Pawai Budaya TMII Sukseskan VIY 2008

Jakarta - Taman Mini Indonesia Indah atau TMII merupakan miniatur keberagaman Indonesia. Pada Sabtu (19/4) hingga Minggu (27/4), berbagai kegiatan kebudayaan digelar untuk menyambut HUT ke-33 TMII. Seluruh kegiatan ini juga ditujukan menyukseskan Visit Indonesia Year 2008.

Pawai budaya TMII diikuti oleh 17 provinsi, termasuk provinsi-provinsi baru, seperti Banten dan Bangka Belitung. Masing-masing menampilkan kesenian khas daerahnya. Pawai ini menyajikan berbagai kesenian daerah, seperti, tarian, nyanyian, ritual pernikahan, hasil kerajinan tangan, dan sebagainya. Kegiatan tersebut tidak hanya memperkenalkan kebudayaan daerah, tetapi sekaligus mempromosikan kemajemukan budaya Nusantara.

Kegiatan tersebut diselenggarakan untuk mendukung program Visit Indonesia Year (VIY) 2008 yang saat ini giat dipromosikan oleh pemerintah. Sekretaris Jenderal Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) Wardiyatmo mengatakan kegiatan Parade Budaya bertujuan memperkenalkan keberagaman kebudayaan daerah di seluruh Nusantara guna mendukung program VIY 2008. Keragaman budaya seperti itulah yang dapat dinikmati oleh pengunjung, baik lokal maupun luar negeri, yang datang ke Indonesia.

Pawai budaya Nusantara itu mengambil rute yang dimulai dari Plasa Arsipel kemudian mengelilingi jalan lingkar dalam TMII dan kembali ke Plasa yang baru diresmikan pada tahun 2007 itu. Pawai tersebut turut menampilkan marching band dari murid Sekolah Dasar Negeri (SDN) Baru 02 Pagi. Beberapa tempat wisata khas TMII ikut menyemarakan pawai itu, seperti Taman Bunga Keong Mas yang mengangkat tema "Legenda Keong Mas". Legenda itu bercerita mengenai kisah cinta Dewi Sekartaji yang mengubah dirinya menjadi keong mas untuk mencari kekasihnya Raden Inu Kertapati.

Arak-arakan ke 17 provinsi peserta berjalan perlahan, mengikuti rute yang telah ditentukan oleh panitia. Ada yang mengangkat tema pengantin dalam pawainya, seperti wakil Provinsi Sumatra Barat, kontingen Kabupaten Solok yang mempertunjukkan acara pernikahan yang berlaku di masyarakatnya. Pada acara perkawinan tersebut, perempuan memiliki pakaian yang wajib dipakai untuk pesta tersebut. Warna hitam dari pakaian itu melambangkan tingkat derajat atau suku di daerah Kabupaten tersebut.

Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta menampilkan "Ngarak Pengantin Sunat" yang diiringi oleh bunyi-bunyian alat musik khas budaya Betawi, yakni rebana ketimpring dan tanjidor. Salah satu perwakilan pawai DKI dengan logat bahasa Betawi yang kental, menerangkan jika seorang anak lelaki sudah memasuki usia akil balik maka harus segera dikhitan atau disunat sebagai pertanda anak itu telah beranjak dewasa. Kombinasi suara rebana ketimpring dan tanjidor menyemarakkan suasana di podium utama acara pawai. Penonton yang hadir terlihat gembira mendengarkan bunyi alat musik yang sudah jarang terdengar itu.

Pusat perhatian penonton pada pawai tersebut adalah kontingen dari Provinsi Sumatra Utara yang diwakili oleh Kabupaten Nias Selatan. "Faluaya" (tari perang) dan "Hombo Batu" (lompat batu) disajikan secara apik sehingga menarik perhatian orang-orang yang hadir untuk berkumpul di dekat podium utama. Dalam tarian perang, para prajurit meneriakkan kata-kata untuk membangkitkan semangat mereka untuk berperang mempertahankan daerahnya terhadap ancaman bahaya.

"Hombo Batu" merupakan ritual inisiasi atau penobatan bagi pemuda Nias yang ingin menjadi seorang prajurit. Lompat batu pada acara tersebut dilakukan oleh lima orang pemuda. Mereka, dengan ketangkasan dan kepiawaiannya berhasil melompati sebongkah batu setinggi 2,5 meter. Keberhasilan mereka melompati batu merupakan bukti telah siap untuk menjadi prajurit dan ikut berperang mempertahankan daerahnya.

Kepala Humas TMII Jerrimias PT Lahama yang akrab disapa Jerri, mengatakan, pawai tersebut berguna untuk menjaga dan melestarikan kebudayaan Nusantara yang keberadaannya terancam dengan perkembangan zaman modern.

Pengelolaan
Menurut Jerri, pengelolaan TMII dipegang Yayasan Harapan Kita. Sebagian dana pengelolaan TMII berasal dari beberapa komponen pemasukan, misalnya penjualan tiket masuk, penyewaan gedung, dan penggunaan arena bermain, seperti skylift atau kereta gantung, teater empat dimensi, dan teater Keong Mas.

"Tidak ada dana atau subsidi dari pemerintah. Listrik, pajak, dan berbagai retribusi lainnya harus dibayar penuh oleh pihak pengelola TMII, tanpa adanya keringanan biaya apa pun. Sejak zaman orde baru berakhir, pengelolaan TMII dilakukan secara mandiri," katanya.

Pengelolaan anjungan daerah, ujarnya, berasal dari dana pemerintah daerah (Pemda) masing-masing. TMII tidak ikut campur dalam pengelolaannya, hanya memfasilitasi dan mempromosikan kepada masyarakat berbagai kegiatan yang hendak dilaksanakan. Suatu anjungan daerah, kondisinya terawat atau tidak, tergantung dari kemauan Pemdanya apakah mau memberikan asupan dana lebih untuk pengelolaan anjungan mereka itu.

Mengingat fungsi pentingnya yang menjadi tempat wisata budaya di daerah Ibukota, sangat disayangkan TMII tidak terlalu diperhatikan pemerintah. Lagipula, keberadaan berbagai penyelenggaraan acara kesenian di tempat wisata itu, macam pertunjukan alat musik daerah, seni tari, dan wayang, sebenarnya dapat membantu usaha pemerintah untuk membangkitkan kembali industri pariwisata Indonesia. (RRS/U-5)

Sumber: www.suarapembaruan.com (21 April 2008)
-

Arsip Blog

Recent Posts