Ilustrasi |
Denpasar, Bali - Kolaborasi seniman Amerika Serikat dan Bali yang membawakan drama tari multimedia berjudul "Jiwa Terbelenggu" membius para penonton Pesta Kesenian Bali (PKB) di Taman Budaya, Denpasar, Jumat malam.
"Pertunjukan ini intinya mengisahkan berbagai jenis ekspresi dan latar belakang para penderita kejiwaan. Untuk penyusunan skenario drama ini dan menguatkan karakter tokoh, kami bahkan telah melakukan dokumentasi video di Rumah Sakit Jiwa Bangli," kata Lynn Kremer selaku pencipta ide cerita dan sutradara drama tari itu di sela-sela pementasan.
Perpaduan bahasa dan seni budaya para seniman itu begitu memikat penonton yang memenuhi Gedung Ksirarnawa di areal Taman Budaya. Para penonton pun tak ada yang beranjak dari tempat duduk saat pertunjukan berlangsung.
Gerak tari dan mimik penari yang berasal dari College of The Holy Cross, AS, terlihat menjiwai tokoh-tokoh yang mengalami gangguan mental, baik pada saat histeris karena kumat maupun pada saat menjalani terapi.
Drama tari semakin atraktif dan mengundang antusias penonton untuk bertepuk tangan ketika seniman asing juga menampilkan Tari Saman dengan begitu lihai. Begitu pun ketika mereka menari dengan diiringi musik lagu Keong Racun.
"Jiwa terbelenggu (Shackled Spirits) ini adegan-adegannya berisi berbagai ingatan, fantasi, dan impian dari penderita gangguan kejiwaan hingga menjalani diagnosa, pengobatan, berbagai terapi kejiwaan dan sebagainya," kata Lynn didampingi seniman lukis Made Wianta itu.
Para tokoh selain menari juga diselingi dengan dialog menceritakan kehidupan mereka masa lalu. Ada menceritakan dulu pernah berlayar, ada yang diceraikan suami, hingga kehidupan masa kecil yang tertekan.
Pihaknya mengharapkan dengan pementasan yang mengangkat isu kejiwaan itu, penonton dapat terinspirasi untuk lebih lanjut merenungi dan mendalami topik yang kompleks tersebut.
Pelukis Made Wianta yang juga pencipta ide cerita menambahkan bahwa pada perencanaan awal ide cerita ada dua pilihan yang akan diambil, yakni terkait kehidupan penjara di Kerobokan atau orang gila.
"Sudut pandang dalam setiap karya saya memang umumnya dibangun atas dasar analisa psikologi yang bersifat universal. Saya tidak akan masuk pada ranah cerita Panji yang umumnya menjadi cerita pementasan kesenian Bali," katanya.
Doktor Suasthi Bandem, selaku koreografer dan sutradara drama tari kolaborasi itu, mengaku menghadapi berbagai tantangan dalam proses penggarapan karya tersebut, terutama mahasiswa Amerika yang belum mengenal Bali dan menjadikan potongan-potongan gagasan menjadi satu kesatuan garapan yang utuh.
"Pesan dari pementasan ini tidak pada upaya solusi mengatasi masalah kejiwaan, tetapi penonton dapat melihat cara-cara menangani orang gila," kata Suasthi yang juga dosen tamu di College of The Holy Cross, Amerika Serikat itu.
Sumber: http://www.antaranews.com