Oleh Nur Istibsaroh
"Kota tanpa kota lama, ibarat manusia tanpa ingatan." Kalimat yang disampaikan pakar tata kota, Profesor Eko Budhiarjo itu, sangat tepat menjadi pondasi untuk meng-"uri-uri" bangunan bersejarah.
Sayangnya, Prof Eko saat ini mendapati banyak kota di Indonesia yang tidak peduli pada kota-kota lama beserta gedung-gedung di dalamnya, padalah kota modern yang kini tumbuh, cikal bakalnya adalah adalah kota-kota lamanya.
Begitu juga dengan Kota Semarang yang memiliki Kota Lama atau yang juga biasa disebut dengan "Little Netherland". Namun bagaimana nasib "Little Netherland" kini?
Kota Semarang pada masa lampau, banyak memiliki bangunan yang berfungsi sebagai kantor, gudang, tempat ibadah, stasiun, dan pusat belanja. Salah satunya, Gereja GPIB Immanuel yang terletak di Jalan Letjend Suprapto No. 32 dengan atap seperti irisan bola sehingga orang mengatakan "blenduk", sehingga lebih dikenal sebagai Gereja Blenduk (Nederlandsch Indische Kerk).
Gereja Kristen tertua di Jawa Tengah yang sampai saat ini masih digunakan sebagai tempat ibadah ini dibangun masyarakat Belanda yang tinggal di Semarang pada tahun 1753 dengan bentuk heksagonal atau persegi delapan, direnovasi tahun 1894 oleh W. Westmaas dan H.P.A. de Wilde, yang menambahkan kedua menara di depan bangunan gereja.
Di sekitar Gereja Blenduk juga terdapat sejumlah bangunan lain dari masa kolonial Belanda, seperti Stasiun Semarang Tawang yang merupakan stasiun induk di Tanjung Mas, Semarang Utara. Stasiun yang melayani kereta api eksekutif dan bisnis ini merupakan salah satu stasiun kereta api tertua di Indonesia.
Lapangan di depan Stasiun Tawang (sekarang menjadi polder) juga mempunyai nilai historis yang tinggi, menjadi ruang terbuka dari Kota Lama yang difungsikan sebagai tempat upacara, olahraga, pertandingan, dan sebagainya.
Berhadapan dengan Gereja Blenduk terdapat gedung karya Thomas Karsten di tahun 1916 yang kini menjadi gedung Asuransi Jiwasraya dan masih dalam kompleks Kota Lama juga terdapat Pasar Johar yang pada tahun 1860, pasar terbesar di Jateng ini merupakan bagian dari alun-alun.
Disebut Pasar Johar karena di daerah tersebut tumbuh pohon johar atau mahoni yang digunakan untuk berteduh sehingga pedagang berjualan di bawah pohon tersebut yang terus berkembang dan membesar menjadi pasar. Berdasarkan kreasi Thomas Karsten, 1865 dibangunlah tempat berjualan dan dikenal sebagai Pasar Johar.
Di kawasan Pasar Johar sebelumnya terdapat kompleks Kanjengan serta alun-alun akan tetapi sekarang sudah tidak ada, hanya tersisa Masjid Agung Kauman. Kawasan Kota Lama lebih dikenal sebagai "little Netherland".
Begitu banyak bangunan lama dan memiliki nilai sejarah yang tinggi di kawasan Kota Lama Semarang. Tidak sedikit masyarakat yang memanfaatkan sebagai tempat wisata, lokasi syuting, lokasi pengambilan gambar untuk model atau pre wedding, meskipun sebagian kawasan tersebut saat ini tidak bisa menghindar dari terjangan air pasang laut (rob).
Belum lagi, dari data yang dimiliki oleh dosen konservasi bangunan dan situs pasca-sarjana arsitek Universitas Katolik (Unika) Soegijapranata Semarang, Kriswandhono yang menyebutkan bahwa tidak sedikit bangunan yang tidak dimaksimalkan (mangkrak dan rusak karena tidak dirawat).
