Jakarta - Salah satu persoalan yang dihadapi bangsa Indonesia adalah perilaku masyarakat yang dengan ringannya melanggar kaidah-kaidah etis-normatif, tradisi, bahkan hukum formal. Kondisi ini, salah satunya, karena sastra kurang diperhatikan. Di sisi lain, sastra sampai sekarang gagal memberikan peradaban di Indonesia.
Demikian benang merah yang mengemuka dalan diskusi bertajuk Sastra dan Pemberadaban, yang digelar Bale Sastra Kecapi, Harian Kompas, dan Bentara Budaya Jakarta, Rabu (25/2) di Bentara Budaya Jakarta. Tiga narasumber yang dihadirkan adalah pengamat sastra Jakob Sumardjo, sastrawan Putu Wijaya, dan sosiolog Tamrin Amal Tamagola.
Putu Wijaya menjelaskan, Sastra Indonesia umumnya masih dikategorikan sebagai hanya kelangenan. Tidak digubris, apalagi dianggap sebagai ilmu oleh para pemimpin dan intelektual. Jadi, kalau mereka buta sastra itu sah. Sastra Indonesia tanpa pembelaan ketika terdepak dari kurikulum. Ditolak oleh beberapa sekolah ketika ada kesempatan bertemu dengan sastrawan karena jam untuk kelas matematika masih kurang.
Padahal, semua karya sastra adalah sebuah tesis, pengetahuan, bukan hiburan. Para sastrawan sebenarnya sudah memberikan sumbangan nyata pada pemberadaban di Indonesia. Namun, karena tidak adanya orang-orang yang menjembatani, tidak adanya kritikus sastra, sastra menjadi tidak hidup. "Sehingga sastra belum memberikan andil dalam proses pemberadaban," tandasnya.
Menurut Putu, kebangkitan sastra pada hakekatnya adalah kebangkitan masyarakatnya. Sastra yang unggul pun akan menjadi bisu, bila masyarakatnya buta huruf, sementara masyarakat yang tinggi apresiasinya akan mengumpan sastra menjadi bergelora menyumbang perkembangan adab manusia.
Jakob Sumardjo mengatakan, dalam sejarah kebudayaan Indonesia, peran sastra lisan maupun tulis sangat menonjol memperadabkan masyarakatnya.
Indonesia sebenarnya memiliki warisan sastra yang kaya raya, yang membuktikan bangsa ini sebenarnya pecinta sastra. "Namun warisan sastra yang kaya raya ini tidak dipedulikan lagi oleh bangsa ini," katanya.
Menurut Jakob, selama ini kita tidak mengenal diri kita sendiri. Dalam bidang sastra, pengetahuan dan pengalaman sastra keindonesiaan kita sangat minim. Kita belum pernah membaca terjemahan dalam bahasa nasional kita I La Galigo yang ribuan halaman itu. Tidak ada terjemahan Kakawin Bharatayudha, Arjuna Wiwaha, Mintorogo, Tambo Minangkabau, pantun Mundinglaya Dikusumah, bahkan penerbitan ulang hikayat-hikayat yang ratusan itu.
"Sastra adalah fiksi, gambaran, imajinasi simbolik dari yang dibutuhkan masyarakatnya sebagai panduan memberadabkan diri," tambahnya.
Menurut Tamrin Amal Tamagola, karya sastra yang bagus akan berpengaruh kalau masyarakatnya active reading. Karya sastra membantu kita mengenali diri sendiri, berefleksi secara mendalam, menyentuh manusia dan kemanusiaan. "Karya sastra itu sebaiknya menyangkut kerisauan orang banyak," ujarnya.
Sumber: http://oase.kompas.com (26 Februari 2009)