Membangun Kembali Industri Pariwisata

Medan - Meski dengan rasa sedikit ngeri melihat jurang di sisi jalan selama perjalanan dari Tele menuju Pangururan, namun rasa takjub terhadap keindahan panorama alam Danau Toba mengurangi kekhawatiran. Rasanya tak percaya Tuhan bisa menciptakan panorama alam seindah Danau Toba dan gugusan bukit yang mengelilinginya.

Mendekati Pangururan, pandangan luasnya Danau Toba sedikit terhalang oleh permukiman penduduk dan hijaunya persawahan. Namun, itu pun masih belum mengurangi rasa takjub karena kehidupan pedesaan yang terasa alami.

Lebih dari satu dasawarsa yang lalu, panorama Danau Toba menjadi magnet bagi wisatawan domestik dan mancanegara. Total kedatangan wisatawan asing di Bandara Polonia Medan tahun 1996 tercatat 225.368 orang. Setahun sebelumnya, atau tahun terakhir ketika rute penerbangan Medan-Amsterdam ditutup, wisatawan mancanegara yang datang melalui Polonia sebanyak 217.647 orang.

Saat krisis moneter melanda negeri ini tahun 1997, jumlah kedatangan wisatawan mancanegara mulai menurun tajam, hanya 174.724 orang. Jumlah wisatawan mancanegara semakin menurun tahun-tahun berikutnya dan mencapai titik terendah pada tahun 1998 dengan 70.441 orang.

Kerusuhan di berbagai kota di Indonesia, termasuk Medan, yang mengawali proses reformasi menjadi penanda mulai suramnya dunia pariwisata di Sumatra Utara (Sumut). Kondisi ini semakin diperparah dengan rentetan tragedi bom di berbagai tempat di Tanah Air dengan peristiwa bom Bali tahun 2002 sebagai puncaknya. Indonesia pun semakin dijauhi wisatawan mancanegara.

”Pengaruh bom Bali sampai kini masih terasa, termasuk di Sumatra Utara. Masih banyak pertanyaan soal tingkat keamanan berbagai tujuan wisata di dalam negeri,” ujar Kepala Badan Pariwisata Daerah Sumatra Utara Henry Hutabarat.

Sektor pariwisata pun tak lagi menjadi primadona di Sumut seperti juga daerah lainnya di Indonesia. Apalagi salah satu tujuan wisata favorit lainnya di Sumut, Bukit Lawang, dihantam bencana banjir Bahorok tahun 2003. Banyak pondok-pondok wisata di pinggir Sungai Bahorok yang menjadi tempat menginap favorit backpacker asal Eropa hampir habis terseret banjir.

Banjir Bahorok ternyata bukan bencana alam terakhir yang terjadi di Sumut dalam dekade 2000-an. Gempa bumi dan tsunami yang terjadi di Nias tahun 2005 ikut pula memporakporandakan industri pariwisata Sumut. Nias, terutama Nias Selatan, menjadi salah satu tempat paling banyak dikunjungi wisatawan asing untuk surfing di Indonesia selain Kuta dan Mentawai. Akibat gempa bumi, permukaan karang di Pantai Sorake, Nias Selatan, jadi naik ke permukaan. Surfer harus berjalan melewati karang yang terasa tajam di telapak kaki untuk bisa mendapatkan ombak terbaik.

Namun, ada hikmah di balik berbagai bencana alam ini. Datangnya bantuan dari luar negeri beserta aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM) asing mulai mendongkrak jumlah kedatangan orang asing di Sumut. Banyak di antara penggiat LSM asing yang kemudian sengaja berlibur dan menikmati berbagai tujuan wisata di sela waktu senggang tugas mereka.

Sorake Beach Hotel—salah satu hotel terbaik di Nias Selatan, tempat wisatawan mancanegara menginap sebelum menaklukkan ombak tinggi Pantai Sorake—meski tak terurus baik sejak menurunnya jumlah turis asing, mulai kembali didatangi. Selain tentu saja beberapa penginapan kecil yang berada di sekitar Pantai Sorake.

”Sekarang sudah mulai ramai lagi turis asing yang mau surfing di Sorake. Setiap bulan mungkin ada sekitar 50 hingga 70 turis asing yang surfing di sini,” ujar Victor Harefa, salah satu pemilik biro perjalanan di Nias.

Menurut Henry, dalam tiga tahun terakhir mulai terjadi peningkatan jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Sumut. Daerah tujuan wisata di Sumut pun mulai berkembang, tidak hanya destinasi tradisional seperti Danau Toba atau Bukit Lawang yang mulai berbenah pascabanjir Bahorok.

Tujuan wisata baru seperti arung jeram Sungai Asahan hingga obyek wisata bahari seperti Pulau Berhala di Serdang Bedagai mulai ditawarkan investor. Investor asing dan domestik pun mulai tertarik membangun kembali sektor pariwisata di Sumut seperti membangun Pantai Cermin Theme Park di Serdang Bedagai hingga Taman Simalem Resort di Karo. Bukan hanya investor, masyarakat pun bisa swadaya membangun daerahnya menjadi tujuan wisata unggulan seperti di Tangkahan yang berada di perbatasan Taman Nasional Gunung Leuser di Kabupaten Langkat.

”Potensi unggulan daerah wisata di Sumut masih cukup banyak. Selain Danau Toba, Bukit Lawang, Tangkahan, Nias Selatan, Medan pun mulai berkembang menjadi tempat berbagai pertemuan skala besar,” katanya.