Berdasarkan rencana tata bangunan dan lingkungan tahun 2003, di kawasan Kota Lama terdapat 105 bangunan, 80 bangunan di antaranya dimanfaatkan atau berpenghuni. Sedangkan sisanya kosong.
"Dari 80 bangunan tersebut, mayoritas merupakan perkantoran dan hanya 30 persen sebagai tempat tinggal," kata Kriswandhono yang juga penasihat Badan Pengelola Kawasan Kota Lama (BPK2L) Kota Semarang ini.
Perlu Perhatian Bersama
Kriswandono mengatakan bahwa saat ini kawasan Kota Lama Semarang memprihatinkan dan sudah keharusan untuk menghidupkan kembali agar bisa memberi nilai dan manfaat sebagai cagar budaya. Nilai dan manfaat tersebut, tidak harus selalu ekonomis, akan tetapi bisa dilihat dari sisi ilmu pengetahuan sebagai sejarah kota.
Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan melibatkan masyarakat sekitar seperti pameran, minimal dua tahun sekali, serta acara lainnya seperti yang mulai diterapkan di Gedung Lawang Sewu yang terletak di depan Tugu Muda Semarang (sama sebagai cagar budaya).
Dalam UU Nomor 11 Tahun 2010 disebutkan bahwa bangunan yang ditelantarkan dikuasai pemerintah. Akan tetapi kata-kata dikuasai tidak sederhana, karena tentu harus terlebih dahulu dipastikan bangunan yang ada ada tidak pemiliknya.
Langkah tepat jika Pemkot Semarang melalui BPK2L mendata bangunan yang ada di kawasan Kota Lama Semarang, karena banyak bangunan yang kepemilikannya tidak jelas.
"Saat ini banyak bangunan yang kepemilikannya tidak jelas. Nantinya akan dicek kebenaran dokumennya," kata Kepala BPK2L, Semarang, Rohman.
Pendataan bangunan tersebut dimaksudkan untuk mengetahui pihak yang bertanggung jawab terhadap pemeliharaan bangunan. Hal tersebut, untuk mengantisipasi kejadian serupa ada bangunan yang tidak terawat kemudian roboh tidak ada yang mengakui.
"Jangan sampai kalau bangunan roboh tidak mau mengakui, tetapi nanti setelah kawasan Kota Lama sudah tertata dengan baik kemudian antusias merasa menjadi miliknya," katanya.
Kawasan Kota Lama Semarang, kata Rohman, sekitar tujuh tahun terakhir selalu terkena rob. Akibatnya, mempercepat kerusakan bangunan yang tidak ditempati.
"Padahal 20 tahun lalu, kawasan Kota Lama masih menjadi lokasi yang luar biasa bagus, belum tercemar, belum banyak pedagang kaki lima (PKL). Dulu juga menjadi pusat pemerintahan, pusat perdagangan, dan pusat hiburan. Akan tetapi sekarang banyak yang ’mangkrak’," katanya.
Terkait dengan perhatian Pemkot Semarang terhadap kawasan Kota Lama, ujar Rohman, baru tahun ini dianggarkan Rp50 juta.
Anggaran Rp50 juta tersebut, bagi anggota dewan Komisi B DPRD Kota Semarang, Wiwin Subiyono, sangat sedikit. Ditambah lagi, anggaran tersebut bukan masuk anggaran utama, tetapi masuk hibah.
Pengelolaan dan pemeliharaan kawasan kota lama oleh Pemkot Semarang, lanjut Wiwin, masih rendah dan untuk pemeliharaan bisa dilakukan dengan cara memberikan subsidi kepada pemilik bangunan untuk memperbaiki bangunan tanpa mengubah keasliannya.
Upaya lain yang bisa dilakukan dengan meringankan pajak, memperbaiki infrastruktur, memperbaiki drainase, penyediaan penerangan yang maksimal, dan adanya jaminan keamanan.
Buah dari memberikan insentif kepada pemilik bangunan dan seluruh pemeliharaan tersebut, dapat dipetik manfaatnya kemudian, kawasan Kota Lama menjadi kawasan wisata yang lebih menarik dan menjadi magnet Kota Semarang.
