dalam waktu sekitar satu jam, pohon dengan tinggi sekitar 10 meter dan diameter 20 cm itu menjadi bilah-bilah kayu bakar.

Mardy kemudian berkemas. Botol air minum, beliung, dan parang dimasukkan ke keba, tas dari anyaman rotan. Diangkutnya kayu-kayu itu menuju perahu. Meski hanya bercelana pendek dan bertelanjang kaki, Mardy ringan saja melangkah di atas tanah hutan yang berlumpur. Sesekali ia terperosok ke dalam lumpur, tetapi dengan sigap dia kembali berjalan.

Aktivitas Mardy merupakan tradisi masyarakat Dayak yang disebut maneweng (menebang) manetek (memotong), dan manyila (membelah) kayu. Tradisi diakhiri dengan menyusun bilah-bilah kayu bakar itu di atas tungku agar lebih cepat kering.

Pengalaman menyusuri hutan untuk mencari kayu bakar dilakoni Mardy sejak umur 10 tahun. Kemampuan turun-temurun dari leluhurnya itulah yang ia andalkan ketika mengikuti lomba maneweng manetek manyila dalam Festival Budaya Isen Mulang (FBIM) 2011.

Dalam lomba itu, batang kayu berdiameter 20 cm yang ditebang harus roboh pada titik jatuh yang sudah ditentukan. Selanjutnya, kayu dipotong-potong dan disusun berbentuk segi empat. Dalam waktu kurang dari 15 menit, seluruh aktivitas itu sudah harus selesai.

Selain mengingatkan masyarakat Dayak di perkotaan akan pekerjaan penduduk desa, lomba ini sekaligus menunjukkan kearifan lokal masyarakat Dayak dalam memenuhi kebutuhannya. Menebang kayu dengan alat sederhana tidak akan merusak hutan seperti halnya para pengelola hak pengusahaan hutan atau pemegang izin pemanfaatan kayu berkedok membuka perkebunan yang dalam waktu singkat bisa menggunduli berhektar-hektar hutan.

Lestarikan budaya
Festival Budaya Isen Mulang (pantang menyerah) adalah kegiatan yang bertujuan melestarikan seni, budaya, dan aktivitas masyarakat Dayak di Kalteng. Kegiatan yang melibatkan 14 kabupaten/kota tersebut merupakan agenda tahunan untuk memperingati ulang tahun Kalteng dan rutin digelar di Palangkaraya.

Selain tebang pohon, ada 16 lomba lain dalam FBIM 2011, antara lain manyipet (menyumpit), mangenta (membuat emping dari ketan), malamang (memasak lemang), besei kambe (jukung berlawanan), serta dua permainan tradisional Dayak habayang (gasing) dan balugu (permainan menggunakan batok kelapa).

Partisipasi melestarikan tradisi itu pula yang dilakukan Kartini (28). Peserta asal Kabupaten Murung Raya itu terlihat sibuk menjadi peserta lomba malamang. Ia tidak canggung memasak lemang seperti yang sering dilakukan di rumahnya. Setelah mencuci dan merendam beras ketan selama 20 menit, ia kemudian meniriskannya. Beras lalu dimasukkan ke bambu bersama garam, gula, dan santan kelapa. Peluh bercucuran dan napasnya memburu meniup arang agar tetap menyala. Ia sangat berhati-hati agar bara tetap hidup tanpa membuat api menjilat batang bambu. Setelah 1,5 jam, bambu dibelah.

Lemang seberat 400 gram dengan panjang 50 cm dan diameter 5 cm itu mengepulkan uap harum. Disajikan dengan ikan haruan, tempoyak, dan sambal serai, lemang siap dihidangkan.

”Untung saya sudah sering memasak lemang. Perpaduan gurih, asin, manis, dan tingkat kematangan dinilai juri paling merata,” kata Kartini yang tampil sebagai juara.

Di sudut lain, kaki-kaki telanjang menari di atas pasir tepi Sungai Kahayan yang airnya mengalir tenang. Diiringi suara gemerincing gelang-gelang perunggu, raut para penari suku Dayak yang membaur dengan seribuan penonton itu tak pernah lepas dari senyum.

Usai menari, Krianus (30), peserta lomba jukung hias itu terengah-engah. Badan warga Putai, Kecamatan Dusun Tengah, Barito Timur, yang bermandi peluh itu diempaskan di tanah yang tergenang air sungai, tepat di bawah jembatan yang lokasinya berada di pinggiran Kota Palangkaraya.

Lebih kurang satu jam Krianus menari nyaris tanpa henti di atas perahu yang dihias ornamen bermotif khas suku Dayak. Hiasan menyerupai kepala naga bertengger di bagian depan perahu. Krianus dan empat rekannya sesama penari mengenakan ikat kepala dengan bulu burung enggang. Busana kain kanrung dipadu dengan seramben, aksesori yang terdiri atas tulang dan gigi babi hutan menghiasi badan.

Diiringi suara alat musik tradisional bertalu-talu yang ditabuh tujuh rekannya, ia menampilkan tarian Dadas dan Bawo. Sore itu, Krianus menempuh jarak 2 kilometer dengan perahunya dari Jembatan Kahayan ke Pelabuhan Rambang, lalu kembali lagi. Jemari Krianus lincah memutar-mutar mandau dan perisai.

