Yogyakarta - Ketika berkunjung dan bermalam di Yogyakarta, maka siapa pun tidak ada salahnya mengisi makan malam dengan menyantap sate klatak, yakni sate kambing khas Pasar Jejeran, Wonokromo, Pleret, Bantul, Jawa Tengah.
Di dalam pasar itu ada beberapa warung sate klatak yang buka mulai sore hingga malam.
Sate klatak yang dijajakan di pasar yang terletak sekitar 12 km arah selatan Yogyakarta itu berbeda dengan sate kambing pada umumnya. Sate klatak tidak dibaluri bumbu sebagaimana sate kambing pada umumnya.
Jika sate kambing pada umumnya dibaluri ramuan bumbu ketumbar, kemiri, asam, dan garam, agar aromanya menggugah selera, maka tidak demikian dengan sate klatak. Sate klatak hanya diberi garam, sehingga terasa asin dan gurih.
Selain bumbu, yang membedakan sate klatak dengan sate kambing lain adalah irisan daging sate klatak sebesar ibu jari orang dewasa dan ditusuk dengan besi jeruji sepeda, bukan bilah bambu.
Irisan daging yang ditusuk besi jeruji yang hanya dibumbui garam itu langsung dibakar di atas bara.
Setelah dibakar beberapa saat dan matang, sate klatak disajikan di atas piring masih dengan ditusuk besi jeruji sepeda. Pembeli harus berhati-hati ketika menggigit daging, agar bibir tidak menyentuh besi yang masih panas.
Satu porsi sate klatak berisi dua tusuk irisan daging yang cukup besar dan tebal. Meskipun irisan daging cukup besar dan tebal, tetapi rasanya empuk.
Dalam penyajian, sate klatak biasa ditemani sepiring nasi dan segelas teh panas yang diberi gula batu. Harga satu porsi sate klatak dan nasi sekira Rp8.000 dan minumannya Rp2.000.
Untuk bisa menikmati sate klatak, pembeli harus sabar menunggu, karena hampir setiap malam warung sate klatak itu dipadati pembeli. Pada malam minggu dan malam hari libur, pembeli yang ingin menikmati kekhasan sate klatak lebih banyak, sehingga harus sabar menunggu giliran.
Mengenai asal usul nama sate klatak, ada beberapa versi yang berkembang. Ada yang mengatakan klatak adalah kiasan dari suara yang muncul ketika daging yang ditusuk besi jeruji dibakar di atas bara.
"Ketika daging kambing yang ditusuk besi jeruji dibakar selalu menimbulkan suara yang terdengar `klatak, klatak, klatak`. Untuk memudahkan mengingatnya, orang kemudian menamakannya sate klatak," kata pemilik warung sate klatak di Pasar Jejeran, Muhammad Sabari (56).
Sabari tidak tahu persis kenapa suara klatak bisa muncul ketika daging kambing yang hanya dibumbui garam dan ditusuk besi itu dibakar di bara. "Saya tidak tahu penyebab munculnya suara klatak ketika daging dibakar," katanya.
Demikian pula mengenai bumbu sate klatak yang hanya garam, ia juga tidak tahu, karena hanya meneruskan usaha dari kakek dan ayahnya. "Mungkin, agar rasanya berbeda dengan sate kambing lainnya," kata Sabari.
Versi lain asal mula nama sate klatak, ada yang berpendapat, berasal dari suara besi jeruji sepeda yang jatuh. Besi jeruji yang digunakan untuk menusuk daging kambing itu ketika jatuh di atas papan untuk jualan berbunyi "klatak, klatak".
"Suara klatak itu yang kemudian dipakai untuk menamai sate kambing yang ditusuk dengan besi jeruji sepeda. Nama sate klatak itu kemudian dikenal sampai sekarang," kata pemilik warung sate klatak di Pasar Jejeran, Sujono (55).
Namun, ia mengaku tidak tahu pasti kapan nama sate klatak mulai dipakai, karena leluhurnya telah berjualan sate khas itu cukup lama, sebelum pasar tersebut dibangun. "Nama sate klatak telah dikenal ketika kakek saya berjualan sate kambing tersebut," katanya.
Meskipun asal usul nama sate klatak terdiri atas beberapa versi, namun sate kambing itu memiliki kekhasan yang sama, yakni daging diiris tebal dan besar, hanya diberi "bumbu` garam, ditusuk dengan besi jeruji sepeda, dibakar di atas bara, dan disajikan masih dengan besi jeruji.
Kekhasan sate klatak itu hanya dapat dinikmati di Pasar Jejeran, karena tidak akan ditemui di daerah lain. Berwisata kuliner di Yogyakarta terasa masih kurang lengkap jika tidak menikmati kekhasan sate klatak (Bambang Sutopo Hadi).
Sumber: www.antara.co.id (5 Mei 2008)