Festival Danau Toba 2010: Para Penjaga Tradisi

Oleh Lusiana Indriasari

Alunan alat tiup sarune bolon atau serunai mengiringi Tumpan Sinaga (60) menari. Ia meliuk-liuk sambil memeluk dan mengelus tongkat berukir patung manusia. Ia berperan sebagai dukun sakti.Tumpan juga berbicara dengan tongkat yang dalam tradisi Batak kuno disebut ”tunggal panaluan”. Suara sarune, gondang (gendang), dan taganing yang terdengar monoton mengantar Tumpan memasuki kondisi trance.

Dalam kondisi itu, ia berdialog dengan tunggal panaluan, tongkat yang dalam tradisi Batak kuno dipercaya bisa mendatangkan hujan, menahan hujan, menolak bala, wabah, mengobati penyakit, membantu mendeteksi musuh dalam peperangan, dan masih banyak lagi kesaktian lainnya.

Sang dukun lalu memakan sesajian berupa nasi, ayam rebus utuh, ubi, daun sirih, bunga dan bermacam sesajian lainnya. Ia juga meminum tuak dari buluh bambu. Selesai makan, sang dukun menyuapi kedua muridnya.

Ritual tongkat tunggal panaluan menjadi salah satu pembuka acara Festival Danau Toba 2010 di Kota Parapat, 20-24 Oktober lalu. Tradisi budaya masyarakat Batak kuno ini ditampilkan oleh Sanggar Budaya Nauli dari Kota Parapat, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Menurut Hamonangan Sirait, Ketua Sanggar Budaya Nauli, pertunjukan tongkat tunggal panaluan yang lengkap dengan sesajian dan ritual mistis lainnya jarang dipertontonkan karena dilarang oleh agama.

Sanggar Budaya Nauli didirikan tahun lalu oleh masyarakat Parapat yang peduli dengan pelestarian budaya Batak Toba. ”Banyak tradisi yang sebenarnya menarik untuk dikemas menjadi suguhan pariwisata,” tutur Hamonangan.

Sejak didirikan, banyak remaja ikut bergabung di sanggar ini. Kini anggota sanggar mencapai 30 orang dan mereka rajin tampil di setiap kegiatan budaya yang diadakan di Sumatera Utara.

Dilema
Masyarakat Batak dikenal sangat teguh memegang tradisi meski sebagian besar tradisi lama tadi sudah bergeser setelah agama Kristen masuk ke tanah Batak melalui penginjil Nommensen tahun 1862.

Benturan ajaran agama dengan tradisi asli masyarakat Batak membuat upaya untuk mengangkat kekhasan budaya lokal menjadi sulit dilakukan. Padahal, tontonan budaya, selain berfungsi untuk pelestarian, juga menguntungkan untuk pariwisata. ”Sekarang ini banyak anak muda Batak yang tidak lagi mengenal budaya asli Batak,” kata Mangiring (57), Kepala Adat Desa Tomok, Kabupaten Samosir.

Namun, upaya untuk menghidupkan budaya asli Batak tetap dilakukan. Di Tomok, misalnya, tarian si gale-gale, yaitu boneka kayu yang aslinya digerakkan dengan kekuatan mistis, sudah digantikan dengan tali. Demikian juga dengan si gale-gale di kampung tua Hutabolon Simanindo. Tradisi lokal yang belum dikemas oleh industri pariwisata inilah, kata Mangiring, yang menyebabkan Danau Toba ditinggalkan turis.

”Kalau hanya melihat pemandangan alam, turis akan cepat bosan. Seharusnya alam itu menyatu dengan tradisi masyarakatnya,” tutur Mangiring.

Ia ingin wisata Danau Toba mengikuti keberhasilan Bali yang mampu menyatukan tradisi dengan wisata alamnya. Untuk mendatangkan turis ke Danau Toba, Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata bekerja sama dengan pemerintah lima kabupaten, yaitu Kabupaten Tapanuli Utara, Toba Samosir, Simalungun, Dairi, dan Karo, menghidupkan kembali Festival Danau Toba. Di festival berbagai kegiatan budaya digelar, seperti tari tradisional Batak (manortor), permainan gondang, tunggal panaluan, dan pentas musik etnik Batak.

Selain festival, pemerintah juga memperbaiki lapangan terbang Sibisa dan Silangit yang berada di Pulau Samosir. Nantinya akan ada penerbangan langsung menuju Pulau Samosir, baik dari Medan maupun Jakarta.

Agama kuno
Jauh dari hiruk-pikuk kepentingan pariwisata di Danau Toba, sebagian masyarakat Batak di kawasan danau itu tetap memegang teguh budaya asli nenek moyang mereka, yakni budaya yang diajarkan oleh Ugamo Malim atau Parmalim. Jumlah pengikut Parmalim saat ini hanya tersisa sekitar 1.500 orang.

Sebagian besar penganut Parmalim tinggal di pesisir Danau Toba, seperti di Desa Hutatinggi, Kecamatan Laguboti, Kabupaten Toba Samosir. Di desa ini mereka tinggal di rumah-rumah panggung yang terbuat dari kayu dan beratap ijuk. Bila malam tiba, rumah mereka diterangi lampu listrik seadanya. Pemeluk Parmalim juga terbiasa berjalan tanpa alas kaki.

Ajaran Parmalim yang mengajarkan nilai-nilai luhur ketuhanan serta cinta sesama manusia dan lingkungan hidup ini dianut semua orang Batak sebelum agama Kristen, Katolik, dan Islam masuk ke tanah Batak. Karena itu, Parmalim dianggap sebagai agama kuno orang Batak.

”Umat Parmalim memegang teguh ajaran bahwa Danau Toba merupakan sumber air minum, sumber penghidupan, sumber nafkah bagi warga yang tinggal di sekitarnya,” kata Raja Marnangkok Naipospos yang menjadi Ulu Punguan atau pemimpin tertinggi Parmalim di Desa Hutatinggi. Karena itu, dalam Parmalim terdapat ramun atau larangan terhadap pengikutnya untuk merusak Danau Toba, seperti membuang sampah di danau atau mencemari air danau.

Umat Parmalim juga menganggap air Danau Toba itu suci dan mengambilnya untuk kepentingan ritual keagamaan. Namun, sejak 50 tahun lalu mereka beralih ke air pegunungan atau sumur karena air Danau Toba banyak tercemar oleh limbah yang dihasilkan oleh warga sekitar danau atau ratusan hotel dan bangunan komersial lainnya.

”Masyarakat hanya mengeruk berkah Danau Toba, tetapi tidak mau merawatnya,” ujar Mananha Sitorus (29), penganut Parmalim.

Ia yakin bila manusia berbuat baik kepada alam, alam juga akan berbuat baik kepada manusia.
Source: Kompas.com

-

Arsip Blog

Recent Posts