Begitulah, selama sepekan suasana Palangkaraya, kini diwacanakan menjadi ibu kota Republik Indonesia, yang biasanya sepi menjadi ramai. Keramaian terjadi, terutama di seputaran Lapangan Sanaman Mantikei, tempat Isen Mulang digelar. Banyaknya warga yang hendak menikmati hiburan dan berbelanja di Kalteng Expo yang digelar di tempat yang sama membuat jalan-jalan yang biasanya lengang menjadi macet. Hampir semua hotel penuh oleh tamu dari luar.
Mengangkat budaya

Isen Mulang memang menjadi kegiatan terbesar yang memanggungkan seni dan budaya Dayak di Kalteng.

Sejumlah peserta menilai, agenda ini sangat bermanfaat untuk melestarikan nilai-nilai luhur budaya Dayak. Mardy Darau tadi, misalnya. Ia mengatakan, orangtua hingga kakeknya yang tinggal di Desa Tehang, Kecamatan Tehang, Kabupaten Gunung Mas, terbiasa masuk ke hutan untuk mencari kayu. Kini, Mardy masih setia melakukan tradisi itu.

Kompas/Totok Wijayanto (TOK)
Peserta Menyipet (menyumpit) dari Kabupaten Barito Utara tengah membidik sasaran dalam Festival Budaya Isen Mulang di Lapangan Sanaman Mantikei, Palangkaraya, Kalimantan Tengah, Jumat (20/5). Seiring dengan semakin berkurangnya hutan di Kalimantan, fungsi sumpit tidak hanya untuk berburu dan berperang, tapi telah bergeser sebagai suvenir hingga olahraga yang dilombakan.

Pergi ke hutan dilakukan Mardy hampir setiap hari. Meski sudah pindah di Palangkaraya sejak 1983, Mardy setia menggunakan kayu bakar. Di bagian belakang dapur rumahnya terlihat tungku berukuran 1 meter persegi. Di bagian tengah tungku berjajar dua batang besi untuk menahan wajan, teko, atau panci. Adapun bagian atas tungku digunakan sebagai rak menyimpan kayu bakar.

”Di sekitar sini masih banyak kayu, jadi saya pakai itu untuk memasak. Rasanya lebih enak,” katanya.

Menurut Kepala Subbagian Penyusunan Program Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kalteng Syahmin, maneweng manetek manyila kayu tak bisa dikaitkan dengan pembalakan liar. Tradisi Dayak tersebut merupakan penerapan kearifan lokal dengan mengambil kayu di hutan seperlunya saja.

”Setiap kali membutuhkan kayu, hanya satu pohon yang ditebang. Kalau illegal logging itu penebangan pohonnya berskala besar,” katanya.

Pohon yang ditebang untuk kayu bakar pun umumnya sudah tidak produktif. Tanaman itu seperti pohon karet yang sudah tua atau berumur lebih dari 30 tahun. Jenis-jenis pohon lain yang biasa ditebang yakni hangkang dan katiau. Setelah pohon dipilih, titik jatuh pohon ditentukan sehingga diupayakan tidak merusak tanaman lain ketika roboh.

Ramadan (50), pemain sumpit dari Kabupaten Barito Utara, mengatakan, teknologi modern seperti televisi dan telepon genggam kini sudah masuk ke kota-kota kecil di pedalaman. Keterbukaan informasi itu bisa membawa pengaruh asing yang mengikis budaya setempat bila tidak diantisipasi. Karena itu, FBIM yang diadakan setiap tahun diharapkan mampu mengingatkan masyarakat secara rutin mengenai keunggulan berbagai budaya lokal di Kalteng.

Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kabupaten Gunung Mas Yokdi mengatakan, festival seperti Isen Mulang ini tidak hanya mengangkat kebudayaan, tetapi juga harkat dan martabat masyarakat Dayak ke skala yang lebih luas. ”Satu lagi yang penting, festival ini berguna mempertebal rasa kebersamaan masyarakat Dayak dari 14 kabupaten/kota,” ujarnya.

Kekurangan
Sayangnya, sebagai festival seni dan budaya terbesar di Kalteng yang sudah berlangsung lebih dari 20 tahun, acara kurang dikemas dengan apik.

Dalam lomba tari pedalaman misalnya, ukuran panggung kurang lebar dan banyak penonton merangsek maju. Akibatnya, ribuan penonton di bagian belakang tidak bisa menikmati tarian secara maksimal. Padahal, setiap daerah sudah antusias menampilkan tarian lengkap dengan pakaian khas pedalaman yang eksotik.

Kepala Bidang Nilai Budaya Seni dan Film Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kalteng Rothena Hawung mengakui masih terdapat kekurangan. Promosi, misalnya, hanya dilakukan melalui media massa lokal dan hotel, serta penyebaran pamflet di Kalteng.

Padahal, jika promosi dilakukan lebih luas dengan menggandeng biro perjalanan wisata internasional, bukan tidak mungkin acara ini menjadi salah satu agenda pariwisata yang menjual.... (M Suprihadi)

-

Arsip Blog

Recent Posts