Menurut Henry, jika dikelola dengan baik sebenarnya daerah wisata di Sumut memiliki potensi yang jauh lebih baik dari Malaysia sekalipun. Dia mencontohkan, arung jeram di Sungai Asahan sudah dilirik oleh penggila olahraga rafting.

”Tahun 2006 tim arung jeram Korea Selatan berlatih untuk kejuaraan dunia di Sungai Asahan. Di Korea Selatan, satu kota kecil bisa didatangi 500.000 rafter setiap tahunnya. Coba kalau Sungai Asahan ini dikelola dengan baik, saat musim dingin rafter dari Eropa maupun Korea Selatan bisa memanfaatkan Sungai Asahan karena dari tempatnya mereka enggak bisa bermain,” katanya.

Sumut, lanjut Henry, tahun 2007 sempat menjadi tuan rumah Pan Asia Hash yang mendatangkan hasher dari berbagai negara di Asia. ”Bukan lagi ratusan yang datang, tetapi sudah ribuan,” ujar Henry.

Henry yang juga pemilik Hotel Siantar ini mengungkapkan, persoalan utama untuk membangkitkan kembali industri pariwisata di Sumut adalah infrastruktur dan akomodasi yang memadai di daerah wisata. Rusaknya sarana jalan di Sumut menjadi penghalang bagi wisatawan untuk mengunjungi berbagi obyek wisata.

Seperti ketika melewati jalan antara Tele menuju Pangururan di Pulau Samosir, keindahan panorama alam masih dibayangi kengerian karena rusak dan sempitnya jalan. Untuk menuju Danau Toba dari Medan, paling tidak dibutuhkan waktu hingga enam jam karena kondisi jalan yang tak mulus. Sementara, jika melewati jalan alternatif ke Danau Toba melewati Berastagi di Kabupaten Karo pun setali tiga uang. Rusaknya jalan mengganggu kenikmatan perjalanan.

”Coba saja nikmati perjalanan ke Tangkahan. Sampai di Tangkahan memang kita bisa menemukan betapa alaminya hutan hujan tropis di Sumatra. Namun untuk menuju ke Tangkahan, bisa-bisa kita lelah dalam perjalanan,” kata Henry.

Akomodasi juga menjadi persoalan. Berbagai tujuan wisata baru yang menjanjikan justru tak memiliki akomodasi memadai. ”Kalau ada rafter yang mau berarung jeram ke Sungai Asahan pasti bingung, di mana harus menginap. Belum lagi fasilitas pendukung lainnya belum tersedia. Yang dibutuhkan sebenarnya kan hanya penginapan sederhana dan bersih,” katanya.

Nias Selatan yang dulu menjadi tujuan favorit surfer berbagai negara hanya menyisakan Sorake Beach Hotel dan beberapa penginapan kecil seadanya. Padahal, tahun 2000 lalu Pantai Sorake sempat jadi tuan rumah kejuaraan surfing internasional. ”Billabong dulu sempat menawarkan kerja sama hingga lima tahun sejak tahun 2000 untuk kegiatan surfing internasional. Tetapi dukungan yang minim dari pemerintah daerah membuat sponsor pun menarik diri,” ujar Victor.

Sebenarnya melihat tingkat hunian hotel di Sumut tak jauh beda dengan daerah tujuan wisata unggulan Indonesia lainnya, seperti Bali atau Yogyakarta. Tahun 2004, tingkat hunian hotel bintang empat di Sumut mencapai 38,95 persen. Bandingkan dengan Bali yang 54,71 persen dan Yogyakarta yang 50 persen. Lamanya wisatawan tinggal di Sumut juga tak jauh berbeda dengan Bali dan Yogyakarta. Lamanya tinggal wisatawan di hotel bintang empat Sumut pada tahun 2004 selama 1,33 hari, sementara Bali 3,85 hari dan Yogyakarta 1,82 hari.

Persoalan komitmen pemerintah daerah membangun daerah wisata juga dipertanyakan. Danau Toba yang wilayahnya menjadi tanggung jawab lima kabupaten (Simalungun, Toba Samosir, Samosir, Dairi, dan Karo) tak pernah jelas peruntukannya. Konsep membuat zonasi Danau Toba antara pariwisata dan perikanan tak pernah bisa dilakukan karena masing-masing pemerintah daerah mempertahankan ego masing-masing.

”Akhirnya investor pun bingung bagaimana mau mengembangkan Danau Toba. Maunya kalau satu wilayah dikembangkan dulu secara serius baru wilayah lain mengikutinya. Seperti di Tuktuk, kembangkan saja dulu. Kalau sudah bisa berkembang dengan bagus, baru wilayah lain dikembangkan,” kata Henry.

Pemprov Sumut yang mestinya bisa menjembatani pemerintah kabupaten ternyata juga tak bisa menyelesaikan masalah. Pemangku kepentingan di Pemprov Sumut malah menjadi masalah sendiri.

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Sumut yang seharusnya menjadi pemangku kepentingan utama kembali menggairahkan industri pariwisata justru mandul.

Dua periode dinas ini dipimpin oleh birokrat yang sama sekali tak paham masalah pariwisata. (Khaerudin)

Sumber: www.kompas.com (10 April 2008)
-

Arsip Blog

Recent Posts