Malam Jumat Pon lalu, tempat peziarahan Gunung Kemukus di Kabupaten Sragen penuh sesak para pengunjung. Meskipun lokasinya kini sudah terpisah dengan daratan Kecamatan Sumberlawang, akibat genangan air proyek waduk raksasa Kedung Ombo beberapa tahun lewat, namun minat para peziarah yang berdatangan dari berbagai daerah tak pernah surut.
Dengan menggunakan sampan atau perahu sewa, mereka dengan sabar meniti perairan Kedung Ombo untuk bisa mencapai lokasi Gunung Kemukus. Ini merupakan satu-satunya cara berziarah, setelah jembatan beton penghubung antara Kecamatan Sumberlawang dengan Gunung Kemukus lenyap ditelan genangan air waduk.
Ongkos menuju kesana memang menjadi lebih mahal sejak hubungan darat terputus oleh genangan waduk. Sebab selain harus membayar retribusi, parkir mobil/sepeda motor, membeli seperangkat alat berziarah seperti kembang, minyak wangi, dan kemenyan madu, para peziarah sekarang juga harus membayar biaya penyeberangan yang cukup mahal. "Tapi kalau pas musim kemarau panjang, biasanya debit air waduk turun drastis. Pada saat itulah jembatan beton tampil lagi ke permukaan, sehingga para peziarah bisa ke Gunung Kemukus lewat darat," tutur Paryanto, seorang nelayan setempat yang juga bertindak sebagai penyedia jasa penyeberangan perahu.
Namun apalah artinya ongkos mahal dibandingkan dengan berkah yang bakal di bawa pulang para peziarah?
Setidaknya ada dua alasan, mengapa banyak orang dari berbagai penjuru daerah masih suka berbondong-bondong untuk ngalap berkah (mengais rezeki) dari makam Pangeran Samodro, yang punden (makam) nya berada tepat di puncak Gunung Kemukus? Yang pertama tentu tak lepas dari rezeki. Sedang yang kedua berkaitan erat dengan birahi.
Birahi? Benar! Bagi kaum perempuan, berziarah ke makam Pangeran Samodro, diyakini bisa mendatangkan banyak rezeki. Itu sebabnya, perempuan-perempuan yang berziarah ke sana sebagian besar berprofesi sebagai pengusaha. Baik pengusaha penggilingan padi, pengusaha rumah makan, pedagang pasar, dan lain sebagainya.
Celakanya, apabila keinginan mereka ingin cepat terkabul, konon selepas melakukan ritual peziarahan yang diawali dengan mandi di sendang serta melantunkan doa-doa khusus yang dibimbing seorang juru kunci makam Pangeran Samodro, para peziarah perempuan harus menjalani ritual lainnya, yaitu mandi birahi dengan lelaki yang bukan suaminya.
Bagaimana mereka bisa saling berjodoh dalam petualangan yang terkesan liar itu? Sejak Kamis Pahing (siang hari), rombongan peziarah baik laki-laki maupun perempuan yang belum saling kenal sering kali bercanda terlebih dulu. Bagi yang sudah paham, bahwa memburu berkah ke Gunung Kemukus seseorang harus berani bercinta dengan lawan jenis yang bukan muhrimnya, biasanya lantas mengikat janji.
Bilamana janji sudah disepakati, maka pada malam Jumat Kliwon seusai menjalani prosesi ziarah di makam Pangeran Samodro, berpasang-pasang kekasih dadakan tadi bebas melakukan apa saja, termasuk berhubungan intim layaknya suami isteri. Terus di mana mereka harus bersebadan?
Di masa lalu, ketika segala sesuatu masih gampang ditutup dengan uang, adegan seks bebas bisa dengan aman dilakukan di semak-semak atau di balik rerimbunan pohon sekitar kompleks makam. Mereka begitu santai dan tidak merasa risih walau di sela-sela rerimbunan pohon ada sepasang mata yang mengintipnya.
Karena adegan demi adegan orang dewasa saat itu bisa dipertontonkan secara vulgar, maka Gunung Kemukus pun di cap masyarakat luas sebagai tempat peziarahan paling mesum di Indonesia.
Atas tudingan tersebut, Pemerintah Kabupaten Sragen memang sempat kebakaran jenggot. Operasi yang melarang perbuatan mesum di sekitar makam Pangeran Samodro pun digelar saban malam Jumat Pon. Namun operasi itu terkesan hanya setengah hati. Pemkab tidak berani menutup sama sekali tempat peziarahan tersebut, lantaran sumbangan yang diberikan untuk memacu Pendapatan Asli Daerah (PAD), tergolong besar.
Seiring dengan gencarnya operasi, ternyata tidak membuat kapok para peziarah. Mereka sampai sekarang masih tetap membanjiri kawasan Gunung Kemukus untuk "ngalap berkah".
"Perkara hubungan seks mah, nggak masalah kalau harus dilakukan di luar kompleks makam. Di sini banyak rumah penduduk yang bisa disewa. Atau kalau perlu kita juga bisa lari ke losmen-losmen," ungkap, seorang pengusaha penggilingan padi yang mengaku dari Indramayu Jawa Barat, sebut saja Teh Ipin (35) tanpa tedeng aling-aling.
Pengakuan serupa juga terlontar dari mulut pedagang buah-buahan asal Malang, sebut saja Ny Kasanah (29), serta pengelola rumah makan dari Yogyakarta, sebut saja Ny Wiwik (31). Menurut ketiganya, berziarah ke Gunung Kemukus itu sangat menguntungkan. Selain usaha yang dijalankan bisa semakin laris, mereka juga dapat mengarungi karang birahi bersama banyak lelaki.
"Tapi kalau mau manjur dan cepat terkabul, kita harus ke sini sebanyak 7 kali malam Jumat Pon dengan pasangan yang sama. Karena itu kita mesti pandai-pandai menjaga hubungan, jangan sampai lelaki yang sudah kita dapat lepas begitu saja," terang Ny Kasanah, yang mengaku sudah 3 kali malam Jumat Pon menggandeng kekasihnya asal Grobogan.
"Kebetulan kita-kita yang datang ke sini kebanyakan berstatus janda. Jadi aman untuk melakukan apa saja. Kalau pun masih ada yang bersuami, biasanya keduanya sudah saling memahami," sela Ny Wiwik.
Bagi lelaki hidung belang yang gemar pelesiran, namun masih tergolong pemula di Gunung Kemukus, ada sebuah saran, kalau anda bertandang ke sana cermatilah perempuan-perempuan yang akan anda bidik sebagai pemuas nafsu. Apakah benar dia seorang peziarah, atau justru penjarah cinta alias pelacur.
Sebab dalam perkembangannya kini, banyak sekali pekerja seks komersial (PSK) dari berbagai daerah yang ingin menggaet kaum lelaki berduit dengan berpura-pura sebagai peziarah Gunung Kemukus.
Artinya apabila anda cermat dan bisa membidik peziarah tulen, maka anda bukan saja akan memperoleh tempat pelampiasan syahwat secara gratis. Lebih dari itu, kalau beruntung anda juga bisa mendapatkan sebagian rezeki yang diperoleh pasangan anda. "Tapi kalau sampeyan keliru memilih pelacur, sampeyan harus siap babak belur," tegas Paryanto, sambil tertawa ngakak dari atas perahu. (Pudyo Saptono)
Sumber: http://www.suarakarya-online.com