Perhatian Pemkot Semarang terhadap kawasan Kota Lama, menurut Wakil Ketua Komisi B DPRD Kota Semarang, Ari Purbono, juga dapat dilakukan dengan menerapkan program berkelanjutan dan tidak sekadar ’event’ sesaat.
"Pemkot Semarang seharusnya tidak hanya fokus dalam pengembangan Kota Semarang sebagai Kota Metropolitan tanpa meninggalkan kekhasan dan keunikan kota, yakni kawasan Kota Lama. Kalau tidak, maka harus dipertanyakan sebenarnya penanganan kawasan Kota Lama menjadi prioritas atau tidak oleh Pemkot Semarang," katanya.
Menurut Ari untuk melestarikan kawasan Kota Lama tidak bisa dikerjakan sendirian oleh Pemkot Semarang, tetapi harus melibatkan pelaku wisata dan budaya.
Mengenai program berkelanjutan yang tepat, Ari menambahkan bisa diambil dari hasil riset yang pernah dilakukan oleh Pemkot Semarang dan bisa belajar dari daerah lain, seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya.
"Iming-iming" (insentif) dan "amang-amang" (sanksi atau ancaman) bagi Prof Eko diperlukan untuk melestarikan kawasan Kota Lama Semarang, karena saat ini banyak bangunan yang "mangkrak", tidak dimanfaatkan.
"Iming-iming" berupa keringanan hingga gratis pajak dan adanya perizinan yang dipermudah, bisa ditawarkan kepada pihak yang bersedia bekerjasama dengan Pemkot Semarang dalam revitaliasi kawasan Kota Lama. Langkah lain adalah penanganan banjir harus dilakukan dan saat ini sudah ada proyek yang mengarah pada penanganan banjir dan rob di Kota Semarang.
Upaya tersebut, lanjut Prof Eko, tentu tanpa meninggalkan pemilik bangunan yang ada di Kota Lama dengan diajak bicara agar tidak membiarkan bangunan yang ada telantar. Jika dibiarkan bisa diberlakukan "amang-amang", seperti denda atau lainnya sesuai dengan hukum.
"Pemanfaatan Gedung Lawang Sewu untuk pameran, seminar, dan acara lainnya begitu juga bangunan tua yang ada di depan Gereja Blenduk yang sekarang dijadikan rumah makan, itu sangat bagus. Jadi tidak membongkar bangunan yang ada, tapi bisa difungsikan dan bisa menghasilkan dana yang dapat digunakan sebagai anggaran operasional bangunan," katanya.
Bangunan tua yang dikonservasi harus dilihat dari nilai sejarahnya, keunikannya, nilai lebih misalnya tertinggi, serta ada keserasian dengan lingkungan sekitar.
"Bahkan leluhur kita mengatakan bahwa ’yen wis kliwat separoh abad, jwa kongsi binabad’ atau kalau benda atau bangunan sudah berusia lebih 50 tahun agar tidak dibongkar. Selain itu untuk mengetahui bangunan tua yang memiliki nilai sejarah adalah dari nama ’paraban’ atau ’nick name’ seperti Lawang Sewu, Gereja Immanuel yang lebih dikenal Gereja Blenduk, dan lain sebagainya," katanya.
Perhatian Pemkot Semarang terhadap kawasan Kota Lama sudah ada bahkan dijadwalkan pada Mei 2011, di kawasan tersebut akan diadakan pameran dalam rangkaian memperingati Hari Jadi Kota Semarang.
Pemkot Semarang di masa kepemimpinan Wali Kota Sukawi Sutarip juga telah mengeluarkan Surat Keputusan Nomor 650/50/1992 yang mengatur 102 bangunan kuno atau bersejarah di Kota Semarang yang patut dilindungi.
Regulasi tersebut jangan sekadar dibuat dan ikut-ikutan menjadi sejarah, tetapi harus diimplementasikan.
Melestarikan Kota Lama bukan hanya tanggung jawab pemerintah kota, tetapi menjadi tanggung jawab seluruh masyarakat Kota Semarang.
Sumber: http://m.kompas.com